Jumat, Mei 18, 2012

Membincang Validitas Teori Perubahan Sosial (1)


Membincang Validitas Teori Perubahan Sosial (1)

Pengantar

Sampai beberapa hari yang lalu, masih ada pihak yang mengandalkan tulisan ustadz Sarwat hafizhahullâh wa ghafara lahu yang berjudul Mau Khilafah? Mulailah Dari Sekarang sebagai sebuah argumentasi untuk—disadari atau tidak—menidakpentingkan, atau sekurang kurangnya tidak memprioritaskan upaya penegakan Khilafah (dengan kata lain: upaya meraih kekuasaan untuk menerapkan hukum-hukum Allah secara kâffah dan mewujudkan perubahan revolusioner), dengan alasan bahwa dakwah harus dimulai dari individu, kemudian keluarga, kemudian tetangga, kemudian masyarakat, kemudian negara, dan selanjutnya: dunia.

Perbincangan hangat di sebuah milis di bawah ini mendiskusikan tentang validitas teori tersebut, sekedar untuk menjadi opini berbeda bagi tulisan ustadz Sarwat secara khusus dan teori-sosial-yang-lemah-namun-terlanjur-masyhur secara umum. Meskipun cukup panjang, namun masih ada setidaknya satu tema diskusi lagi yang perlu disimak sebagai kelanjutan dari tema ini. Semoga bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin, serta para peserta yang telah urun saran dengan ikhlas diberi pahala yang berlimpah oleh Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.

http://groups.yahoo.com/group/insistnet/

Satriyo

Setujuuuu ...!!! :-)
rsa

2010/10/22 Agus Wahyu Sudarmaji ...

Mau Dirikan Khilafah? Mulailah Dari Sekarang

Salah satu yang membuat kita berdecak kagum kepada sejarah umat Islam dalam masa-masa khilafah Islamiyah adalah persembahan yang diberikan tiap khilafah itu kepada umat manusia. Salah satu persembahan yang utama adalah jaminan pendidikan dan kesehatan buat semua orang, bukan hanya umat Islam, tetapi semua pemeluk agama.

Perguruan Tinggi di dunia Islam sejak dulu tidak pernah memungut bayaran dari para mahasiswanya. Sebaliknya, semua mahasiswa malah mendapatkan gaji dan tunjangan dari kampusnya. Baik kampus itu milik negara atau pun milik swasta.

Maka tidak heran kalau dunia pendidikan saat itu sangat maju dan berkualitas. Sebab semua orang yang ingin belajar, mendapatkan bantuan dari semua pihak. Bukan saja dari negara, tapi dari semua elemen masyarakat.

Dan gratisnya pendidikan adalah ciri sebuah khilafah Islamiyah. Kalau hari ini ada keinginan untuk mengembalikan lagi khilafah, rasanya sangat tepat kalau ciri-ciri itu kita mulai lebih dahulu. Agar orang tahu, bahwa mendirikan khilafah itu memang ada manfaatnya yang langsung bisa dirasakan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi juga orang pemeluk agama lain.

Sayangnya, nyaris semua kampanye untuk kembali kepada khilafah saat ini, berhenti hanya sebagai slogan kosong tanpa makna. Kalau cuma bicara doang, semua orang juga bisa. Tapi yang dibutuhkan adalah bukti nyata, amal, kerja, prestasi, hasil, manfaat yang real. Bukan hanya janji-janji kosong bak calon anggota legislatif. kalau nanti saya terpilih, saya akan begini dan begitu.

Kalau nanti khilafah sudah bediri, nanti kita akan begini dan begitu. Kalau ada khilafah nanti kita akan makmur.

Itu terbalik. Ciptakan dulu kemakmuran, setidaknya di kalangan yang terbatas, sehingga semua orang tahu dan melihat langsung buktinya. Baru nanti semua orang akan melirik dan melihat langsung. Kemudian orang akan mengambil kesimpulan. Ooo, mereka itu makmur karena mereka menerapkan syariat Islam, yang kalau semakin besar, akan menjadi khilafah.

Saudara-saudara saya yang sangat getol mengkampanyekan tegaknya khilafah itu rupanya bingung harus mulai dari mana perjuangan mereka itu. Persis orang yang bingung, mana duluan, telur atau ayam.

Padahal contoh dari Nabi SAW itu jelas sekali. Tidaklah Madinah itu didirikan, kecuali kalau sudah ada muhajirin dan anshar. Artinya, tidak mungkin khilafah Islam itu berdiri, kalau tidak ada umatnya.

Loh, 1,5 milyar ini apa bukan umat?

Benar, mereka itu umat. Tapi umat yang tidak berhak memiliki khilafah. Karena mereka umumnya tidak kenal agama Islam yang dipeluknya sejak lahir. Yang mereka kenal sekedar ritual-ritual tanpa makna. Karena faktor keturunan saja mereka sekarang secara formal beragama Islam.

Benar, mereka itu umat. Tapi mereka tidak bersatu seperti 15 juta orang yahudi di seluruh dunia. Mereka lebih suka hidup berkelompok-kelompok sambil asyik saling mengejek dan menjelekkan satu sama lain, sembari membanggakan kelompok mereka sendiri. Setiap partai membanggakan apa yang mereka punya.

Setiap jamaah merasa paling unggul dengan prestasinya. Setidak ormas merasa paling berjasa dengan karyanya. Setiap gerakan merasa paling populer dengan nama besarnya. Setiap murid merasa paling benar dengan fatwa ustadznya.

Benar, mereka umat. tapi mereka juga belum lagi menerapkan syariah dalam pribadi dan keluarga mereka. Bahkan mereka pun belum lagi mengerti detail-detail syariah. Karena mereka tidak pernah belajar ilmu syariah secara serius. Latar belakang pendidikan mereka tidak lain adalah ilmu-ilmu milik orang kafir yang sekuler. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka punya sangat terbatas, dangkal, dan sebisa-bisanya saja. Tidak mengambil dari sumber ilmu itu sendiri secara matang dan serius.

Benar, mereka umat. Tapi apa yang mereka makan, tidak tahu halal haramnya. Apa yang mereka minum, juga tidak tahu halal haramnya. Apa yang mereka pakai, juga tidak tahu halal haramnya. Apa yang mereka dapatkan dari rejeki, juga tidak pasti halal haramnya.
Benar, mereka umat. Tapi mereka tidak tahu siapa yang jadi mahram dan siapa yang bukan. Mereka tidak tahu cara bagi waris yang diajarkan Rasulullah SAW. Mereka tidak tahu bahwa mengucapkan talak kepada istri walau cuma main-main ternyata jatuh juga. Mereka tidak tahu kalau wanita yang ditalak suaminya itu ada masa iddahnya dan tidak boleh keluar dari rumah suaminya.

Benar, mereka umat. Tapi mereka tidak tahu bahwa macet di jalanan kota Jakarta itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menjama` shalat. Dan bahwa menjama` shalat itu tidak boleh dilakukan setelah sampai di rumah, karena sudah bukan musafir lagi.

Dalam keadaan yang sangat awam dan parah dalam keawaman itu, rasanya masih mimpi kalau kita bicara tentang tegaknya khilafah islam. Sebab keawaman-keawaman seperti itu tidak pernah terjadi di masa tegaknya khilafah Islam selama 14 abad ini. Dan tidaklah khilafah Turki Utsmani runtuh di tahun 1924 yang lalu, kecuali karena umat ini semakin awam dan terlalu awam dengan syariah Islam.

Maka kalau kita bercita-cita ingin mengembalikan lagi khilafah Islamiyah seperti itu, langkah pertama yang harus ditempuh adalah kita wajib menghidupkan kembali ilmu-ilmu keislaman, sehingga seluruh lapisan umat yang 1,5 milyar ini MELEK syariah. Bukan cuma melek, tapi sampai paham, mengerti, nyambung, tahu, ngeh, dan ngelotok. Kemudian mereka menerapkan syariah itu, minimal mulai dari diri sendiri, kemudian di dalam lingkungan terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Dan seterusnya sampai masyarakat, negera dan dunia.

Jangan sampai orang yang teriak-teriak mengajak untuk mendirikan khilafah malah tidak mengerti detail syariah Islam. Atau tidak bisa berbahasa Arab, sehingga tidak mampu merujuk kepada turats (warisan) ilmu-ilmu keislaman yang asli. Jangan sampai dia malah orang yang masih belajar mengeja huruf Al-Quran, atau baca Quran tidak fasih yang hanya bikin kuping jadi kesemutan.

Katanya mau mendirikan khilafah, lha wong baca Quran aja termehek-mehek gitu kok?
Kenapa begitu?

Karena bicara khilafah artinya bicara berjuta bahkan bermilyar pekerjaan besar. Dan semua itu harus sudah dimulai sejak sekarang, bukan menunggu kalau khilafah sudah berdiri, baru mau kerja.

Salah satu pekerjaan rumah itu ya belajar dulu deh baca quran yang fasih, tanpa salah, dan enak didengar. Kalau itu saja masih belum dikerjakan, terus mimpi bikin khilafah, waduh . . .
Pekerjaan lainnya ?

Ya, itu tadi. Gimana caranya kita bisa punya kampus dan rumah sakit yang gratis. Sebab di masa khilafah dulu, semua kampus dan rumah sakit memang gratis, baik yang negeri atau yang swasta. Dan untuk punya kampus atau rumah sakit yang gratis, tentu tidak harus menunggu khilafah berdiri dulu.

Sebaliknya, justru keberadaan kampus dan rumah sakit gratis itulah yang akan membuat orang-orang tertarik ikut mendirikan khilafah. Karena memang ada manfaat yang nyata dan langsung bisa dirasakan umat.

Bukan sekedar kampanye dan omong kosong.

Shofhi Amhar 
25/10/10

Sehingga bila demikian.. Mari kita pahamkan umat tentang syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Politik, ekonomi, pendidikan, social budaya dll. Semoga tidak akan ada lagi partai Islam yang alergi mengkampanyekan pentingnya penerapan syariat Islam.. Aamiin..

Shofhi Amhar
25/10/10

assalaamu 'alaikum...

bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ala rasulillah. waba'd.

harus saya akui dengan terus terang, banyak hal pernyataan ustadz sarwat yang tidak tepat dalam tulisannya ini. sebagai misal, ustadz sarwat mengemukakan sebuah teori perubahan sosial yang sangat lemah dan tidak ada fakta sejarahnya--meskipun teori tersebut terlanjur masyhur. yaitu ketika mengatakan:

Kemudian mereka menerapkan syariah itu, minimal mulai dari diri sendiri, kemudian di dalam lingkungan terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Dan seterusnya sampai masyarakat, negera dan dunia.

Satriyo  
25/10/10

Versi lain ada tidak ustadz, entah memang versi lain atau alternatif lain...? maksud saya, beliau kan punya sudut pandang kalangan tarbiyah, nah apakah dari sudut pandang lain ada?
salam,

rsa
http://groups.yahoo.com/group/insistnet/

Shofhi Amhar 
25/10/10

saya punya buku judulnya dasar-dasar kebangkitan yang merupakan terjemahan dari kitab usus an-nahdhah karya ustadz ahmad al-qashash. buku tersebut menguraikan secara lugas mengenai berbagai pandangan dalam filsafat sejarah.
saya bisa kirimkan baik versi soft maupun hardnya, kalau antum mau.

Satriyo  
25/10/10

tafadlal ustadz ... yang soft saja sementara ini. syukran
rsa

usamah uus 
25/10/10

Numpang eksis :D

Jadi, Nabi itu langsung mendirikan khilafah ya...eh kekuasaan Islam gitu? tanpa men-ta'dib sahabat2-nya lebih dahulu?....

Eh Nurudin Zanki or Salahuddin itu langsung mendirikan khilafah kemudian memerangi pasukan salib gitu? tanpa Anda melihat proses di belakangnya? (50 tahun sebelum muncul tokoh2 sekelas Zanki)..eh kan udah ada khilafah ya saat itu...kemane aje tuh khalifahnya?
Yang saya ingin katakan, khalifah itu bukan jaminan kejayaan Islam. Tapi individu2nya yg ter-ta'dib & tarbiyah dg baik dan benar shg jika menjadi rakyat atau penguasa/khalifah bisa amanah ...jadi saya setuju dg ustadz Sarwat.

Saran: Coba pahami dulu perubahan sosial yang dilakukan Nabi. Perhatikan juga bagaimana Allah memperjalankan kehidupan Nabi sehingga beliau menjadi manusia yang paripurna.

TTD
Numpang eksis mode:off

Shofhi Amhar ke lasykar5, hamasu_it04
25/10/10

monggo, ustadz..
ustadz usamah juga saya kasih sekalian.:)
semoga bermanfaat.

Shofhi Amhar 
25/10/10

bismillah walhamdulillah washshalatu wassalaamu 'ala rasulillah, wa ba'd.
berikut tanggapan saya, ustadz usamah.

Pada 25 Oktober 2010 01.12, usamah uus hamasu_it04@yahoo.com menulis:
Numpang eksis :D

Jadi, Nabi itu langsung mendirikan khilafah ya...eh kekuasaan Islam gitu? tanpa men-ta'dib sahabat2-nya lebih dahulu?....

Amhar: tidak ada yang menyatakan itu. antum dapat kesimpulan dari mana? justru saya juga sepakat perlu ada proses pembinaan, entah apapun itu namanya. saya menyebutnya tatsqif.

Eh Nurudin Zanki or Salahuddin itu langsung mendirikan khilafah kemudian memerangi pasukan salib gitu? tanpa Anda melihat proses di belakangnya? (50 tahun sebelum muncul tokoh2 sekelas Zanki)..

Amhar: ini juga  kesimpulan dari antum.

eh kan udah ada khilafah ya saat itu...kemane aje tuh khalifahnya?

Amhar: saya tidak lebih tahu dari antum. katakan saja apa yang antum ingin katakan. tak perlu malu-malu.:)

Yang saya ingin katakan, khalifah itu bukan jaminan kejayaan Islam.

Amhar: jika antum mau mengatakan demikian, silakan saja. namun khilafah bukan hanya soal kejayaan, namun juga kepatuhan terhadap Dzat Pembuat syariat, di mana Dia subhanahu wata'ala telah mewajibkan pengangkatannya.

Tapi individu2nya yg ter-ta'dib & tarbiyah dg baik dan benar shg jika menjadi rakyat atau penguasa/khalifah bisa amanah ...jadi saya setuju dg ustadz Sarwat.

Amhar: antum setuju dalam perkara ta'dib tersebut, saya juga demikian. apakah ustadz sarwat hanya menyampaikan itu? dan apakah kritik saya semata-mata hanya pada poin itu? antum simpulkan dari mana? tanggapan saya yang singkat masih hangat. silakan cermati lagi.

Saran: Coba pahami dulu perubahan sosial yang dilakukan Nabi. Perhatikan juga bagaimana Allah memperjalankan kehidupan Nabi sehingga beliau menjadi manusia yang paripurna.

Amhar: saya pribadi sangat senang kalau ustadz usamah bisa mengajari saya untuk membuktikan kebenaran teori ustadz sarwat mengenai perubahan sosial, terlebih perubahan sosial yang dilakukan oleh baginda nabi yang sama-sama kita cintai itu.
wallahul muwaffiq.

Agus Wahyu Sudarmaji
25/10/10

Sudahlah, terima saja masukan dari ust sarwat tanpa terus berdebat panjang lagi. Tidak perlu mencari celah untuk membantah artikel yang memang bagus.

usamah uus 
25/10/10

Numpang eksis :D
Jadi, Nabi itu langsung mendirikan khilafah ya...eh kekuasaan Islam gitu? tanpa men-ta'dib sahabat2-nya lebih dahulu?....

Amhar: tidak ada yang menyatakan itu. antum dapat kesimpulan dari mana? justru saya juga sepakat perlu ada proses pembinaan, entah apapun itu namanya. saya menyebutnya tatsqif.
(Usamah, ed.): agree.

Eh Nurudin Zanki or Salahuddin itu langsung mendirikan khilafah kemudian  memerangi pasukan salib gitu? tanpa Anda melihat proses di belakangnya? (50  tahun sebelum muncul tokoh2 sekelas Zanki)..

Amhar: ini juga  kesimpulan dari antum.

(Usamah, ed): Karena ane lebih melihat gerakan pembenahan Ilmu yang dilakukan Al-Ghazali dan ulama lain masa itu, tinimbang melihat khilafahnya, di mana khalifahnya lebih peduli dengan sepasang merpati yang beberapa hari tak kunjung pulang ke sangkar ketimbang muslim yang dibantai tentara salib. ( klo gak salah ingat, cerita ttg khalifah ini ada di buku yg diterjemahin ustad Asep Sobari)

eh kan udah ada khilafah ya saat itu...kemane aje tuh khalifahnya?

Amhar: saya tidak lebih tahu dari antum. katakan saja apa yang antum ingin katakan. tak perlu malu-malu.:)

(Usamah, ed.): Pendapat ane tetap: khilafah itu hanya system.

Yang saya ingin katakan, khalifah itu bukan jaminan kejayaan Islam.

Amhar: jika antum mau mengatakan demikian, silakan saja. namun khilafah bukan hanya soal kejayaan, namun juga kepatuhan terhadap Dzat Pembuat syariat, di mana Dia subhanahu wata'ala telah mewajibkan pengangkatannya.

(Usamah, ed.): belum bisa comment ....

Tapi individu2nya yg ter-ta'dib & tarbiyah dg baik dan benar shg jika menjadi rakyat atau penguasa/khalifah bisa amanah ...jadi saya setuju dg ustadz Sarwat.

Amhar: antum setuju dalam perkara ta'dib tersebut, saya juga demikian. apakah ustadz sarwat hanya menyampaikan itu? dan apakah kritik saya semata-mata hanya pada poin itu? antum simpulkan dari mana? tanggapan saya yang singkat masih hangat. silakan cermati lagi.

(Usamah, ed.): kan antum quote pendapatnya ustad Sarwat yang antum anggap lemah.
Saran: Coba pahami dulu perubahan sosial yang dilakukan Nabi. Perhatikan juga bagaimana Allah memperjalankan kehidupan Nabi sehingga beliau menjadi manusia yang paripurna.

Amhar: saya pribadi sangat senang kalau ustadz usamah bisa mengajari saya untuk membuktikan kebenaran teori ustadz sarwat mengenai perubahan sosial, terlebih perubahan sosial yang dilakukan oleh baginda nabi yang sama-sama kita cintai itu.

(Usamah, ed.): Saya tidak bisa mengajari Anda.....maaf.

wallahul muwaffiq.

(Usamah, ed.): Af1 ya klo jawaban ane asal aja...soalnya udah capek bahasan ini hanya berakhir di konsep/pemikiran aja. TAKE ACTION aja dr hal2 yang kita mampu .....sperti judul topik ini.

wassalam,
 TTD
Numpang eksis mode:off

Asep Bagja Nugraha
25/10/10

Shofhi Amhar 
25/10/10

tentang khalifah yang wuwuran burung padahal ketika itu umat dalam bahaya, ustadz saya di padepokan juga sering menceritakannya. Tapi beliau tidak lantas meremehkan pembicaraan mengenai khilafah dengan menyatakan diskusi tentang hal ini adalah hal yang tidak penting. Amal apa yang akan dijalankan jika landasan konsepnya tidak kokoh?
well. menurut saya jika antum memang tidak berniat diskusi, antum bisa menahan diri untuk menulis tanggapan.

Adnan Syafii
26/10/10

Dalam al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, Syaikh al-Jaziri mengatakan, "Qad ittafaqa al-aimmah 'ala anna al-imamah fardhun." yang dimaksud aimmah di situ tentu saja adalah para imam mazhab yang empat.

Mas Usamah silahkan mengkaji alasan2 para ulama mengapa mereka mewajibkan Khilafah. Sudah banyak kitab yang membahasnya. Beberapa di antaranya bisa didownload atau untuk gampangnya bisa minta langsung ke mas Shofhi Amhar.

Adapun thariqah untuk mendirikan Khilafah kembali, bisa dibaca di karangan2 Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dan para aktivis Hizbut Tahrir.

Salam

nidlol 
26/10/10

sepertinya diskusi ini kehilangan fokus.
apakah fokusnya membahas wajib-tidaknya mendirikan khilafah? ataukah membahas dari mana pendirian khilafah itu dimulai?

Shofhi Amhar
27/10/10

terimakasih untuk masukannya, ustadz. barakallah fik.
persoalannya, sejauh yang saya lihat, cmiiw, ada semacam kecenderungan, baik sadar atau tidak, memposisikan khilafah hanya sebagai sebuah hasil kesalehan individual yang massif tanpa perlu usaha spesifik-kausalitatif ke arah sana. seolah, dengan hal itu, khilafah bukan lagi sebuah kewajiban.

barangkali antum punya pandangan lain, ustadz?

Abir Sabil  
28/10/10

Mas Shofhi, jazakallaah atas info tentang buku Ususun Nahdhoh itu. Insya Allah saya akan baca. Tapi, bisa antum jelaskan sedikit tentang alasan pelemahan model perbaikan sosial "bottom-up" seperti yang dijelaskan ustadz Sarwat? Kemudian apakah antum mengunggulkan model "top-down" atau ada alternatif lain?

Shofhi Amhar 
29/10/10

Bârakallâhu fîkum, ustadz abir.

Dengan segala keterbatasan, saya coba jawab pertanyaan antum. Perubahan sosial memiliki sunatullah yang tetap. Pencermatan terhadap sejarah perubahan sosial di seluruh dunia akan memberi suatu kesimpulan tentang sunatullah itu berjalan. Nah, kelemahan model perubahan social seperti yang disodorkan ustadz Sarwat --semoga Allah menjaga beliau-- adalah ketidakbersandarannya pada sunatullah dalam sejarah tersebut. Bahkan (atau apalagi) sejarah Nabi sekali pun. Perubahan sosial yang dilakukan Nabi tidaklah 'njelujur' seperti yang dibayangkan orang dari individu-keluarga-masyarakat-negara-dunia. Alur perubahan social seperti ini bahkan bukan milik bangsa mana pun.

Lalu bagaimana model yang benar? Mestinya ini bisa kita diskusikan. Top down, bottom up, atau namanama lain, kiranya bisa disusulkan setelah kita menemukan modelnya. Adapun model alur perubahan social yang sampai saat ini saya anggap paling sesuai dengan sunatullah dan contoh Nabi adalah: individu-kelompok-negara-masyarakat.

Demikian dulu dari saya, Ustadz.

Wassalamu 'alaikum.

zaenalirfan123  
29/10/10

Wah makin kemari makin menarik nih diskusinya, makin terbuka & gak eyel2an. Kalo saya pribadi melihat berbagai jama'ah/ormas dakwah yg ada gak ada satupun yg pure/murni top-down maupun pure bottom-up.

Contohnya HTI yg stressingnya top-down ternyata melakukan bottom-up juga dgn bikin ponpes Hamfara. PKS yg cenderung top-down ternyata manhaj resminya justru tarbiyyatul ummah. Salafiyyin meski di Indonesia pure bottom-up sebetulnya di negara2 spt KSA justru top-down dgn berkolaborasinya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Ibnu Saud. Demikian juga NU, MD, DDII pernah (dan sekarang masih meski scr tdk langsung) top-down.

Jadi kalo menurut saya top-down atau bottom-up bukanlah pilihan biner, melainkan stressing yg sifatnya kondisional saja yg ditimbang berdasarkan manfaat & mafsadat. Tatkala dakwah bottom-up berhadapan dengan maraknya pornografi, narkoba, kkn, dsb maka perlu top-down agar para da'i tdk jadi "tukang cuci" kebobrokan akhlaq. Sebaliknya kalo top-down tdk memungkinkan (mafsadatnya besar) lebih afdhal bottom-up saja.

Maka pertanyaannya jadi bergeser, seberapa besar effort kita sebagai aktivis2 Islam menyumbang tenaga, pikiran, harta utk proyek2 kebangkitan? Baik itu utk proyek2 top-down maupun bottom-up. Nah kalo pertanyaannya gini terus terang saya pribadi jadi malu nih. :) Afwan...

Shofhi Amhar 
29/10/10

Ustadz Zaenal. Afwan, HT adalah partai politik, bukan lembaga pendidikan, sosial, atau yang lainnya. Hamfara bukanlah lembaga pendidikan milik HT.:)

zaenalirfan123  
29/10/10

Oh Hamfara itu unofficial ya akh? Punya pribadi Ust Shiddiq Al-Jawi kah? Tapi gak apa2 kok, biarpun struktur tdk mengakui minimal ada kesadaran dari pribadi para aktivis HTI bahwa dakwah bottom-up juga gak boleh loyo.. :) Mirip2 PKS lah, kalo ma'had2 & SDIT2 yg mereka bentuk diakui scr struktural (official) tentu anak2nya lawan politik PKS bakal gak ada yg masuk ke sana kan?

Kalo yg saya baca dari bukunya Dr. Majid Irsan Kailani sebelum dakwah top-down yg dilakukan Shalahudin Al-Alayyubi diawali dgn bottom-up dulu oleh Imam Ghazali. Demikian juga dari bukunya Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme bahwa dakwah Walisongo diawali dgn bottom-up lalu top-down oleh para Sultan. Jadi nampaknya pemilihan bottom-up atau top-down sifatnya situasional saja.

Biar lebih menarik lagi mungkin para asatidz di sini ada yg berkenan mengkaji dari siroh Nabawiyah.. tafadhol..

M. Sahrul Murajjab
29/10/10

Ustadz Zaenal:
"...Biar lebih menarik lagi mungkin para asatidz di sini ada yg berkenan mengkaji dari siroh Nabawiyah.. tafadhol.."

Rajab:
Insya Allah siap menyimak dan mengambil manfaatnya..

Wassalam.

Best regards
M. Sahrul Murajjab

Shofhi Amhar (untuk Ustadz Abir)
31/10/10

afwan ustadz, saya tidak merasa menamakan perubahan seperti ini sebagai bottom up atau yang seperti itu sebagai top-down. sudah saya tegaskan bahwa penamaan bisa disusulkan kemudian.
mengenai kesalehan individual, benar, kesalehan individual, meskipun bersifat massif, tidak cukup menjadi penyebab tegaknya khilafah.

nidlol 
31/10/10
Mungkin tulisan ringan ini bisa menjadi salah satu pengisi kekosongan:

Saat ditugaskan oleh Redaksi untuk menulis artikel dengan tema "Konsep As-Sunnah An-Nabawiyyah dalam membangun Masyarakat Ideal" ini, saya merasa terhambat oleh dua hal besar. Pertama, cakupan tema ini teramat luas dan dalam. Kedua, membahas konsep As-Sunnah dalam hal seperti ini, sebenarnya adalah membahas mengenai konsep Islam secara keseluruhan itu sendiri. Kapasitas artikel ringan semacam ini tentu saja tidak akan muat menampung butir-butir konsep tersebut. Karenanya, di tulisan yang lebih sebagai sebuah pengantar ini, saya hanya akan membahas beberapa prinsip lazim dan menilik beberapa sisi signifikan saja dari ajaran profetik (nabawi) mengenai tatanan kemasyarakatan yang memang merupakan pondasi utama dalam mewujudkan masyarakat yang mapan dan ideal ini.

Dua prinsip profetik yang paling esensi dan fundamental dalam ikatan komunitas Umat adalah kepaduan orientasi dan kesatuan ikatan. Yang pertama dibangun di atas kesamaan tujuan bahwa segala aktivitas unsur masyarakat Umat adalah untuk merealisasikan ibadah kepada Sang Pencipta Swt. dan memperjuangkan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya saw. Sedang prinsip yang kedua dibangun di atas kesamaan fundamen aqidah dan keimanan yang merupakan "kartu identitas" bagi setiap warga umat Islam. Kesatuan aqidah inilah yang menjadi dasar persatuan universal (wihdatul ummah) yang tidak dibatasi oleh perbedaan bahasa, suku, bangsa, ras, warna kulit, wilayah geografis, ataupun keragaman-keragaman natural lainnya. Rasulullah saw. menegaskan: "Ad-Dînu 'n-Nashîhah" ("Agama adalah loyalitas"), kemudian beliau menjelaskan: "yaitu loyalitas kepada Allah, kepada Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada para pemimpin, dan kepada masyarakat awam umat Islam". Tiga poin loyalitas pertama menunjuk pada kepaduan orientasi dan referensi, dan dua terakhir mengacu pada kesatuan ikatan iman sesama muslim yang merupakan satu umat seakidah. Dua prinsip ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam Al-Quran dengan urutan terbalik: "inna hâdzihî ummatukum ummatan wâhidan, wa anâ rabbukum fa`budûn".

Dua prinsip profetik berikutnya adalah prinsip keadilan dan semangat perjuangan. Keadilan berarti pemenuhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta penempatan segala urusan dan permasalahan pada konteks dan kadarnya yang proporsional. Sedangkan semangat perjuangan berarti partisipasi aktif dari segala elemen masyarakat dalam membangun kemajuan menyeluruh, menjaga keutuhan Umat, menegakkan amar makruf nahi munkar, membantu sesama warga, serta berjuang melindungi harta, nyawa, dan negeri umat ini dari serangan luar. Prinsip keadilan merupakan pijakan sentral seluruh aturan Islam, bahkan merupakan spirit yang tak terpisahkan dari seluruh aturan Syariat, karena memang "inna 'llâha ya'murukum bi 'l-`adli wa 'l-ihsân". Menegakkan keadilan ini merupakan kewajiban setiap elemen masyarakat, utamanya para pemimpin, seperti diteladankan Rasulullah saw. dalam setiap kebijakannya. Beliau juga menegaskan, "Idzâ hakamtum, fa`dilû…" ("Jika kalian memerintah, maka berlaku adillah!"). Bahkan, keadilan inipun harus dimulai dari lingkungan masyarakat yang terkecil, yaitu keluarga. Seperti disabdakan Rasulullah saw., "ittaqu 'llâh, wa '`dilû baina aulâdikum". Prinsip keadilan tidak hanya terkait dengan perlakuan yang proporsional terhadap bawahan, tapi mencakup segala penunaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, termasuk pembayaran tanggungan pada waktunya, seperti dinyatakan dalam hadits: "mathlu 'l-ghaniyyi dhulmun".

Mengenai semangat perjuangan dan prinsip solidaritas sesama umat, Rasulullah saw. menegaskan bahwa jihad adalah puncak punggung (dzirwatu sanâm) Islam itu sendiri. Rasul juga menekankan bahwa umat Islam adalah satu kesatuan tubuh, di mana ketika terjadi problem di salah satu organ, maka organ lainnya pun akan mengerang kesakitan. Perjuangan dan solidaritas adalah komponen utama jihad, yang merupakan modal dasar keutuhan Umat dan kemapanan kondisi. Rasulullah saw. bahkan menegaskan, "mâ taraka qaumun al-jihâda illâ `ammahumu 'llâhu bi 'l-`adzâb" ("tidak ada satu komunitas pun yang meninggalkan Jihad, melainkan Allah akan meratakan siksaan kepada mereka"). Jihad ini tentu harus terbangun oleh perjuangan kuat memperdalam ajaran Islam, perjuangan kontinyu menegakkan aturan Syariat di segala lini kehidupan, perjuangan sosial dalam membantu sesama warga dan menjalankan dakwah, serta perjuangan verbal dan militer dalam melindungi Umat dan menyebarkan misi Islam.

Keempat prinsip dasar di atas (kepaduan orientasi yang lurus, kesatuan ikatan iman, keadilan yang menyeluruh, serta perjuangan dan solidaritas) merupakan spirit integral yang harus terwujud secara nyata dalam tataran praktis di segala sisi kehidupan masyarakat yang kita idealkan. Baik di tataran akidah dan ibadah, di tataran ekonomi dan sosial, maupun di tataran politik dan militer. Dalam hadits-hadits dan sunnah-sunnah praktisnya, Rasulullah saw. telah mengajarkan sekian besar pedoman dan aturan—baik global maupun spesifik—yang sangat bijak dan kompleks untuk kita diterapkan dalam ketiga segmen kehidupan masyarakat tersebut.

Di tataran akidah dan ibadah misalnya, Rasulullah saw. memberikan prioritas pertama dalam setiap dakwah beliau kepada penanaman iman, pengokohan tauhid, serta penegakan shalat. Ini ditekankan oleh Rasulullah semenjak dakwah di Mekkah, ketika mengirim utusan ke Madinah, sampai ketika berada di Madinah dan mengirimkan utusan-utusannya ke wilayah umat Islam yang lain sebagaimana dengan jelas kita baca dalam catatan otentik Sirah dan Sunnah. Seperti misalnya pesan Rasul saw. kepada Muadz r.a. ketika mengutusnya ke Madinah ("falyakun awwala mâ tad`ûhum ilaih an ta`budu 'llâha wa lâ tusyrikû bihî syaian…"), dan ke Yaman ("inna ahamma amrika `indî ash-shalâh"). Poin akidah dan ibadah ini terus diprioritaskan oleh para Khalifah sepeninggal Rasul, sampai-sampai Khalifah Umar r.a. berkata: "Sesungguhnya saja aku mengirim para pegawaiku kepada kalian adalah untuk mengajarkan kalian Kitabullah dan Sunnah Nabi, serta menegakkan Agama di antara kalian". Tanpa penegakan yang utuh di sisi ini, tatatan masyarakat yang mapan tidak akan pernah terwujud, sebab Akidah dan Ibadah adalah ajaran paling esensi sekaligus bidang paling ideal bagi kemajuan sebuah masyarakat.

Di segmen sosial dan ekonomi, Rasulullah saw. memberikan tuntutan pola interaksi yang sangat mulia dan proporsional. Kehidupan sosial umat Islam dibangun di atas ajaran mengenai Akhlak Karimah dan jiwa solidaritas yang tinggi. Kejujuran (ash-shidq), keramahan (thalqu 'l-wajh), kedermawanan (al-ihsân), kerendahhatian (at-tawâdlu`), tanggung jawab (al-amânah), dan moral-moral mulia lainnya merupakan ajaran-ajaran yang senantiasa ditekankan dan diteladankan oleh Rasullah saw. dalam kehidupan sehari-hari; baik terhadap diri sendiri, terhadap keluarga dan kerabat, maupun terhadap masyarakat umum dan bahkan tumbuhan dan hewan-hewan sekalipun. Rasul bahkan menyatakan bahwa mukmin yang paling sempurna, adalah yang paling baik akhlaknya.

Begitu juga di segmen ekonomi, Rasulullah dengan syariat Islam yang dibawanya, mengajarkan pola kegiatan ekonomi yang adil, seimbang, dan merata; tidak hedonis, tidak materialistik, tidak mengandung unsur-unsur penaniayaan (adh-dhulm), tidak mengandung unsur-unsur ketidak jelasan (al-gharar), tidak juga unsur-unsur penipuan (al-ghisysy). Di atas itu, Rasulullah saw. mengajarkan sebuah pandangan, bahwa segala harta yang kita cari dan kita raih, adalah titipan ilahi yang harus dipertanggungjawabkan nantinya di akherat, juga merupakan bagian dari dana Umat yang harus disalurkan pada pembiayaan-pembiayaan yang bermutu.

Sementara itu, di tataran segmen politik dan militer, Rasulullah saw. menjelaskan dengan rinci kewajiban dari tiap elemen masyarakat dalam tataran ini. Ajaran mengenai keadilan pemimpin, tanggung jawab pegawai, ketaatan rakyat, kebijakan hakim, kejujuran ulama, kesungguhan tentara, sumbangan hartawan, dan partisipasi sipil adalah poin-poin sentral yang membentuk tatanan nabawi dalam menjaga konstelasi masyarakat yang stabil sekaligus dinamis di segmen ini. Rincian konsep Islam dalam bidang politik dan militer ini telah banyak didedahkan dengan cermat oleh buku-buku mengenai Siyasah Syar'iyyah yang telah ditulis para ulama semenjak masa klasik yang lampau dan tetap mengandung tingkat aktualitas yang lumayan tinggi untuk penerapannya di masa kini.

Konstelasi sosial yang dibangun di atas tatanan akidah, ibadah, budaya, ekonomi, politik, dan militer yang profetik memang merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang ideal, masyarakat adik dan makmur yang selalu berdinamika menuju tegaknya risalah Allah Ta'ala di muka bumi ini. Itulah, masyarakat islami.
(Nidlol Masyhud; ditulis tempoe doeloe untuk Buletin Misykati)

tambahannya:

... tugas kita sekarang, untuk melakukan revitalisasi nafas-nafas peradaban yang telah diteladankan di zaman rasulullah saw. memang tentunya prestasi yang akan ditelurkan anak zaman ini tidaklah segemilang masa klasik itu. tapi paling tidak, kita punya semangat & langkah nyata. jadi mungkin bisa dimulai dari diri kita dan lingkungan sekitar. cara praktisnya? diawali dengan membangun spirit loyalitas yang universal akan islam dan umat islam, serta tidak lagi berpikiran sempit dalam skup-skup teritorial, nasionalitas, ataupun kesukuan dan perbedaan-perbedaan lainnya yang tidak signifikan. seperti sabda kanjeng nabi: "ad-diinu an-nashiihah" ("agama adalah loyalitas").

jadi starting poinnya ada di pembangunan loyalitas. kalau loyalitas sudah tumbuh, insyaallah yang namanya solidaritas dan langkah-langkah nyata perbaikan konstruktif bi idznillah akan bisa terwujud. semoga!
wallahu a`lam.

nidlol  (untuk Shofhi Amhar)
31/10/10

Saya melihatnya dari sisi yang berbeda.

Khilafah, bagi pemahaman saya, adalah sebuah "wasilah" (sarana). Ia bukan "ghayah" (tujuan), sehingga tidak bisa disetarakan dengan "penegakan syariat Islam". Penegakan syariat Islam itulah ghayah-nya, sedangkan khilafah hanyalah salah satu wasilah-nya.

Ini jika kita mendefinisikan "khilafah" sebagai "pemerintahan global yang menyatukan umat Islam sedunia di bawah satu kepemimpinan pusat". Tapi kalau kita mendefinisikan "khilafah" sebagai "niyaabatun nubuwwah fii iqaamatid-diin wa-siyaasatid-daulati bih" (representasi profetik menegakkan Agama dan memfungsikannya untuk mengatur Dunia), maka khilafah dalam pengertian itu adalah "penegakan syariat Islam" itu sendiri.

Nah, ghayah "penegakan syariat Islam" itu wajib dilakukan di mana saja dan dalam skup apa saja sekuat kemampuan, baik di infdividu, di keluarga, di masyarakat, maupun di negara. Kewajiban in bersifat langsung dan paten, sehingga tidak perlu harus runut bottom-up ataupun top-down--meskipun juga tetap ada mekanisme neraca prioritas (dimulai dari yang paling penting, dimulai dari yang paling memungkinkan, dimulai dari yang paling mendesak, dan dimulai dari yang peling terdekat).

ahmad rofiqi
31/10/10

saya setuju dengan ust nidlol. khilafah itu institusi, sedangkan  penegakan syariah Islam itu adalah isinya. kita mau pilih institusi atau isi? kalau institusi, maka kita akan temukan dalam sejarah bahkan  hingga hari ini, bahwa institusi yang diberi nama Islam (khilafah, daulah, negara, republik, ormas, partai, forum, lembaga, dst) belum tentu mencerminkan isinya yaitu Islam itu sendiri. kalau kita perjuangkan isi, maka tanpa menyebut nama (sehingga tidak terjebak dalam konflik yang tidak penting), perjuangan Islam bisa terus berjalan dengan lebih lancar.

tapi saya percaya, kalau hizbut tahrir mendakwahkan khilafah, tentu bukan sebagai institusi semata, tapi juga mencerminkan konsistensi antara nama dan isi. sedangkan PKS, yang saya tahu sejauh ini lebih menekankan isi atau substansi. oleh karena itu, PKS tidak terlalu meneriakkan isu-isu formal seperti syariah Islam, piagam jakarta, khilafah dst. tapi, perjuangan penegakkan syariah dimasukkan dalam regulasi secara simultan: sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh gerakan Islam manapun di Indonesia.

menurut saya, kedua harakah ini memiliki tujuan sama. cuma, masih banyak terdapat kesalahfahaman terhadap partai Islam yang memperjuangkan negara Islam melalui jalur demokrasi sehingga banyak dikritik oleh kalangan Islam lain secara terbuka. menurut saya ini tidak terlalu merugikan untuk PKS, tapi justru merugikan kalangan gerakan Islam itu sendiri. karena, saat ini umat Islam lebih memperhatikan hasil nyata daripada wacana dan kritikan.
wassalam,
ahmad rofiqi

Satriyo (untuk Shofhi Amhar, ed.)
01/11/10

Partai Politik denagn definisi seperti apa ustadz ... dan mengapa tidak dari awal terjun ke kancah ke-partai-politik-an untuk berjihad intra-parlementer?

Shofhi Amhar 
01/11/10

sebelum lebih jauh, ustadz satriyo, apakah perbincangan kita relevan dengan tema? insya Allah saya bersedia meneruskan jika jawabannya: ya.:)

Asep Bagja Nugraha
01/11/10

Sepengetahuan saya, tujuan HT bukanlah mendirikan khilafah, tetapi melanjukan kehidupan islam. Akan tetapi, ternyata khilafah adalah satu-satunya metode untuk  menegakkan islam secara menyeluruh baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Saya tidak tahu apakah ada wasilah yang lain untuk menegakkan islam secara menyeluruh,mungkin Ustadz bisa berbagi.
Barakallah

Satriyo (untuk Shofhi Amhar)
01/11/10

tentu ustadz ... tapi buat sementara silakan antum tanggapi saja para asatidz dulu, ust nidlol, ust sabir, ust rofiqi dll, krn saya masih amatir dalam mendapami tema ini ... jadi bisa menunggu lah ... :-)

Adnan Syafii (untuk Ahmad Rofiqi)
01/11/10

menurut saya, kedua harakah ini memiliki tujuan sama. cuma, masih banyak terdapat kesalahfahaman terhadap partai Islam yang memperjuangkan negara Islam melalui jalur demokrasi sehingga banyak dikritik oleh kalangan Islam lain secara terbuka. menurut saya ini tidak terlalu merugikan untuk PKS, tapi justru merugikan kalangan gerakan Islam itu sendiri. karena, saat ini umat Islam lebih memperhatikan hasil nyata daripada wacana dan kritikan.

komentar saya:
Siapa bilang? Toh hizbut tahrir selaku pengkritik demoskrasi tetap teguh dengan ketidakikutsertaannya dalam sistem demokrasi. seandainya memang rugi, secara akal sehat, tentu hizbut tahrir akan merubah thariqahnya dan akan setuju berperanserta dalam demokrasi. Tetapi, sejak dulu sampai sekarang nyatanya tidak. Ini artinya apa? Tentu saja hizbut tahrir tidak pernah merasa rugi.

Untuk umat Islam yang lebih memperhatikan hasil nyata daripada wacana dan kritikan, mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa umat lebih memperhatikan orang2 yang berbuat daripada sekedar omong doang. Kalau Khilafah belum juga tegak sampai saat ini, tentu tidak bisa dikatakan Hizbut tahrir hanya omong doang. Hizbut tahrir bisa dikatakan omong doang kalau tidak ada aksi untuk mewujudkan khilafah. Tetapi pada faktanya, tidak demikian. HT terus beraktivitas. terus memperbesar jumlah anggotanya. terus berwacana. terus meningkatkan pemahaman masyarakat tentang urgensi Khilafah dan kewajiban menegakannya dalam Islam. Dan terus... melakukan dakwahnya hingga datangnya pertolongan Allah, dalam bentuk tegaknya Khilafah, yang dengannya syariah akan tegak dan dengannya pula tak ada lagi aktivitas memusyawarahkan: apakah hukum allah ataukah hukum buatan manusia sendiri yang akan kita terapkan?.

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS Almaidah: 50)

ahmad rofiqi  
01/11/10

mengalami rugi dan merasa rugi itu dua hal yang berbeda. ada yang sebenarnya rugi, tapi tidak merasa rugi. menurut saya, hizbuttahrir mengalami kerugian (meski tidak merasa), karena sikapnya yang kadang lebih mendahulukan kritikan terhadap partai Islam daripada partai sekuler. padahal, sebenarnya ini hanya masalah metode gerakan yang beda. jika hizbuttahrir lebih suka berwacana, maka partai Islam lebih menekankan amal nyata. baik berupa regulasi di tingkat pemerintahan di tingkat pusat hingga daerah, hingga aksi nyata di lapangan dalam bidang ekonomi, sosial, pertanian, seni dan sastra dan lain-lain.

wassalam,
ahmad rofiqi

Abir Sabil  
01/11/10

Koreksi kemarin ini memang untuk saya sendiri Mas Shofhi.

Saya sudah membuka-buka beberapa halaman buku Ususun Nahdhoh. Dari situ saya agak lebih memahami poin yang antum maksud dengan melemahkan model perbaikan sosial dengan jalur: pribadi-keluarga-masyarakat-negara. Saya perlu tahu, apakah antum sepakat bahwa untuk memperbaiki sesuatu kita perlu memulai dari bagian-bagiannya? Kalau ya, berarti tidak ada yang perlu dilemahkan dalam model tersebut. Ahmad Al-Qoshosh tidak menyetujui ungkapan: ashlihil farad yashluhil mujtama' (perbaikilah individunya, maka masyarakat ini pun akan menjadi baik). Tapi sayang, saya belum menemukan sesuatu yang betul-betul bisa menjadi alasan dari ketidaksetujuan tersebut. Yang saya dapatkan hanyalah koreksi beliau terhadap pengertian orang kebanyakan bahwa masyarakat itu adalah "sekumpulan individu". Menurut beliau, pengertian ini sekalipun bersifat "jami'", tapi ia tidak "mani'". Memang masyarakat itu kumpulan manusia, tapi tidak semua kumpulan manusia dapat disebut masyarakat. Kumpulan manusia di dalam sebuah bus, misalnya, jelas tidak dapat disebut masyarakat. Kemudian beliau menjelaskan apa sebenarnya masyarakat itu. Namun sekali lagi, penjelasan ini tidak berhubungan dengan ketidaksetujuan beliau terhadap pandangan yang mendasari perkataan "ashlihil farda yashluhil mujtama'" itu.

Saya lihat, masalahnya bukan pada apakah kita perlu memulai usaha perbaikan dari bagian-bagian umat ini atau tidak. Yang mengingkari kemestian memperbaiki bagian-bagian dari sebuah keseluruhan agar keseluruhan itu menjadi baik sepertinya adalah orang yang sedang mengigau tentang perbaikan sosial. Untuk memperbaiki sebuah mesin saja, seseorang perlu mengetahui bagian onderdil mesin mana yang rusak. Jelas, onderdil mesin itu merupakan bagian dari keseluruhan mesin.

Yang menjadi masalah sebenarnya adalah pengertian kita tentang sifat "baik" itu sendiri. Sifat "saleh" itu sendiri. Yang saya pahami, saleh adalah melakukan apa yang sesuai dengan tujuan keberadaan sesuatu. Dengan demikian, tidak ada pembedaan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Sebuah onderdil mesin dikatakan baik kalau ia bekerja sesuai dengan tujuan yang dikehendaki darinya. Begitu juga individu, keluarga, masyarakat atau negara yang baik atau saleh. Dan tujuan keberadaan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Kalau masing-masing individu benar-benar sudah saleh, maka sudah pasti suatu keluarga yang dibentuknya juga saleh. Demikian seterusnya sampai ke bagian yang paling besar. Kalau diandaikan bahwa sebuah massa yang saleh tidak cukup untuk membentuk sebuah khilafah, maka problemnya terletak pada pengertian tentang sifat saleh yang disematkan kepada massa tersebut. Bukan pada kemestian memperbaiki bagian-bagian dari sebuah keseluruhan.

Wallahu a'lam.

nidlol (untuk Shofhi Amhar)
01/11/10

1. Maksud saya dengan "wasilah" di situ dekat dengan "pengangkatan imam shalat" sebagai sarana untuk "melaksanakan shalat jamaah". Sebuah "wasilah" bisa wajib dan bisa tidak, serta bisa tak-tergantikan dan bisa bervariatif. Untuk "persatuan umat Islam sedunia", khilafah adalah wasilah yang wajib sekaligus tak-tergantikan. Namun untuk "penegakan syariat Islam", tidak semua unsurnya bersandar pada wasilah berupa khilafah. Wasilah wajib tak-tergantikan dari "penegakan syariat Islam" ini adalah "loyalitas" sebagai saya singgung dalam tulisan tentang tatanan profetik konstelasi sosial kemarin.

2. Kalau "kewajiban agama", ketentuannya dengan Quran dan Sunnah (yang juga bisa ditunjukkan oleh Ijma' dan Qiyas). Kalau pembedaan "wasilah" dan "ghayah", ini dengan membandingkan mana yang merupakan tujuan final dan mana yang merupakan pengantar ke tujuan tersebut. Sebuah "ghayah", dalam hierarki yang lebih kompleks, bisa juga merupakan wasilah untuk "ghayah" lainnya yang lebih substansial.

3. Kalau definisi "khilafah" seperti itu, maka berarti ia sudah mencakup wasilah sekaligus ghayah dari poin yang saya singgung kemarin. Wasilahnya adalah "ri'asah `aammah" dan ghayahnya adalah "iqaamatusy-syarii`ah" serta "da`wah islaamiyyah".

Wallaahu a`lam.

nashrudinism  
02/11/10

Afwan ustadz kalau ane memahami ini :

"sehingga banyak dikritik oleh kalangan Islam lain secara terbuka. menurut saya ini tidak terlalu merugikan untuk PKS, tapi justru merugikan kalangan gerakan Islam itu sendiri."

Ane membaca tulisan diatas, kalimat terakhir kok memahaminya bukan merugikan HT ya, tetapi merugikan 'kalangan' islam yang lebih luas, karena dengan kritik sesama gerakan islam akan melemahkan 'kalangan' atau 'masyarakat' islam secara lebih luas, karena ummat islam dengan segala macam cara yang ditempuh nya hanya terkonsentrasi pada saling mengkritik 'cara' nya satu sama lain, sementara musuh2 islam kaum liberal, kafir dll dengan enaknya menikmati tontonan gratis antar 'kalangan' islam...

Wass,
Udin

Muhammad Arafah
02/11/10

Bismillah...

Untuk umat Islam yang lebih memperhatikan hasil nyata daripada wacana dan  kritikan, mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa umat lebih memperhatikan orang2 yang berbuat daripada sekedar omong doang ----Komentar :) :

Ana tidak ingin masuk pada masalah siapa yang berbuat dan siapa yang omong  doang. Ana memahami bahwa semua gerakan ISLAM punya andil "berbuat" meskpun dalam tahapan pemahaman yang berbeda-beda. HT bisa saja menganggap dirinya "berbuat" dengan mencoba memberikan pemahaman tentang ISLAM yang sesuai dengan Thariqah.
PKS bisa juga menganggap dirinya "berbuat" karena menurut PKS yang dimaksud berbuat ya seperti yang kita lihat selama ini :)

Kata "berbuat" bisa berbeda-beda penafsirannya. Yang jadi pertanyaan adalah  Objeknya. Apakah Objek tersebut menganggap "berbuat" versi HT atau PKS....mana yang lebih mereka rasakan manfaatnya..
Muhammad Arafah

adian husaini
02/11/10

Khilafah itu idealnya akan menyatukan dunia Islam di bawah satu pemerintahan. Apa itu mungkin,kalau kita masih cinta dunia, bangga dengan kelompok yang berlebihan, dan kader-kader kita juga kita belum menjadi umat dengan kualitas terbaik. Daulah Madinah berdiri sebagai sebuah bangunan peradaban yang tinggi karena ditopang oleh manusia-manusia dengan kualitas terbaik, bahkan sampai zaman kini. Saatnya kita bekerjasama meningkatkan kualitas kader-kader kita, -- juga diri kia -- sehingga semakin dekat dengan Allah dan ikhlas. sebab, ikhlas ini sangat susah sekaliiii....... sebelum itu terjadi, jangankan bikin khilafah, saya yakin, bikin sekolah Islam, rumah sakit Islam, koran Islam, TV Islam, partai Islam, dan sejenisnya, masih belum optimal. Saya bersyukur, juga sekaligus sering prihatin, mikir diri sendiri, di negara Indonesia sekarang, tidak dilarang puasa Daud, tai saya belum bisa, tidak dilarang menghafal al-Quran, tapi saya belum bisa, tidak dilarang
bikin koran Islam, saya belum bisa, tidak dilarang bikin kampus Islam yang bagus, saya juga belum bisa, tidak dilarang shalat tahajjud, juga belum bisa rutin, dan sebagainya..... mudah-mudahan saya bisa menjadi orang yang taqwa, meskipun menjadi rakyatnya Pak SBY. ....

Akmal Sjafril
02/11/10

Ini sumbangan pemikiran yg bagus.  Ternyata kita fokus pada hal-hal yg sulit, sementara yg dimudahkan bagi kita justru tidak dikejar.  Kita punya banyak peluang, tapi peluang2 itu kelihatannya seperti target2 kecil, sementara kita ingin target yg besar.  Padahal yg besar2 itu dibangun dari yg kecil2.

Di milis warnaislam, saya sudah sering menyampaikan bahwa kita tidak boleh terlalu mudah menyalahkan demokrasi atau sistem yg kita hidup di dalamnya sekarang ini.  Bukan apa-apa, karena pernak-pernik masalah yang akan dihadapi dalam sistem khilafah dan sistem demokrasi takkan 100% berbeda. Sebagai contoh, pegawai negeri di negara demokrasi dan negara khilafah ya pasti ada.  Bagaimana mengatur mereka?  Ilmu manajerial dlm mengatur pegawai negeri di sistem demokrasi dan sistem khilafah jg banyak persamaannya, karena toh objeknya sama-sama manusia.  Kalau kita, para aktifis Islam, menjauhi masalah ke-pegawainegeri-an ini, maka kalau besok khilafah berdiri, kita akan gagap karena tak pernah mengurusi masalah2 ini sebelumnya.  Ada jg aktifis yg lebih ekstrem lagi, benar2 alergi sama PNS, bahkan dia sinis pada semua PNS, krn dianggapnya bekerja utk suatu sistem kufur.  Sekarang pertanyaannya, andaikata besok khilafah berdiri (entah gmn caranya, silakan berimajinasi), apakah semua PNS itu mau dipecat saja, dan rekrut PNK (Pegawai Negeri Khilafah)?  Tentu ini tidak realistis.  Karena itu, utk menyongsong cita2 khilafah, kita harus berpuas diri dengan PNS yg ada, memperbaiki kualitasnya di sana-sini, membikin mereka sadar syari'ah, dst.

Itu baru soal PNS.  Gimana dengan bea cukai?  Kepolisian?  Tentara? Perkeretaapian?  Maskapai penerbangan?  Bikin KTP, SIM dan Kartu Keluarga? Hubungan luar negeri?  Lembaga peradilan?  Apakah SEMUA aspek ini akan dihapus begitu saja dan disusun ulang hanya karena sebelumnya menggunakan sistem demokrasi dan bukannya sistem khilafah?  Tentu saja tidak, karena dalam mengurusi masalah2 yg sudah saya sebutkan di atas (dan buanyaaaaak masalah2 lainnya) tidak 100% beda, bahkan nyaris sama, antara di sistem demokrasi atau khilafah.  Di demokrasi ada kepolisian, di khilafah jg mesti ada.  Kepolisian yg ada, apakah harus dilucuti semua?  Sulit sekali membayangkan hal itu terjadi.  Yang mungkin dilakukan adalah merangkul kepolisian dan membantu mereka memperbaiki dirinya secara bertahap.  Kita butuh mereka.  Sekarang pertanyaannya, siapa yg merangkul mereka?  Siapa yg memperbaiki sistem di tubuh kepolisian?

Agenda perbaikan di tubuh umat Islam sendiri masih begitu banyak yg tidak ter-handle.  Profesionalitas aktifis-aktifis dakwah masih banyak dipertanyakan.  Di mana-mana, kalau aktifis dakwah Islam yg bikin acara, seringnya pakai jam karet.  Dari rapat sampai seminar, kebiasaannya seperti itu, merata di semua harakah.  Bagaimana mau mengalahkan orang2 kafir yang lebih sigap, lebih tangkas, lebih terorganisir, lebih profesional, lebih mandiri, lebih disiplin, lebih melek teknologi, dsb?  Kalau sistem pemerintahan di negeri ini kita anggap kacau-balau karena pejabat eksekutif-legislatif-yudikatif tidak profesional, kita perlu bertanya: "apakah keadaan akan lebih baik kalau tugas2 mereka diserahkan pada kita?" Jangan2 malah lebih parah.

fadil
02/11/10

Ini yang juga saya pahami ust. Adian. Di salah satu tempat saya mengajar 95% siswanya bergama Islam, tetapi masih banyak yang belum bisa baca al-Qur'an dgn lancar. Masih ada yang belum tahu beda antara rukun Iman dan Islam. Masih susah diajak sholat. Di Indonesia, jumlah seperti itu bagaimanapun masih lebih banyak dibandingkan dengan yang udah 'harakah'.

Ada seorang mahasiswa (aktifis HT) ditempat kami. Ia cukup aktif mengajak diskusi membahas pentingnya khilafah, tetapi ia tidak mendapat respon baik. Sampai sekarang ia tetap usaha dalam kesendiriannya. Bukan karena di lingkungan sudah ada harakah atau madzhab tertentu sehingga ia ditolak, tetapi lebih pada "mad'u" yang belum banyak 'akrab' dgn Islam, tiba-tiba muncul lagi istilah 'khilafah'.

Bagi saya pribadi, umat Islam harus salih dan pintar dulu saja. Biarkan mereka membangun keluarga mereka. Membimbing mereka dalam jalan yang benar, bukan dalam kesesatan dan kebodohan. Masyarakat di Indonesia ini senang dalam ‘mencontoh’ yang menurut mereka ideal dan baik sehingga para dai juga harus mampu berada pada posisi tersebut, karena itu jadi ‘kunci’ penerimaan terhadap dai. Harus mampu menerima pendapat kelompok Islam yang berbeda, tetapi jangan memaksa dan bersikap lebih ‘keras’ sesama kelompok Islam tersebut. Jangankan mendapatkan dukungan, yang ada malah menjadi contoh tidak baik.
-wslm

Asep Bagja Nugraha
02/11/10

Kadang kita terjebak oleh ucapan-ucapan manis dari orang-orang barat bahwa demokrasi itu adalah musyawarah, menampung aspirasi rakyat, atau hal-hal yang sifatnya prosedural.
Padahal hakikat demokrasi itu sendiri sepertinya tidak pernah kita perhatikan, yaitu mengalihkan pembuat hukum kepada manusia, bukan Sang Pencipta.

Satriyo (untuk Fadil)
02/11/10

Rasulullah tidak serta merta mendirikan khilafah kok ... dan wasilah dakwah era mekkah beda dari era madinah ... dan dari era fathu mekkah ...
rsa

Akmal Sjafril (untuk Asep Bagja Nugraha)
02/11/10

Nah, itu berarti antum gak baca tanggapan2 dari saya, ust Adian dan akh Fadil, atau sengaja menolak utk mendalaminya.

adian husaini 
02/11/10

Makanya, segera kita bikin khilafah, biar diskusi kita segera selesai.... Jamaatul Muslimin sudah bikin...Khalifahnya juga sudah ada...

Abir Sabil  
02/11/10

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (Al-Ahzab: 70-71)

Dari ayat ini ditarik sebuah faidah bahwa Allah akan memperbaiki amalan-amalan kita kalau kita bertakwa dan mengatakan perkataan yang benar. Perkataan yang benar ini tentunya bukan hanya mengenai kenyataan jauhnya amalan kita dari kebenaran-kebenaran yang telah kita ketahui. Tapi juga mengenai hal-hal yang memang harus kita ketahui dulu secara benar sebelum kita beramal. Semoga Allah memberikan kita semua hidayah untuk mendapatkan perkataan yang benar itu. Karena manakala seseorang belum juga dapat mengatakan perkataan yang benar mengenai sesuatu, maka kerusakan amal akan terlihat padanya.
Wallahul muwaffiq.

Abir Sabil  
02/11/10

Sebuah faidah dari ayat tadi terlewatkan.
Kemenangan yang besar itu dikatakan oleh Allah: didapat ketika seseorang mentaati Allah dan Rasul-Nya. Bagian awal ayat ini ditujukan kepada kaum mukminin secara umum. Namun bagian akhirnya memberikan informasi mengenai individu (secara perseorangan). Perbaikan amal secara kolektif dari Allah itu terwujud kalau perkataan yang benar dan ketakwaan itu juga berlaku secara kolektif. Namun pada momen menuju perbaikan kolektif tersebut, ternyata ada kemenangan besar yang bisa diraih untuk diri pribadi. Dan itu adalah dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu'alaihiwasallam.
Wallahu a'lam.

ahmad rofiqi  
03/11/10

dr adian,

fikiran saya juga mengikuti seperti itu. saya percaya bahwa khilafah hanya bisa didirikan dengan kekuatan bersama kalangan Islam. menurut saya, semua gerakan Islam memiliki tujuan sama, namun dengan kemasan dan metode yang beda. gerakan Islam tidak harus bersatu, namun cukup untuk tidak saling menyerang dan mengkritik. untuk bisa seperti itu, kebanggaan berlebihan terhadap golongan harus dihilangkan.

saya juga percaya bahwa khilafah tidak mungkin terjadi jika mutu umat Islam masih rendah. dengan kata lain, khilafah Islamiyah tidak mungkin didirikan oleh umat yang tidak bermutu seperti umat Islam di hari ini. kalau khilafah dipaksakan, ujung2nya, khilafah hanya berdiri secara institusi tapi isinya kosong dari Islam. tidak ada bedanya dengan negara mesir, saudi, pakistan, libya dst yang mengaku berlandaskan Islam, tapi isinya bukan Islam. disini yang harus didahulukan bukan formalisasi, tapi substansi.

contoh simpel: menurut depag, 50% warga jawa barat dewasa buta huruf al-qur'an. komnas perlindungan anak mengatakan 62% remaja smp di 12 kota besar seluruh indonesia pernah/biasa berzina. kriminalitas di DKI menurut polisi, mencapai 4000 kasus per tahun dan terus meningkat. dengan tidak menyebut korupsi, kebodohan, kemalasan, kemaksiatan lain, umat seperti ini sangat tidak pantas diajak mendirikan khilafah.

mesti ada perbaikan dulu mutu komitmen agama, mutu pendidikan, mutu ekonomi, sains, kreatifitas dan inovasi, mutu media massa, militer, mutu seni dan sastra dan lain-lain. untuk memperbaiki itu semua, kita tetap harus berpegang dengan metode Islam, bertujuan Islam, negara Islam, atau khilafah Islam, tapi tidak harus menyebutkannya secara terbuka. saya kira, inilah yang sedang dikerjakan oleh kalangan partai Islam. bekerja untuk Islam, tapi tidak menggunakan slogan Islam secara terbuka. ini adalah usaha untuk membuat umat Islam pantas mendirikan khilafah.

tapi, kalau ada yang mau menyebutkan secara terbuka juga nggak papa. mau mengkritik demokrasi silahkan saja. asal jangan lupa, bahwa usaha penegakan khilafah juga dilakukan oleh gerakan lain meski dengan cara berbeda.

wassalam,
ahmad rofiqi

hana 
03/11/10

hehehe..bosan ngomongin khilafah, di milis ini sampe panjanggggg yg diskusiin *_^ wong banyak muslim yg nda ngerti apa itu khilafah sicchhhh..???disuruh sebut nama 4 sahabat terdekat Rasul aja banyak yg gak engeh (kata orang betawi)hehehe

kalau menurutku sich..kita dan keluarga kita dulu aja dech yg perbaiki diri, minimal tahu mana yg dilarang agar dijauhi dan yang diperintah agar dikerjakan (wajib2 dulu dech..tapi yg benar wajibnya)

niat diperbaiki supaya akidahnya lurus dulu.
hmm..kalau pemimpin kita belum ketemu yg benar dan akidahnya lurus, jangan salahkan pemimpin itu, soale Allah nda akan kirimkan pemimpin yg benar, sebelum kita yg jadi rakyatnya juga benar.

menurutku..negri khilafah akan terbangun dengan sendirinya tanpa harus demonstrasi, setelah kita umat islam mengamalkan islam dengan benar aja. niatnya dibenarin, supaya akidah lurus. Islam ya islam..gak ada islam embel2 dibelakangnya, sholat ya sholat aja sesuai contoh Rasul, ga usah bakar menyan juga, puasa ya puasa aja, jangan niat puasa untuk diet atau ngegolin bisnis.

hmm..kalau menurutku, kekacauan banyak terjadi disana sini, itu karena masih banyak (rata2) niatnya banyak yg nda benar, akidahnya salah, pemahamannya ngaco, orang liberal sukses dengan misinya, karena banyak orang berganti agama, tanpa beban. ini yg perlu diperbaiki, yaitu niat dan akidah yg benar, insya Allah negeri khilafah akan terbangun dengan sendirinya.
hmm..dulu islam sukses dibawah kepemimpinan Rasul dan sahabat, karena ilmu, amal dan akidah yg benar. yg wajib dikerjakan harus dikerjakan dan konsekuensi bagi yg tidak mengerjakan, yg harus ditinggalkan wajib ditinggalkan dan konsekuensi tindakan bagi yg mengerjakan. tapi saat ini semuanya abu2 yg harus dikerjakan dilanggar habis2an, yg dilarang dikerjakan habis2an. hehehe orang benar jadi aneh dan dikatakan biang masalah, orang salah dielu2kan dan dijadikan rujukan. jadi cape kalau ngomongin khilafah, tanpa ada perbaikan dari lingkungan terkecil dahulu, spt mimpi disiang bolong.#_# cape dechhh..hiks.hiks.hiks

salam
hana

usamah uus 
03/11/10

eh..benarkah berita itu? klo bener kabarin ya....kita berangkat bareng2 ke sana dan berbaiat kepada khalifahnya. Dan kalau benar, HTI udah gak perlu lagi berkampanye ttg mendirikan khilafah...tapi langsung promosi untuk baiat ke khalifah yg udah ada itu ...
Subhanallah, mungkin itu bisa jadi jalan persatuan ummat islam.

nidlol 
03/11/10
Al-Qaidah pernah mendirikan khilafah. Ini dideklarasikan langsung oleh Usamah bin Laden di Afghanistan. Khalifah yang dibaitnya, kalau tidak salah, adalah Mulla Umar.
Tapi kelanjutannya saya kurang tahu.

Adnan Syafii (untuk Hana)
03/11/10

jadi cape kalau ngomongin khilafah, tanpa ada perbaikan dari lingkungan terkecil dahulu, spt mimpi disiang bolong.#_# cape
dechhh..hiks.hiks.hiks

Komentar saya:
Rasulullah saw., tatkala sudah berdakwah habis2an di Mekah, di lingkungan terdekat Rasulullah, tetapi hanya mendapatkan sedikit pengikut, maka beliau berpindah ke daerah2 di sekitar Mekah, hingga akhirnya meraih keberhasilan berdakwah di Madinah dan kemudian mendirikan Khilafah di sana. Ini artinya apa? Untuk mendirikan Khilafah memang harus dimulai dari perbaikan lingkungan terkecil dahulu. Tapi kalau tidak berhasil juga, dalam artinya di lingkungan terkecil tersebut, sedikit yang menerima dakwah dan lebih banyak yang mengingkari dakwah bahkan menjadi penentang dakwah, maka kita beralih ke lingkungan2 lain. Coz, tugas kita hanya menyampaikan dan adapun nerima tidaknya, maka tidak usah diambil pusing. yang harus kita lakukan hanyalah berusaha maksimal mungkin di dalam berdakwah dan meraih2 target.

Seperti itulah dakwah Rasulullah. dan meskipun mayoritas orang di lingkungan beliau (baca: Mekah) tidak menerimanya, tetapi Rasulullah tidak serta merta capek dan berhenti berdakwah lantaran menganggap keberhasilan dakwah bagaikan bermimpi di siang bolong.

So, Kami akan berusaha seperti Rasulullah: mendakwahi orang2 sekeliling kami dan apabila sedikit yang menerima, kami tidak akan berputus asa--sebab kami yakin--bahwa Allah akan menolong orang2 yang menolong agama-Nya.

"Apabila kalian menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kalian" (QS. Muhammad : 7) "dan Allah pasti akan menolongorang-orang yang menolong agama-Nya" (QS. Al-Hajj : 40).

dedy ardiansyah
03/11/10
Monggo kalo komen dg dasar ilmu pake dalil, bantah juga agar tradisi ilmu menjadi tradisi kita
misalnya, kewajiban mendirikan imamah/ khilafah bukan perkara khilafiyah. yang namanya wajib, adalah wajib perlu dalil kalo menjadikan syarat bisa mbaca qur'an dulu, hapal nama sahabat dulu, baru menegakkan khilafah. adakah logika syarat tadi diambil dari dalil?
man qaala fi kitaabilahi bi ra'yihi fa ashooba, faqad akhtho'a...

Adnan Syafii (untuk Satriyo, ed.)
03/11/10

Betul. Memang faktanya Rasulullah tidak langsung mendirikan Khilafah. Makanya, Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani mengatakan bahwa dakwah Rasulullah itu memliki tiga tahapan: marhalah al-tatsqif (pembinaan), marhalah al-tafa'ul ma'a al-ummah (berinteraksi dengan masyarakat), dan marhalah istilam al-hukm (pengambilalihan kekuasaan).

hana 
03/11/10

hehehe..terus bagaimana cara mendirikan khilafah, jika umat gak pernah tahu apa itu khilafah?umat gak tahu cara sholat yg benar?umat gak pernah tahu baca qur'an yg benar? umat gak pernah tahu mana yg harus dikerjakan dan yg harus ditinggalkan? ibarat mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi namanya..jika awalnya umat tidak dibekali dengan ilmu dan ajaran islam yg benar.
salam
hana

Shofhi Amhar (untuk Satriyo, ed.)
03/11/10

insya Allah.

Shofhi Amhar
03/11/10

sekedar tambahan,
di http://images.duniaku847.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SVioIAoKCEUAAD7X4Ss1/Negara%20Islam.pdf?nmid=155780177 hal. 49 (versi online) atau 97 (versi cetak) syaikh taqyuddin menjelaskan tentang pengubahan dengan tanpa medirikan negara islam.

Shofhi Amhar 
03/11/10

ustadz rofiqi, perkenankan saya menanyakan beberapa hal.

Pada 31 Oktober 2010 21.07, ahmad rofiqi  menulis:

saya setuju dengan ust nidlol. khilafah itu institusi, sedangkan  penegakan syariah Islam itu adalah isinya. kita mau pilih institusi atau isi? kalau institusi, maka kita akan temukan dalam sejarah bahkan hingga hari ini, bahwa institusi yang diberi nama Islam (khilafah, daulah, negara, republik, ormas, partai, forum, lembaga, dst) belum tentu mencerminkan isinya yaitu Islam itu sendiri. kalau kita perjuangkan isi, maka tanpa menyebut nama (sehingga tidak terjebak dalam konflik yang tidak penting), perjuangan Islam bisa terus berjalan dengan lebih lancar.

Amhar: bagaimana jika penamaan itu ternyata mempengaruhi paradigma dan berperan memperjelas atau mengaburkan isi konsep, ustadz? apakah masih tetap tidak penting?
tapi saya percaya, kalau hizbut tahrir mendakwahkan khilafah, tentu bukan sebagai institusi semata, tapi juga mencerminkan konsistensi antara nama dan isi. sedangkan PKS, yang saya tahu sejauh ini lebih menekankan isi atau substansi. oleh karena itu, PKS tidak terlalu meneriakkan isu-isu formal seperti syariah Islam, piagam jakarta, khilafah dst.
Amhar: bagaimana umat akan paham jika syariah islam dan khilafah tidak diteriakkan, ustadz?

Shofhi Amhar 
03/11/10

ustadzah hana,

saya setuju bahwa umat harus diberi tahu bahwa khilafah itu wajib, shalat juga. umat harus diberi tahu dua kewajiban ini. adapun membaca quran, hal itu adalh ibadah sunah yang sangat dianjurkan. Alangkah baiknya jika umat diajari dan bisa melakukannya. namun itu bukan syarat sahnya kita menyampaikan kewajiban mendirikan khilafah, shalat, puasa, dll. demikian yang saya pahami.
wallahu a'lam.

Shofhi Amhar
04/11/10

afwan, ralat. maksud saya: negara islam dulu, baru masyarakat islam.

On 11/3/10, Shofhi Amhar shofhi.amhar@gmail.com wrote:

memang demikian, ustadz abir. yang saya persoalkan juga bukan bahwa perbaikan itu harus diemban oleh individu. namun, mengingat fakta (yang kemudian menjadi pengertian) masyarakat adalah kumpulan individu dengan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama, maka masyarakat

yang khas tak akan terbentuk sebelum adanya negara. jadi, negara islam dulu, baru kemudian negara islam. di situlah hubungan uraian ustadz al-qashash mengenai pengertian masyarakat dengan kritik terhadap model alur perubahan sosial yang antara lain ditawarkan ustadz sarwat.
 wallahu a'lam.

nashrudinism
04/11/10

Wow... Banyak sekali reply an ust Shofhi ini, dan sangat persistant sekali... saran ustadz, biar lebih mantab, ditulis dalam bentuk novel aja biar banyak yang lebih memahami pemahaman ustadz...

Wass

Muhammad Arafah
04/11/10 

Bismillah...

Ustad Shofi Amhar, Moga Allah SWT merahmati antum ustad..Amin

Ustad, ana kurang paham dengan maksud antum "Negara ISLAM dulu baru masyarakat  ISLAM". Padahal masyarakat ISLAM adalah parameter terbentuknya negara ISLAM. Sulit bagi ana untuk bisa mengimpikan negara ISLAM dengan kualitas masyarakat yang masih jauh dengan nilai-nilai ISLAM, memang maksud ana bukan semua masyarakat ISLAM paham dengan ISLAM, namun setidaknya punya standar masyarakat seperti apa yang akan menggusung nilai-nilai ISLAM.
Muhammad Arafah

hana 
04/11/10

hehehehe..terus..terangkan padaku dong..syarat syahnya mendirikan khilafah menurut antum? ^_^
salam
hana

adian husaini
04/11/10

apa Rasulullah saw dulu berkampanye untuk mendirikan negara Madinah?

nashrudinism
04/11/10

Wes ust adian, sing waras ngalah hehehehee

adian husaini
04/11/10

Lho, pertanyaan saya sangat ilmiah... panjang sekali kalau diuraikan.... ini menyangkut hakaket dan strategi menegakkan khilafah... di lapangan, saya melihat banyak yang merasa telah gugur dosanya dari kewajiban utama menegakkan khilafah, sebab merasa telah bergabung dengan satu organisasi yang sering berkampanye tentang khilafah, sambil ikut ngaji tentang khilafah dan sesekali turun jalan meneriakkan pentingnya khilafah. Di bagian daerah lain, saya melihat banyak dai-dai dan guru ngaji yang gigih membela Islam, tanpa pernah bicara khilafah. Saya pernah mengisi kajian tentang Kristenisasi, setelah itu di sms oleh satu peserta, mengapa saya tidak menyebut khilafah sebagai solusi masalah umat... memang ruang milis ini terlalu singkat untuk diskusi. kapan-kapan baiknya silaturrahim ide perlu kita teruskan, agar kita tidak terlalu apriori dengan khilafah dan tidak juga berlebihan dalam menempatkan khilafah.... sehingga jangan ada yang merasa seoalh-olah tidak bisa menjadi orang yang bertaqwa tanpa hidup di bawah khilafah. Saya yakin, banyak ulama-ulama kita yang shalih dan taqwa, meskipun mereka hidup di bawah pemeritahan penjajah Belanda selama ratusan tahun.
Maaf,  ikut ganggu dikit-dikit untuk sekedar meramaikan.... Jadi, kita diskusi yang lain saja....?

nashrudinism
04/11/10
Mantab penjelasannya...
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Shofhi Amhar (untuk Nashrudinism)
05/11/10

afwan, persistant itu apa? dan mengapa perlu dibuat dalam bentuk novel?

Shofhi Amhar 
05/11/10

syukron, ustadz. aamiin. semoga untuk antum juga.

mari kita sepakati dulu yang dimaksud masyarakat dan masyarakat islam itu apa, ustadz. elemen masyarakat tidak hanya sekumpulan individu, melainkan juga pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan sistem. apabila salahsatu dari empat elemen itu tidak ada, maka tiga elemen yang ada tidak dapat membentuk masyarakat. (muhammad husain abdullah, mafâhîm islâmiyah [terjemahan] hal. 106). maka, kita tidak dapat membayangkan terbentuknya masyarakat islam tanpa negara islam. Ini dari segi fakta terbentuknya masyarakat. sedangkan dari sisi syar'i, teladan nabi menunjukkan hal yang sama. masyarakat islam belumlah terbentuk sebelum nabi berhijrah ke yatsrib dan menjadi kepala negara di sana. kesimpulan bahwa negara islam lebih dulu sebelum masyarakat islam juga secara jelas dikemukakan buya hamka di dalam tafsir al-azhar.

Shofhi Amhar (untuk Hana)
05/11/10

ditinjau dari individu yang diangkat menjadi khalifah, syaratnya ada tujuh: islam, baligh, berakal, lakilaki, adil, mampu, merdeka.
ditinjau dari pengertian darul islam, syaratnya ada dua: penerapan syariat islam secara total dan keamanan berada di tangan kaum muslimin.

Shofhi Amhar (untuk Adian Husaini)
05/11/10

saya belum tahu. yang pasti nabi menyampaikan kewajiban mengangkat seorang khalifah. apakah menyampaikan kewajiban mendirikan khilafah identik dan harus melalui kampanye?
semoga Allah senantiasa memelihara ustadz dan keluarga, demikian pula saya. kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang membisikkan kedengkian ke dalam hati manusia.

Shofhi Amhar (untuk Nashrudinism)
05/11/10

?
On 11/4/10, nashrudinism@gmail.com nashrudinism@gmail.com wrote:
Wes ust adian, sing waras ngalah hehehehee

Shofhi Amhar (untuk Adian Husaini)
05/11/10

ustadz, pertanyaan antum itu ilmiah, meski sederhana. entah mengapa ada yang menganggap pertanyaan itu mainmain. saya pribadi, juga temanteman yang lain tidak menganggap mustahil menjadi orang yang bertakwa pada zaman ini. orang yang menganggap tidak bisa mencapai takwa di ini saat, demikian juga yang meremehkan wajibnya mengangkat khalifah menurut syariat, kita doakan segera bertobat.;-)

Shofhi Amhar
05/11/10

nambah dikit ah..
btw, pertanyaan ke ustadz lewat sms itu, seperti pertanyaan sederhana ustadz adian, juga ilmiah. jangan kemudian ditakwil sedemikian rupa sehingga kesimpulannya menjadi: menganggap tidak bisa bertakwa tanpa khilafah.:)

ahmad rofiqi (untuk Shofhi Amhar)
05/11/10

yg perlu ditekankan, bahwa perjuangan penegakan khilafah itu tidak berarti harus verbal. hti lebih menekankan verbal, tapi secara aktual, perjuangan khilafah dilakukan juga oleh lebih banyak orang diluar hti. inilah yang aneh, jika ada kader hti yang "menegur" dr adian untuk memverbalkan khilafah. secara aktual, perjuangan dr adian (juga elemen gerakan Islam lainnya) adalah menuju khilafah. aneh, seolah dr adian itu tidak mengerti khilafah dan terus disangka tidak memperjuangkan khilafah "hanya" karena tidak memverbalkannya.

karena verbalitas khilafah ala hti inilah, tidak salah juga kalau dr adian mengatakan yang dilakukan oleh hti masih sebatas kampanye. jika hti kampanye, orang lain sudah action. biar aja dua-duanya jalan. seluruh upaya perbaikan kehidupan umat Islam dalam dakwah ini, pasti menjadi alat yang akan membuat umat Islam siap mendirikan khilafah. baik itu bidang politik praktis, pendidikan, pemikiran, ekonomi, seni-sastra dan lain-lain. problemnya, hti tidak percaya bahwa bidang2 tersebut juga mengandung perjuangan khilafah. hti hanya percaya dengan perjuangan sendiri sambil terus mengkritik yang lainnya, termasuk sekaliber dr adian, guru pemikiran Islam Indonesia, bahkan sampai FUI-pun dia tinggalkan.

saya percaya. jika sekalipun ada orang yang secara verbal menolak khilafah tapi tindakannya nyata merupakan perbaikan kehidupan umat Islam, tetap saja apa yang dia lakukan itu bermanfaat untuk penegakan khilafah itu sendiri. karena toh, khilafah mustahil berdiri jika umat Islam mutunya masih seperti sekarang. sehingga, seluruh upaya perbaikan kehidupan umat Islam, pada hakekatnya akan bermanfaat pada kesiapan mereka untuk tegaknya khilafah. inilah cara berfikir yang sangat sinergis untuk seluruh kalangan Islam. fokus pada bidang masing2, tanpa harus sibuk mengurusi yang dilakukan gerakan Islam lainnya.
wassalam,
ahmad rofiqi

hana  (untuk Shofhi Amhar)
05/11/10

hehehehe...yg penting muslim merdeka walau tanpa ilmu yg penting 'mampu' bisa jadi pemimpin gitchuuuuu?????? (alias orang bego juga boleh gitchuuu) and..meskipun rakyatnya atheis pendirian khilafah juga bisa gitchuuuu??? hmm..negara khilafah mau dibangun didalam negara yg sdh ada gitchuuu?? or negara yg ada harus di kudeta gitchuuu??? kalau mau bangun yg baru lokasinya enakan dimana yaaaaa??hehehehe dah ahhh..mending dana kampanye disumbangin di merapi, mentawai atau wasior aja, ketimbang umat daerah bencana akidahnya melorot, karena ada yg lebih perduli pada mereka ketimbang kita. stop!!!! bicarain ini mulu. capeeeeeeee

salam
hana

Asep Bagja Nugraha
05/11/10

Silaturrahim ide seperti yang disampaikan Ustd. Adian bisa menjadi salah satu jembatan antar berbagai gerakan dan kelompok yang ada. Bukan hanya di tingkat elit tetapi juga di  kalangan akar rumput seperti saya.

Kritik menurut saya harus tetap ada sebagai bahan koreksi dan evaluasi, tentu dengan argumentasi yang islami dan bisa dipertanggungjawabkan. Pihak yang dikritik pun harus memiliki kesiapan untuk menjelaskan landasan pendapatnya atau bahkan beralih kepada pendapat yang lain jika dinilai lebih kokoh. Dengan demikian, tidak akan muncul ungkapan "Saya kepada tokoh/kelompok itu seperti Abu Bakar kepada Rasulullah, selalu mempercayai dan membenarkan".

Kalo sudah seperti ini kan repot ....

usamah uus 
05/11/10

SETUJU 1000 % sama pemaparan di Ust. Ahmad Rofiqi.

dedy ardiansyah
05/11/10

kalo pake logika verbal tidak verbal, bgm anda memahami dalil, bhw Rasul dakwah secara terang2 an setelah turun ayat fasdaq bima tu'mar wa a'ridl anil musyrikin....?
atau anda memahami hadits ini bgm, qulil haqqa walau kaana murran ?
atau hadits, Sayyidus syuhada hamzah bin abdul muthallib, wa rajulun qaama inda imaamun ja irin fa amarahu wa nahahu fa qatalahu" ?
logika pake dalil kang..

jangan hanya banyak gitchu...nya...nggak baik

ingat kan ucapan imam Al Ghazali bhw meraih dunia dg ilmu, meraih akherat dg ilmu.
 dan anda paham hadits, idzaa dhuyyiatul amanah fantadhiris sa'ah,kemudian para sahabat bertanya, kaifa idhooatuha ya Rasululallah? jawab  Beliau SAW adalah idzaa usnidal 'amru ila ghairi ahlihi...paham kan? ( bisa dbaca jg tulisan ust ihsan Tanjung )
kalo pake ilmu pokok e...kita nyerah deh...

Akmal Sjafril
05/11/10

Masalahnya bukan verbal atau tidak verbal, tapi HANYA verbal atau verbal dan non-verbal sekaligus.  Jadi satu pihak hanya memverbalkan konsep khilafah, sedangkan yg lain selain memverbalkan juga sudah sampai pada tahap aksi.

Sejauh ini, Hizbut Tahriir hanya verbal.  Saya nggak tega bicara begini, tapi sebenarnya sebelumnya sudah ada yg mengatakan demikian.  Hanya saja antum nampaknya kurang ngeh dengan masalah ini, jadi saya perjelas lagi.

dedy ardiansyah
05/11/10

bagaimana dengan kisah keluarga yasir? kenapa Rasul tdk melakukan tindakan langsung?

bagaimana dengan bilal yg disiksa umayyah ttp Rasul tidak melakukan tindakan langsung? dan masih banyak sahabat lain yg spt itu, tp Rasul tdk melakukan tindakan langsung.

Tapi ketika Abu Bakar membebaskan Bilal, ketika Saad bin Abi Waqqash memukul dg tulang onta, ketika ada yg mengganggu thawaf hal ini dibiarkan Rasul?

bisakah ditarik istinbath utk hal tsb?

1 komentar: