Jihad
Al-Hâfizh Ibn Hajar
al-‘Asqalânî meletakkan tidak kurang dari 43 hadis tentang jihad di dalam Kitab
Bulûghul Marâm, Kitâbul Jihâd. Di urutan kedua, beliau meletakkan hadis
berikut:
وعَنْ أَنَسٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «جَاهِدُوا
الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ» رواه أحمد والنسائيُّ, وصححه
الحاكم
Dari Anas, ia berkata:
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: {Berjihadlah kalian
memerangi orang-orang musyrik dengan harta-harta kalian, jiwa-jiwa kalian, dan
lisan-lisan kalian}. (H.R. Ahmad dan an-Nasâ`î. Disahihkan oleh al-Hâkim)
Pengertian Jihad
01. Jihad secara bahasa adalah mashdar dari kata جهد.
Ungkapan جهدت جهادا
maknanya adalah بلغت مشقة (kesulitan menghampiriku).
02. Sedangkan jihad secara syar’i, menurut ash-Shun’ânî dan
as-Saqqâf[1]
adalah:
بذل الجهد
في قتال الكفار أو البغاة
Mengerahkan segenap
kesungguhan untuk memerangi orang-orang kafir dan para pemberontak (bughâh)
03. Sementara itu di dalam Hâsyiyah
Ibn ‘Âbidîn sebagaimana dikutip oleh Muhammad Khair Haikal dan juga
diikuti oleh an-Nabhânî [2],
jihad secara syar’i bermakna:
بذل الوسع
في القتال في سبيل الله, مباشرة أو معاونة بمال أو رأي أو تكثير سواد أو غير ذلك
Mencurahkan kemampuan
untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan memberi bantuan
harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lain sebagainya.
04. Kedua pendapat tersebut berbeda dari segi
cakupan: Apakah memerangi para pemberontak termasuk jihad atau bukan? Meskipun kedua
pendapat tersebut adalah pendapat Islami, dan perselisihan pendapat tersebut
termasuk ikhtilaf yang sâ`igh (layak), namun pendapat kedua, yang tidak
memasukkan memerangi bughât sebagai jihad, adalah pendapat yang lebih
baik, in syâ`allâh.
05. Adapun pengertian jihad yang sangat umum,
yang menyatakan arti jihad ialah bekerja sungguh-sungguh, berjuang,
berperang, dan sebagainya di jalan Allah yang diperintahkan dan di jalan yang
diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya[3],
maka pengertian yang semacam ini adalah takrif yang berlebihan, yang keluar
dari konteks makna syar’inya.
Hukum Jihad
06. Dalam hadis di atas, ada perintah untuk berjihad.
Bagi yang berpegang pada kaidah al-Ashlu fî al-amr lil wujûb (hukum asal
suatu perintah adalah menunjukkan kewajiban), maka hadis di atas
merupakan dalil wajibnya berjihad. Akan tetapi, kaidah yang lebih tepat
mengenai perintah adala al-Ashlu fî al-amr lith thalab (hukum asal suatu
perintah adalah untuk menunjukkan tuntutan). Karenanya hadis di atas tidak
serta-merta bermakna wajib berjihad, melainkan sebatas menunjukkan adanya
tuntutan. Sebuah tuntutan bisa jadi wajib, bisa pula sunah; tergantung qarînah
yang mengikutinya.
07. Berdasarkan dalil-dalil lain yang
menunjukkan adanya qarînah yang jâzim (pasti), dapat disimpulkan
bahwa hukum jihad adalah fardu. Berikut
sebagian dalil tersebut:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِتَالُ
Diwajibkan
atas kalian berperang. (al-Baqarah [2]:216)
Rasulullah bersabda:
مَنْ مَاتَ
وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
(رواه مسلم(
Siapa
saja yang mati padahal belum berperang dan tidak bercita-cita demikian di dalam
hatinya (berarti) ia mati di atas satu cabang dari kemunafikan. (HR. Muslim)
Jihad dengan Harta dan Jiwa
08. Dalam hadis di atas terdapat tiga sarana
berjihad, yaitu dengan harta, jiwa, dan lisan. Jihad dengan jiwa adalah keluar
langsung memerangi orang-orang kafir. Sedangkan jihad dengan harta adalah
dengan mengerahkan kemampuan untuk menginfakkan sesuatu yang dengannya jihad
bisa terlaksana, seperti persenjataan, kendaraan, dan lain-lain.[4]
Hal ini banyak disebutkan di dalam ayat-ayat Alquran, antara lain di dalam
Surat at-Taubah [9]:41:
وَجَاهِدُوا
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dan berjihadlah kalian
dengan harta-harta kalian dan jiwa-jiwa kalian di jalan Allah.
Jihad dengan Lisan
09. Jihad dengan lisan adalah dengan
menegakkan hujah yang meruntuhkan keyakinan orang-orang kafir, mendakwahi
mereka agar menyembah Allah, dengan suara-suara yang menggentarkan mereka
ketika bertemu, dengan celaan kepada mereka, dan hal-hal lain yang di dalamnya ada
hal yang bisa mengalahkan musuh,[5]
sebagaimana firman Allah di dalam Surat at-Taubah [9]:120:
وَلَا يَنَالُونَ
مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
Tidaklah menimpakan
suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang
demikian itu suatu amal saleh.
10. Jihad dengan lisan ada kaitannya dengan
jihad dengan pemikiran. Yang dimaksud adalah pemikiran yang berkaitan langsung
dengan peperangan. Jika pemikiran tersebut berkaitan langsung dengan peperangan
di jalan Allah, maka dia adalah jihad. Tetapi jika tidak berkaitan langsung
dengan itu, maka dia bukan jihad secara syar’I, meskipun di dalamnya terdapat
berbagai kesulitan, dan meskipun dia menghasilkan berbagai faidah untuk
meninggikan kalimat Allah. Karena, jihad secara syar’i khusus untuk peperangan,
dan masuk ke dalamnya segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan peperangan.
Yang serupa dengan pemikiran adalah tulisan dan ceramah. Jika berkaitan secara
langsung dengan peperangan, seperti ceramah di hadapan pasukan untuk
mengobarkan semangat perang mereka, atau artikel berisi anjuran untuk memerangi
musuh, maka itu adalah jihad. Jika tidak demikian, maka tidak termasuk jihad.[6]
Memerangi Penguasa yang Murtad Apakah
Termasuk Jihad?
11. Tidak semua peperangan adalah jihad. Demikian pula, tidak
semua peperangan yang disyariatkan adalah jihad. Sebagai misal, memerangi bughât
menurut pendapat yang lebih tepat bukanlah jihad.
12. Adapun memerangi penguasa yang rusak, hal
itu dijelaskan oleh Dr. Muhammad Khair Haikâl sebagai berikut:
Jika penguasa telah kafir secara nyata, lalu ia dibantu dan
ditopang oleh berbagai kekuatan, maka memeranginya dalam rangka menggulingkannya
dan membunuhnya adalah jihad fî sabîlillâh, karena bersesuaian dengan
pengertian jihad, yaitu memerangi orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah
‘Azza wa Jalla. Penguasa yang murtad termasuk bagian dari ahlul harb
(pihak yang berhak diperangi).
Kaum muslimin yang berperang di barisannya (penguasa murtad)
adalah para pemberontak yang dimintai tolong oleh ahlul harb. Sehingga setiap
Muslim yang terbunuh dalam peperangan melawan mereka adalah terbunuh di dalam
peperangan melawan orang kafir, sehingga dihukumi syahid dunia-akhirat.
Adapun
apabila penguasa tersebut tidak sampai murtad dari Islam, hanya terjatuh kepada
kesalahan-kesalahan, yang dengan kesalahannya itu ia boleh dilengserkan, namun
si penguasa tetap mempertahankan kekuasaannya, kemudian terjadi perang dengan
penguasa tersebut bersama para pendukungnya, maka peperangan di sini hukumnya
sama dengan memerangi bughâh, sebagaimana ‘Alî ibn Abî Thâlib radhiyallâhu
‘anhu memerangi Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân setelah dicopot dari jabatannya
sebagai gubernur Syâm, dan Mu’âwiyah menolak untuk turun dari jabatannya.
Karena itulah, peperangan ini bukanlah jihad fî sabîlillâh secara makna istilah
bagi jihad, sebagaimana telah kami tarjihkan ketika membahas tentang memerangi
bughât.[7]
[1]
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Amîr ash-Shun’ânî (Subulussalâm, j. 7, h.
195); Syaikh Ibnu ‘Îdrûs al-‘Îdrûs ‘Alawî ibn Abî Bakr as-Saqqâf (Ta’lîq
Bulûgh al-Marâm, h. 237)
[2]
Muhammad Khair Haikâl (al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah
asy-Syar’iyyah, j. 1, h. 40), Taqyuddîn an-Nabhânî (asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah j. 2, h. 146)
[3]
Lihat A. Hassan (Tarjamah Bulughul Maram, h. 579).
[4]
Lihat Subulussalâm h. 197.
[5]
Subulussalâm, h. 197.
[6]
Taqyuddin an-Nabhani (Kepribadian Islam, j. II, h. 247)
[7]
Muhammad Khair Haikâl (al-Jihâd wal Qitâl, j. 1, h. 140)
Bughâh itù ap?
BalasHapusBughah itu pemberontak pemerintah yang syar'i.
Hapus