Minggu, Juni 21, 2009

Politik Gincu vs Politik Garam

Shofhi Amhar

Assalâmu ‘alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.
Bismillâhirrahmânirrahîm. Alhamdu lillâhi Rabb al-‘Âlamîn. Washshalâtu wassalâmu ‘alâ sayyid al-awwalîn wal âkhirîn, Nabiyyinâ Muhammadin wa ‘alâ âlihi washahbihî ajma’în.

Ammâ ba’d.

Saya tertarik dengan istilah ini: politik gincu dan politik garam. Politik gincu adalah politik yang melihat semuanya dari sisi permukaan dan unsur simbolisasinya saja. Misalnya: istilah teo-demokrasi. Istilah ini dianggap sebagai salah satu bentuk politik gincu karena demokrasi yang berasal dari Barat itu hanya ditambahi “teo”, sedangkan substansinya tetaplah demokrasi. Mungkin begitu. Atau kemungkinan yang lain: kita tidak perlu menggunakan istilah-istilah baru untuk mengemukakan ide-ide kita, cukup gunakan istilah “demokrasi” tetapi dengan substansi isi yang berbeda, sehingga istilah “teo-demokrasi” perlu dikritik karena hanya merupakan politik gincu. Politik gincu itu jelek.

Sedangkan politik garam adalah politik yang baik. Politik garam adalah politik yang lebih mementingkan substansi/isi/materi daripada simbol. Politik garam tidak menganggap simbol tidak penting, tetapi sekedar ingin mengatakan bahwa substansi jauh lebih penting.

Pada praktiknya, jujur saya tidak mahir memetakan mana yang termasuk politik garam dan mana yang termasuk politik gincu. Kita ambil satu-dua contoh.

Pertama, Ki Bagus Hadikusumo, sebagai salah seorang tokoh Muhammadiyah, konon katanya pernah menorehkan gagasannya di dalam Pancasila, yaitu sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila yang semula rumusannya adalah “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya”, telah diubah secara khianat oleh Muhammad Hatta atas usulan sebagian salibis yang punya syahwat disintegrasi. Tujuh kata setelah “Ketuhanan” dihapus. Tampillah –Allah Yarham- Ki Bagus Hadikusumo, sebagai langkah kompromi, menambahkan kata “Yang Maha Esa” yang beliau maksudkan sebagai Tauhîd.

Nah, pertanyaannya: langkah yang ditempuh oleh Ki Bagus Hadikusumo –rahimahullâh- ini termasuk politik gincu atau politik garam? Berdasarkan definisi sederhana dari apa yang disebut politik garam dan politik gincu di atas, saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo –rahimahullâh- adalah politik gincu. Mengapa? Karena beliau masih menonjolkan simbol dibandingkan isi. Jika beliau -rahimahullâh- tidak lebih menonjolkan substansi ketimbang simbol, seharusnya beliau tidak mengusulkan tambahan “Yang Maha Esa” melainkan mencukupkan diri dengan kata “Ketuhanan” saja. Toh, dengan tambahan “Yang Maha Esa” pun, di kemudian hari Buya Hamka dilarang menggunakan surat al-Ikhlas dalam menjelaskan sila pertama itu. Jika kita mau katakan tambahan “Yang Maha Esa” adalah politik garam, lalu di mana rasa asinnya?

Saya berani menjamin kesimpulan saya di atas tidak salah. Kalau tidak, saya justru curiga bahwa istilah politik gincu dan politik garam secara konseptual memang bermasalah.

Wallâhu A’lam bi al-Shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar