Selasa, Agustus 21, 2012

PENDIDIKAN KELUARGA


(Hadiah Untuk Seluruh Keluarga Muslim yang Berharap Terlimpahi Berkah Ilmu sekaligus Bagian dari Proposal Untuk Keluarga Intiku Kelak)

1-   Tanggal 2 Agustus 2012, dalam sarasehan menjelang buka bersama di pendopo Pesantren Salafiyah Khoiru Ummah Panatagama, pak Amir menyampaikan gagasan penting mengenai pendidikan anak. Target pendidikan anak baginya adalah: Pada usia baligh, anak sudah menjalankan segala hal yang wajib dan meninggalkan segala hal yang haram. Beliau mengutip konsep Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengenai tiga fase pendidikan anak. 0-7 tahun, seorang anak harus diperlakukan seperti raja. Apa keinginannya yang baik-baik, dituruti. Pada fase ini anak tidak perlu diberi perintah maupun larangan. 7-14 tahun, anak ibarat budak. Dia mulai diperintah, dilarang, diajarkan hal-hal yang wajib dan hal-hal yang haram. Semuanya harus. Maksudnya harus bukan wajib, melainkan orang tuanya wajib mengajari. Anak berhak diajari. Usia tujuh tahun, diajari shalat. Pada usia menginjak 10 tahun, jika tidak mau shalat, perlu dipukul. Pada usia ini pula anak seharusnya diajarkan keterampilan hidup, sehingga pada usia baligh, dia sudah bisa mencari penghasilan untuk dirinya sendiri. Jadi, ketika sudah baligh, si anak sudah memiliki setidaknya tiga kompetensi: menjalankan segala hal yang wajib, meninggalkan segala hal yang haram, memiliki penghasilan minimal untuk dirinya sendiri, terutama laki-laki, sebab anak laki-laki wajib menghidupi dirinya sendiri ketika sudah menginjak baligh. Bagi yang berminat mendengarkan sebagian pemaparan beliau yang sempat kami rekam, dipersilakan untuk menghubungi kami. (08985055432)

2-    Bertahun-tahun sebelumnya, seorang Karkun memberi wawasan yang tidak kalah bermanfaat. Ia melihat, saat ini kaum Muslimin sangat menurun dalam hal tradisi belajar-mengajar (ta’allum). Padahal semestinya belajar-mengajar adalah bagian dari kehidupan kaum Muslimin sehari-hari. Ia menggambarkan, betapa indahnya jika kaum Muslimin menggunakan berbagai kesempatan untuk saling belajar-mengajar, terutama di masjid dan di rumah. Masjid tidak seharusnya dibiarkan sepi dari kegiatan mengaji dan mengkaji. Masjid seharusnya hidup dengan dinamika belajar-mengajar. Demikian juga di rumah, hendaknya sebuah keluarga memiliki waktu khusus untuk saling mengingatkan, melingkar dalam majelis dzikir (majelis yang membincangkan halal dan haram), ber-ta’allum. Seorang suami bisa secara rutin membacakan sebuah buku tentang akidah, akhlak, fikih, sastra Islam, dan sebagainya. Atau, jika dia memiliki kemampuan untuk mengulas satu ayat Quran setiap ba’da maghrib, tentu hal itu sangat bermanfaat bagi keberkahan keluarga dan seisi rumah, in syâ`Allâh.

3-    Di dalam sejarah kita mengenal beberapa tokoh besar Islam yang bisa kita anggap sebagai produk ‘pendidikan keluarga’. Kita bisa menyebut Abul A’la al-Maududi yang keluarganya mendirikan sekolah mandiri untuk keluarga, setelah sebelumnya menarik anak-anaknya dari sekolah sekuler. Ada pula Syaikh Taqyuddin an-Nabhani yang mendapat pengaruh besar dari pendidikan keluarganya, terutama dari Syaikh Yusuf bin Ismail, ayahanda dari ibu beliau. Dan kita masih mempunyai contoh hidup bagaimana pendidikan keluarga memberikan pengaruh yang besar bagi seseorang yang kelak menjadi profesor tafsir di negeri ini.

4-    Meski beliau memiliki beberapa pendapat syadzdz—seperti tentang kewajiban berkerudung; dan kita tidak perlu mengikutinya—namun ada hal sangat penting bagi tumbuh-kembang kecintaan Prof. Dr. Quraish Shihab terhadap tafsir. Ternyata, kecintaannya terhadap Quran dan tafsirnya telah ditumbuhkan sejak dini oleh keluarganya. Setiap ba’da maghrib, bapaknya mengulas satu-dua ayat Quran dan mendiskusikannya bersama keluarga. Bayangkan, betapa indahnya keluarga yang memiliki majelis rutin seperti ini, berapa banyak manfaat yang bisa diperoleh darinya? Bahkan kalaupun anggota keluarga tersebut baru terdiri dari suami dan istri berdua saja.

Parean, 3 Syawal 1433 H/21 Agustus 2012