Senin, Januari 17, 2011

Bakda Isya

“Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullah.”

“Kok baru datang, mas?”

“Iya, tadi ketemu teman lama di masjid. Jiha mana?”

“Itu, tidur manis menunggu walidnya. Hehe,,”

“Tumben sudah tidur. Biasanya masih ngoceh jam segini.”

“Maklum, seharian ini aktivitas Jiha padat banget, mas. Si manis ini kelelahan, pastinya.

“Wah, sama dong kayak Romonya. Sebentar lagi paling juga tidur.

“Eit, ini baju yang belum dilempit masih banyak. Bantuin aku. Enak aja mau tidur.

“Yah… Rayha, tega amat.

“Ngomon-ngomong tadi di masjid ketemu siapa, mas? Sepertinya asyik sekali sampai lupa ada janji sama Jiha.

“Eh, saya ndak lupa lho ya… Jiha saja yang tidurnya kecepetan. Hehe,,

“Tadi itu ketemu Abul Qa’qa’, teman MTs.

“Lho, berarti temenku juga dong…

“Iya.”

“Kok belum pernah dengar?”

“Itu kunyahnya Mugi, Samugi. Masa ndak kenal?”

“Oh, itu mah kenal. Apa kabar dia sekarang?”

“Tambah gemuk. Sekarang tinggal di Tangerang, dagang roti, aktif ikut kajian di masjid dekat sana. Pulang ke sini dalam rangka melarikan diri.”

“Melarikan diri dari apa?”

“Dari pemilu. Demokrasi sistem kufur, katanya. Hihi,, astagfirullaahal ‘azhiim.”

“Istigfar kenapa, mas?”

“Karena banyak dosa.”

“Tahu. Tapi pasti ada alasan spesifik, kok tiba-tiba saja nyebut?”

“Ya itu tadi, karena ingat banyak dosa. Astaghfirullaahal ‘azhiim. Begini, sewaktu kami sedang berbincang tentang demokrasi tadi, pak Panca nimbrung. Beliau bilang, sistem kufur bagaimana? Islam itu demokratis! Seandainya Islam tidak demokratis, saya memilih keluar dari Islam. Spontan kami berdua istighfar berulang kali.”

“Astaghfirullaahal ‘azhiim. Pak Panca yang sarjana hukum yang rajin shalat ke masjid itu, bilang begitu?”

“Demikianlah yang kami dengar.”

*****

“Apa kalimat tadi sudah dipikirkan benar, pak?” Mugi mengkonfirmasi.

“Saya serius. Tapi tidak mungkin saya keluar dari Islam, karena Islam mengajarkan demokrasi.”

“Pak Panca, mohon maaf, bukannya mau menggurui. Namun kita harus berhati-hati dalam berkata-kata. Seandainya pun bapak menyatakan akan keluar dari Islam jika Islam tak mengajarkan shalat, hal itu tetap merupakan sesuatu yang mungkar. Padahal shalat adalah bagian dari Islam secara permanen. Sedangkan demokrasi, Islam tidak mengajarkannya.”

“Buktikan pada saya.”

“Baik. Namun sebelumnya, saya ingin bertanya dulu. Kalau tadi Bapak menyatakan bahwa Islam mengajarkan demokrasi, apa dalilnya?”

“Buktinya, Islam mengajarkan musyawarah. Kalau tidak percaya, tolong ambilkan Alquran di sana.” Beliau memandang saya.

“Baik, tunggu sebentar, saya ambil mushaf, semoga kita bisa mendapat manfaat.”

Saya berjalan ke arah mimbar. Di dekatnya ada beberapa mushaf. Saya ambil tiga di antaranya dan segera kembali. Setelah masing-masing orang memegang mushaf, pak Panca terlihat antusias membuka lembar-lembar mushaf. Tampaknya beliau mencari-cari letak sebuah ayat.

“Nah, ketemu,” beliau sumringah. “Coba buka surat Ali ‘Imran satu lima sembilan.”

Saya mengikuti instruksi pak Panca.

“Kamu juga, tolong dibuka, agar tidak sembarangan mengkufur-kufurkan.” Datar dan sambil senyum, kali ini pak Panca memberi perintah pada Mugi.

“Oh, iya, pak. Alhamdulillah saya sudah hafal.” Meski demikian, Mugi tetap mengikuti permintaan pak Panca.

“Ayat ini perintah untuk bermusyawarah dalam suatu urusan. Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”

Saya dan Mugi menyimak.

“Selanjutnya, silakan buka juga asy-Syuro tiga delapan.”

Kami pun membuka surat ke-42 dalam urutan mushaf itu dan menemukan ayat yang dimaksud.

“Saya bacakan,” kata Mugi. Kemudian dia bacakan dengan lancar. Saya kagum. Asal tahu saja, Mugi tidak pernah lulus sekolah formal kecuali SD. Saya mengenalnya sebagai anak yang tidak pandai membaca Alquran. Namun bacaannya saat ini benar-benar membuat saya kagum. Lebih fasih dari saya yang sukar mengucapkan beberapa jenis huruf hijaiyah.

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Bukankah jelas bahwa Islam mengajarkan demokrasi?”

“Tetapi, pak Panca, siapakah yang dimaksud dengan mereka dalam kedua ayat tersebut?”

“Maksudnya?”

“Maksud saya, apakah berdasarkan ayat tersebut, orang-orang kafir juga termasuk pihak yang diajak bermusyawarah?”

“Jika orang kafir dilarang berpartisipasi dalam musyawarah, mereka akan menjelek-jelekkan Islam dan menuduh Islam sebagai agama yang tidak toleran.”

“Segala puji bagi Allah Yang miliklah-Nya lah segala pujian dan Dialah sumber segala kebaikan. Kebaikan adalah apa yang dinyatakan-Nya baik, keburukan adalah segala hal yang dinyatakan-Nya buruk. Dia memerintahkan kita untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya, serta melarang kita mematuhi orang-orang kafir. Perintah Allah untuk melakukan musyawarah yang dimaksud dalam dua ayat di atas terbatas hanya pada orang-orang Islam saja. Mereka dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mendirikan shalat, didoakan oleh Nabi agar Allah mengampuni mereka, serta menerima seruan Tuhannya. Apakah orang-orang kafir menerima seruan Tuhan?”

“Tidak.” Saya terkesima dan spontan menjawab pertanyaan retorisnya.

“Apakah orang-orang kafir mau mendirikan shalat?”

“Sebagian besar tidak.”

“Apakah orang-orang kafir boleh didoakan agar mereka diampuni?”

“Tidak.” Kali ini pak Panca ikut menjawab.

“Kalau begitu, manakah argumentasi bagi demokrasi yang membolehkan orang-orang kafir menjadi anggota parlemen dengan hak yang sama dengan orang-orang Islam, bahkan membiarkan orang murtad menjadi presiden?”

Semua terdiam. Saya salut. Tenang, intonasinya jelas, ketinggian suaranya pas. Saya belum bisa demikian. Jujur saja saya iri. Semoga bukan dengki, melainkan ghibthah.

“Mas, tolong ini dimasukkan ke lemari dong…” suara Ummu Jiha, sambil mengangkat tumpukan pakaian yang telah dirapikannya. Memutus cerita saya.

“Siap.”

“O ya, ada yang bilang hukum pemilu dengan hukum demokrasi itu beda. Bagaimana menurut mas?”

“Itu penjelasannya panjang. Harus diuraikan dulu fakta tentang pemilu, kemudian diterapkan dalil-dalil yang sesuai dengan tema fakta tersebut, hasilnya hanya ada lima kemungkinan: mubah, sunah, wajib, haram, makruh. Tapi lain kali saja ya… sudah ngantuk.”

“Satu lagi, mas. Ini beda tema. Tentang imamah. Kata temanku, Imam Ghazali di dalam kitab al-Iqtishad fil I’tiqad menyatakan bahwa imamah bukan termasuk perkara yang penting. Apa mas pernah dengar mengenai hal tersebut? Mas? Yah, dia tidur. Professional sekali. Baru aja nyerocos beberapa detik yang lalu. Eh, sekarang sudah tidur.”

“Ummi, Abi sudah datang belum.”

“Eh, Jiha kok bangun?” Jiha nglilir. “Tuh, walid tidur.”

“Yah… Abi, katanya mau nerusin belajar I’rob.” Ditariknya tangan kiriku. Dengan santai, ia membaringkan diri di romonya, dan terlelap lagi. Nadasya ‘Anilhaqq hanya bisa melongo menyangksikan adegan di depan matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar