Selasa, Maret 31, 2009

MASA JABATAN KEPALA NEGARA YANG SEHARUSNYA

Bukan rahasia betapa mahalnya mekanisme pemilihan kepala negara dalam sistem demokrasi. Ada yang bilang itu wajar. Itu adalah risiko yang harus diambil demi meraih legitimasi dari rakyat.

Tetapi untuk menjaga agar pemerintahan tidak berubah menjadi kekuasaan yang absolut, Anda perlu membatasi masa jabatannya dengan waktu tertentu. Di Indonesia, jabatan presiden dibatasi lima tahun, setelah itu boleh dipilih kembali untuk yang kedua kalinya. Demikian juga di Amerika Serikat, dengan masa jabatan setahun lebih singkat setiap terpilih.

Jika setiap lima tahun pemilu mengeluarkan biaya 49 triliun, maka Anda bisa hitung berapa uang yang harus dihamburkan dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Anda bisa membanding-banding sendiri betapa efisiennya jika pemilihan kepala negara dilakukan seperti dalam sistem kerajaan. Putra mahkota telah ada, tinggal tetapkan dan lantik. Tak perlu ada KPU Pusat, KPUD, PPS di setiap dapil, dan seterusnya. Untuk itu, Melvin I. Urofsky sudah mewanti-wanti bahwa "demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi, tapi demi pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini."

Melihat kenyataan pelaksanaan demokrasi, tentu saja Anda harus mengganti beberapa kata optimistik Urofsky itu dengan kata-kata lain yang lebih relevan. Tentang "dukungan publik", misalnya, Anda harus mengulang-ulang penglihatan terhadap fakta untuk benar-benar meyakininya.

Jika kembali kepada syariat, kita bisa menerima sistem yang menyerahkan pemilihan kepala negara kepada rakyat. Tetapi mengulang-ulang pemilihan demi alasan yang sangat asumtif berupa kekhawatiran kekuasaan kepala negara menjadi absolut, akan bertabrakan dengan dalil syar'i tentang pengangkatan dan penurunan kepala negara.

Dalam sebuah hadis, dikatakan:

"Kami membaiat Rasulullah agar kami mendengar dan menaati perintahnya, baik dalam hal yang kami senangi maupun yang kami benci, baik kami dalam kesulitan maupun dalam kemudahan, dan kami tidak akan mengutamakan diri sendiri. Dan hendaklah kami tidak mencabut kekuasaan dari yang berhak, kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian punya bukti kuat tentang kekufuran itu di sisi Allah."

Jadi, kaum Muslimin tak perlu mengangkat kepala negara berulang-ulang, kecuali melihat satu hal: kekufuran yang nyata. Tidak ada pembatasan masa jabatan; tidak pula berguna hal itu meski dengan kesepakatan.

Wallaahu A'lamu bish-Shawaab.

KEKUFURAN DEMOKRASI

Orang boleh bilang bahwa kekufuran demokrasi adalah hal yang belum disepakati. Tetapi seluruh kaum Muslimin harus tahu bahwa doktrin hâkimiyatullâh adalah hal yang tidak boleh diingkari. Kalimat LÂ ILÂHA ILLÂ ALLÂH adalah rangkuman yang melingkupi juga keimanan bahwa Allah adalah satu-satunya pihak yang berhak memutuskan hukum bagi umat manusia.

Sementara orang meyakini bahwa pemilik kekuasaan sebuah pemerintahan ada pada rakyat secara mutlak. Rakyat adalah satu-satunya pihak yang berdaulat. Kehendak rakyat setara dengan kehendak tuhan. Bahkan sering, pada praktiknya, segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat bertindak seperti tuhan itu sendiri, yaitu membuat undang-undang yang digunakan untuk memutuskan hukum bagi umat manusia tanpa bimbingan wahyu.

Fakta pada paragraf kedua pastilah kekufuran berdasarkan prinsip akidah dalam paragraf pertama. Andaikan saja kita namakan fakta paragraf kedua dengan istilah "demokrasi", maka bisa dipastikan bahwa "demokrasi sistem kufur" adalah pernyataan yang benar. Tetapi sebagian orang pasti menolak "pernyataan keras" itu. Namun, andaikan kita tak menyebut fakta pada paragraf kedua itu sebagai demokrasi, lalu harus kita sebut apa? Atau, apakah demokrasi memang tak seperti itu?