Syaikh Muhammad Asy-Syuwaikî
ghafarallâhu lahu di dalam kitab Barâ`atul Millah al-Islâmiyyah min
Iqtirâ`ât wa Adhâlîl al-Firqah al-Ahmâdiyyah al-Qadiyâniyyah (h. 244-246)
menulis:
Adapun perkataan mereka untuk
mengelabui manusia dengan menyatakan bahwa Islam tidak memperbolehkan menyulut
peperangan untuk menyebarkan Islam. Mereka berdalih dengan sikap Nabi shallallâhu
‘alaihi wasallam pada periode Makkah, serta dengan Firman Allah Ta’âlâ pada
surat al-Baqarah ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada
paksaan apapun dalam agama.
Maka jawabannya dari banyak segi.
Pertama, talbis ini tidak
mengubah apapun bagi kaum Muslimin, karena sesungguhnya sikap Nabi shallallallâhu
‘alaihi wasallam pada periode Makkah dengan bersabar atas gangguan orang-orang
kafir Makkah terhadap beliau dan tidak memerangi mereka adalah sebelum hijrah
dan mendirikan Daulah, serta sebelum diwajibkannya jihad ofensif, jihad defensif,
serta jihad wiqâ`î. Adapun setelah hijrah, tidak ada argumentasi yang
mendukung bagi seorang pun untuk meninggalkan jihad dengan maknanya yang
syar’i, kecuali apabila ia tergolong orang-orang yang memiliki uzur syar’i,
sebagaimana ditunjukkan oleh nas-nas Quran dan hadis-hadis, belum lama ini.
Kedua, adapun ayat tersebut, ia
tidaklah turun dalam tema perang dan jihad, melainkan dalam perkara khusus yang
dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum Islam. Ibnu Ishâq dan Ibnu Jarîr telah
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs –radhiyallâhu ‘anhu– tentang Firman Allah (لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ), ia berkata: (Turun berkenaan dengan seorang lelaki Anshâr
dari Banî Sulaim ibn ‘Auf yang dipanggil dengan nama al-Hushain. Ia
memiliki dua anak lelaki yang beragama Nasrani, sedangkan ia sendiri telah
masuk Islam. Lalu ia bertanya kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:
Tidak bolehkah aku memaka keduanya? Sesungguhnya mereka mengabaikanku kecuali
tetap memeluk agama Nasrani. Kemudian Allah menurunkan ayat itu dalam persoalan
ini). Abû Dâwud, an-Nasâ`î, Ibnu Jarîr, dan yang lain meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs
radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata:
كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَكُونُ مِقْلَاتًا فَتَجْعَلُ
عَلَى نَفْسِهَا إِنْ عَاشَ لَهَا وَلَدٌ أَنْ تُهَوِّدَهُ فَلَمَّا أُجْلِيَتْ بَنُو
النَّضِيرِ كَانَ فِيهِمْ مِنْ أَبْنَاءِ الْأَنْصَارِ فَقَالُوا لَا نَدَعُ أَبْنَاءَنَا
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ
مِنْ الْغَيِّ }
Pernah ada
seorang perempuan yang anaknya yang dilahirkannya selalu meninggal, sehingga ia
berjanji apabila ada salah seorang anak yang dilahirkannya hidup, ia akan
meyahudikannya. Ketika Bani Nadhîr diusir, di antara mereka ada anak-anak kaum
Anshâr, sehingga mereka: Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami. Lalu turunlah
ayat yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agama.
Apabila dikatakan bahwa ibroh
diambil dari keumuman lafaz, bukan dari khususnya sebab, maka jawabannya: Keumuman
ayat ini telah dikhususkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam Kitab-Nya
yang mulia dalam persoalan memerangi para penyembah berhala, atau mereka masuk
Islam. Allah Subhânahu di dalam surat al-Fath ayat 16:
سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ
تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ
Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan
yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).
Juga
dikhususkan oleh Allah, memerangi Ahli Kitab atau mereka menyerahkan jizyah dan
berhukum dengan syariat Allah. Itu terdapat di dalam surat at-Taubah, yang termasuk
ayat terakhir yang turun dalam persoalan jihad. Allah Yang Mahasuci berfirman
di dalam ayat 29:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا
يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ
عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Demikian pula, ayat ini
dikhususkan oleh hadis yang telah lalu tentang tawaran kepada orang-orang kafir
sebelum memerangi mereka, apakah mereka memilih Islam, membayar jizyah, atau
diperangi.
Ayat ini juga
dikhususkan oleh hadis al-Mughîrah radhiyallâhu ‘anhu dengan
perkataannya kepada gubernurnya Kisra, sebagaimana terekam di dalam Shahîh
al-Bukhârî:
فأمرنا نبينا
رسول الله –صلى الله عليه وسلم- أن نقاتلكم حتى تعبدوا الله وحده أو تؤدوا الجزية
Nabi kami,
Utusan Allah memerintahkan kepada kami untuk memerangi kalian sampai kalian
menyembah Allah semata dan menunaikan jizyah.
Dengan semua itu, keumuman
ayat tersebut harus dibawa kepada makna yang khusus untuk menghilangkan pertentangan.
Dengan mengumpulkan semua itu,
maka harus dipahami bahwa nas-nas yang ada menunjukkan adanya perbedaan antara
memaksa untuk masuk Islam dengan memaksa untuk membayar jizyah serta melaksanakan
hukum. Pemaksaan yang pertama telah lewat dengan masuk Islamnya musyrikin
jazirah Arab, dan yang kedua, tetap ada. Maka, kita tidak boleh memaksa seorang
pun agar menjadi mukmin. Kita hanya boleh memaksa seseorang untuk membayar
jizyah, kecuali Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm yang berdasarkan sebuah hadis,
beliau meniadakah jizyah di akhir zaman. Ini menurut pendapat yang menyatakan
bahwa kata wadh’ di dalam hadis tersebut bermakna menutup.
Miliran, 25 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar