Sabtu, Mei 19, 2012

Membincang Validitas Teori Perubahan Sosial (2)


Diskusi di bawah ini adalah lanjutan dari perbincangan mengenai tulisan ustadz Sarwat yang berjudul Mau Mendirikan Khilafah? Mulailah dari Sekarang. Di milis, diskusi ini berada di bawah judul: Jamaah Tanpa Imam. Semoga bermanfaat.

Abir Sabil
1 November 2010 21.18

Koreksi kemarin ini memang untuk saya sendiri Mas Shofhi.

Saya sudah membuka-buka beberapa halaman buku Ususun Nahdhoh. Dari situ saya agak lebih memahami poin yang antum maksud dengan melemahkan model perbaikan sosial dengan jalur: pribadi-keluarga-masyarakat-negara. Saya perlu tahu, apakah antum sepakat bahwa untuk memperbaiki sesuatu kita perlu memulai dari bagian-bagiannya? Kalau ya, berarti tidak ada yang perlu dilemahkan dalam model tersebut. Ahmad Al-Qoshosh tidak menyetujui ungkapan: ashlihil farad yashluhil mujtama' (perbaikilah individunya, maka masyarakat ini pun akan menjadi baik). Tapi sayang, saya belum menemukan sesuatu yang betul-betul bisa menjadi alasan dari ketidaksetujuan tersebut. Yang saya dapatkan hanyalah koreksi beliau terhadap pengertian orang kebanyakan bahwa masyarakat itu adalah "sekumpulan individu". Menurut beliau, pengertian ini sekalipun bersifat "jami'", tapi ia tidak "mani'". Memang masyarakat itu kumpulan manusia, tapi tidak semua kumpulan manusia dapat disebut masyarakat. Kumpulan manusia di dalam sebuah bus, misalnya, jelas tidak dapat disebut masyarakat. Kemudian beliau menjelaskan apa sebenarnya masyarakat itu. Namun sekali lagi, penjelasan ini tidak berhubungan dengan ketidaksetujuan beliau terhadap pandangan yang mendasari perkataan "ashlihil farda yashluhil mujtama'" itu.
  
Saya lihat, masalahnya bukan pada apakah kita perlu memulai usaha perbaikan dari bagian-bagian umat ini atau tidak. Yang mengingkari kemestian memperbaiki bagian-bagian dari sebuah keseluruhan agar keseluruhan itu menjadi baik sepertinya adalah orang yang sedang mengigau tentang perbaikan sosial. Untuk memperbaiki sebuah mesin saja, seseorang perlu mengetahui bagian onderdil mesin mana yang rusak. Jelas, onderdil mesin itu merupakan bagian dari keseluruhan mesin. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah pengertian kita tentang sifat "baik" itu sendiri. Sifat "saleh" itu sendiri. Yang saya pahami, saleh adalah melakukan apa yang sesuai dengan tujuan keberadaan sesuatu. Dengan demikian, tidak ada pembedaan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Sebuah onderdil mesin dikatakan baik kalau ia bekerja sesuai dengan tujuan yang dikehendaki darinya. Begitu juga individu, keluarga, masyarakat atau negara yang baik atau saleh. Dan tujuan keberadaan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Kalau masing-masing individu benar-benar sudah saleh, maka sudah pasti suatu keluarga yang dibentuknya juga saleh. Demikian seterusnya sampai ke bagian yang paling besar. Kalau diandaikan bahwa sebuah massa yang saleh tidak cukup untuk membentuk sebuah khilafah, maka problemnya terletak pada pengertian tentang sifat saleh yang disematkan kepada massa tersebut. Bukan pada kemestian memperbaiki bagian-bagian dari sebuah keseluruhan.

Wallahu a'lam.

Shofhi Amhar
11/3/10

memang demikian, ustadz abir. yang saya persoalkan juga bukan bahwa perbaikan itu harus diemban oleh individu. namun, mengingat fakta  (yang kemudian menjadi pengertian) masyarakat adalah kumpulan individu  dengan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama, maka masyarakat yang khas tak akan terbentuk sebelum adanya negara. jadi, negara islam  dulu, baru kemudian negara islam. di situlah hubungan uraian ustadz  al-qashash mengenai pengertian masyarakat dengan kritik terhadap model  alur perubahan sosial yang antara lain ditawarkan ustadz sarwat.
wallahu a'lam.

Abir Sabil
07/11/10

Mas Shofhi,

Pertanyaan saya kemarin, apakah antum sepakat bahwa untuk memperbaiki keseluruhan itu kita perlu memperbaiki bagian-bagiannya? Di sini antum menjelaskan bahwa persoalannya bukan bahwa perbaikan itu harus diemban oleh individu. Saya lihat, penjelasan ini tidak ada hubungannya dengan pertanyaan saya. Mungkin saya yang memang tidak melihat hubungannya.

Silahkan antum perjelas.

Kemudian sudah saya kemukakan kemarin ini bahwa ketika suatu kelompok menjadi sebuah negara, maka sudah pasti di dalam negara tersebut terdapat himpunan masyarakat. Ketika Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam membentuk Negara di Madinah, di dalamnya ada himpunan beberapa masyarakat. Ada masyarakat Muhajirin. Ada masyarakat Anshar. Yang Anshar sendiri terdiri dari beberapa kabilah.

Dengan begitu, tidak ada kemungkinan lain, negara yang dimaksud di sini adalah bagian yang lebih besar dari masyarakat.

Kalau kemudian antum mengatakan "negara islam dulu baru ada masyarakat islam", apakah perkataan ini tidak semakna dengan perkataan "mobilnya dulu dibuat, baru nanti ada rodanya atau mesinnya atau bagian-bagian mobil lainnya"? Kalau menurut saya, perkataan antum itu berimplikasi bahwa keseluruhan lebih dulu dari bagian-bagiannya. Padahal, sebaliknya itulah yang benar.

Hendaknya kita tidak terkecoh antara sebutan "masyarakat" yang diteliti oleh Ahmad Al-Qoshosh dan sebutan "masyarakat" yang disinggung dalam thread ini. Masyarakat yang disorot oleh Ahmad Al-Qoshosh adalah himpunan individu yang terikat oleh sekumpulan pemahaman, perasaan dan sistem. Ini tentunya bisa menunjuk kepada "masyarakat" atau "negara" dalam diskusi kita. Sedangkan masyarakat yang disebut oleh Ust. Sarwat adalah bagian yang lebih besar dari keluarga, dan lebih kecil dari negara.

Bukti yang mendukung hal di atas adalah, ketika Ahmad Al-Qoshosh menyatakan ketidaksetujuannya terhadap perkataan "perbaiki individunya, maka masyarakatnya akan menjadi baik". Di sini, dia tidak menyinggung tentang alur individu-keluarga-masyarakat-negara seperti yang disebut Ust. Sarwat. Mungkin saya memang belum baca, tapi bisa antum kutipkan perkataan Ahmad Al-Qoshosh bahwa harus ada negara islam dulu, baru ada masyarakat islam?

Ketidaksetujuan Ahmad Al-Qoshosh itu dapat dibenarkan kalau urusan memperbaiki individu itu sama dengan memperbaiki roda mobil yang bocor, misalnya. Roda itu diperbaiki saja, tapi tidak *dipasang* di tempat yang semestinya. Roda yang baik, jelas tidak akan membentuk sebuah mobil yang baik, kalau dia tidak diikat dan dipasang dengan bagian-bagian mobil yang lain sehingga menjadi sebuah keseluruhan.

Sebagai benda mati, roda tidak memiliki kesadaran tentang keseluruhan. Sedangkan individu manusia, ketika dibimbing untuk menjadi baik dan salih, ia sudah sekaligus diarahkan untuk memiliki keinsafan tentang keberadaan dirinya yang menjadi bagian dari umat Islam. Itu kalau manhaj perbaikan individu yang digunakan adalah benar. Di dalam Al-Quran, kita dapat menemukan sekian banyak ayat di mana Allah berbicara kepada kaum mukminin secara kolektif. Hal ini tentunya mendukung sifat kebermasyarakatan yang secara fitri ada dalam diri setiap manusia.
Wallahu a'lam.

Abir Sabil
 07/11/10

Oya, masih ada yang kurang.

Judul yang saya tulis di atas itu ada kaitannya dengan pernyataan antum "negara islam dulu, baru ada masyarakat islam."

Mungkin antum bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada jama'ah islami sebelum adanya imam atau penguasa yang menerapkan syariat Islam. Sebab sebuah jama'ah yang islami tidak akan terbentuk sebelum individu-individunya terikat dengan mafahim, masya'ir dan anzhimah yang islami. Jama'ah yang dimaksud di sini pun adalah jama'ah siyasiyyah yang dipimpin oleh seorang penguasa negara. Adapun jama'ah yang lebih kecil dari negara (masyarakat, misalnya), tidak dapat disebut sebagai jama'ah yang islami, karena mafahim dan masya'ir serta anzhimah yang islami belum mengikat individu-individu di dalamnya.
Kalau maksud antum seperti itu, maka ia dapat dibenarkan kalau mafahim, masya'ir dan anzhimah (terutama anzhimah ini) hanya ada dalam cakupan sebuah negara. Dengan kata lain, tiga elemen tersebut tidak ada dalam himpunan-himpunan individu yang lebih kecil dari negara.

Padahal kenyataannya, tiga ikatan tersebut dapat ditemukan baik di dalam masyarakat, keluarga atau bagian yang paling elementer sekalipun: individu.

Anzhimah dalam tataran individu ini tidak lain adalah kepribadian. Akhlak. Kebiasaan. Perbuatan yang tidak hanya sekali atau dua kali saja dikerjakan, tapi berulangkali dan menjadi "diin" individu tersebut. Ayat "wa innaka la'alaa khuluqin 'azhiim" ditafsirkan dengan "diinin 'azhiim". Khuluq = diin. Dari sini kemudian kita bisa memahami mengapa seorang individu dapat disebut sebagai jama'ah. Atau misalnya, mengapa pribadi Nabi Ibrahim disebut sebagai umat. Hal itu menunjukkan bahwa mafahim, masya'ir dan anzhimah itu tidak hanya ada pada besaran negara.

Tambahan sedikit, tiga ikatan yang disebutkan oleh Ahmad Al-Qashash itu sebenarnya dapat dikembalikan pada dua ikatan saja: ikatan ilmiah dan ikatan amaliah. Hal ini sangat terkait erat dengan dua potensi dasar yang dimiliki oleh setiap individu manusia: potensi ilmiah dan potensi amaliah. Sebuah jama'ah, oleh karena itu, memiliki dua arah pengertian: pengertian ilmiah dan pengertian amaliah. Yang jelas, masing-masing dari jama'ah ini pasti memiliki imam dan pemimpin. Harus ada yang menjadi atasan. Dan harus ada yang menjadi bawahan. Ini prinsip ketidaksetaraan.
Wallahu a'lam.

saifuddin amin
09/11/10

salam wrb.
tentu kita tidak ingin menghalangi pendirian khilafah islamiyah.
soal ini (teori siyasah islamiyah) sudah banyak teori ditulis dan diulas oleh para ulama shalihin kita.

soal ekonomi islam, kendati belum sempurna, sudah banyak dipraktekkan umat islam.
justru yang menjadi masalah adalah soal sistem sosial dan pendidikan kita. 

beberapa hari yang lalu saya ketemu dg mantan menkes anfasa moelok. dia setuju aja sistem politik islam. dia bertanya, apa itu cukup? menurutnya, sistem sosial islam itu mestinya yang diulas dan ditampilkan dalam konteks kenegaraan dan bermasyarakat.

apakah dengan khilafah berdiri, maka semua umat islam dan bangsa ini- termasuk yang kafir- serta merta kesehatan dan pendidikannya terjamin?

sudah adakah ada nizham yang islami tentang sistem gaji/honor bagi pegawai, pejabat, buruh, dan sebagainya?
syukran.

adian husaini
10/11/10   

Saat khilafah runtuh, 1924, banyak komponen Islam berusaha mengembalikan. Di Indpnesia sempat dibentuk komite khilafat. Banyak tulisan dan gerakan muncul. IKhwanul Muslimin berdiri tahun 1928? HTI berdiri tahun 1954, dan sebagainya. semua berjuang ingin membentuk masyarakat Islam. Muhammadiyah dengan tegas AD/ART-nya juga menyatakan, Membentuk Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Lihat juga tujuan Masyumi. Jadi, yang ingin menegakkan Islam (baik dengan nama khilafah atau yang lain) banyak sekali. Bukan hanya satu golongan. Dan ternyata,Allah belum memberikan kemenangan. Jadi, hikmahnya, kita masih diberi kesempatan diskusi ttg khilafah. Mungkin masih 50 tahun, mungkin 100 tahun lagi.... sabaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr Khilafah tidak akan lari.........

ahmad rofiqi
11/11/10

sebenarnya, tidak ada masalah dengan perjuangan penegakan khilafah selama ini. yang jadi masalah adalah karena hizbut tahrir hanya mengakui perjuangan khilafah dilakukan oleh dirinya sendiri dan dia meyakini bahwa jalan menegakkan khilafah hanya melalui metode yang dia buat.

hizbuttahrir tidak bisa mengakui bahwa yang dilakukan oleh orang lain sebenarnya adalah bagian dari penegakan khilafah juga. dan ini kekeliruannya. metode verbal dan formal hizbuttahrir dalam menegakkan khilafah tidak salah. yang salah cuma satu: dia tidak mengakui metode selain itu dan berusaha mengoreksi kalangan Islam lain diluar kelompoknya. persis yang dilakukan di milis ini. jangankan orang seperti saya, ust abir dan ust nidhol. kader dakwah dan perjuangan Islam senior seperi dr. adian pun dikoreksi juga.

bagi hizbuttahrir, membuat sekolahan Islam dan pesantren, dakwah dengan tema akhlak, membuat bank Islam, membuat workshop pemikiran seperti yang dilakukan Insist, membuat regulasi Islam di tingkat pemerintahan pusat atau daerah, membangun masjid, menulis buku sastra, membuat film Islami, menciptakan kesenian nasyid alternatif yang membendung lagu2 amoral, membentuk kelompok tani binaan Islami, bahkan dakwah fardiyah mengajak orang beramal shalih dalam arti umum, itu semua tidak boleh diakui (bahkan mungkin tidak dibenarkan) selama tidak menyebut kata sakti ini: khilafah.
j
adi, sehebat dan sebesar apapun yang dilakukan oleh orang Islam, jika tidak tegas menyebutkan kata "khilafah", maka dia bukan perjuangan penegakan khilafah. tidak cukup disitu, hizbuttahrir justru akan mengkritik dan berusaha mengkoreksi langkah tersebut, biasanya dengan mengatakan: itu semua akan beres dengan khilafah, khilafah adalah solusinya, mengapa Ustadz tidak menyebutkan khilafah sebagai solusi...? dst....

bagaimana akh sofhi? kesimpulan saya terhadap metode hizbuttahrir ini benar? tolong dikoreksi ya. karena ini kenyataan yang palign jelas di mata saya tentang hizbuttahrir.
wassalam,
ahmad rofiqi

Akmal Sjafril 
 11/11/10

Diskusi ini sudah sangat berlarut2, sejak pekan yg lalu kritik2 terhadap HT saya rasa tidak jauh beda, hanya disampaikan dari sisi yg berbeda2 dan kedalaman bahasa yg berbeda2.
Tapi saya bersyukur juga, karena sekarang saya bisa mengkompilasi kritik2 tsb. J

nashrudinism
11/11/10
4 jempol

ahmad dimyati
11/11/10

Salam...
PKS vs HTI
HTI vs PKS
SALAFI vs PKS
PKS vs SALAFI
SALAFI vs HTI
HTI vs PKS

dan apalagi, masih banyak, mungkin NU, Muhammadiyah, dll.

sepanjang saya melihat diskusi di milis ini, pergulatan seputar itu sangat runcing dan dominan.

Saya berharap diskusinya tidak melulu itu, dan kalau perlu disudahi dulu 'nafsu' politiknya (baik melalui parlemen atau khilafah). sebab itulah kenyataan pluralitas umat Islam yang perlu disadari bersama. tapi kalau tidak hati-hati kadang melemahkan internalnya.

Discuss saling menyerang dan kadang black campaign di antara pergerakan memang hangat dan milis menjadi hidup, tapi ingat sebagian besar kalangan belum tentu itu menyenangkan mereka. Semoga bisa disudahi.
wassalam...

AL shahida
11/11/10

Ikutan juga akhirnya..

Ini salah satu penyakit yang  di-idap oleh Muslimin (ngaku saja deh) yang tidak disukai bahkan dibenci Rasulullah saw,  yakni 'Assobiyah' fanatik nama. Tidak saja organisasi/kelompok bahkan 'kosa katapun' atau term dijadikan sebuah kefanatikan/keharusan.
Salut dan saya kasih 2 acungan jempol deh untuk mas Rofiqi...tapi kapan berakhirrya diskusi ini?

Di Mentawai perlu tim untuk mengIslamkan, perlu pesantren dan guru2 agama.  Silahkan mau di HT-kan, di Salafi-in, di Jama'aa Tabligh-in, di PKS-in atau mau di Haiyatullah-in, NU-in, Muhammadiyah-in, yang penting jbersyahadat dan jangan tetap animis atau jadi palangist.
Salam

Teh Nizma

 “Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah,
tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…… (Qs. Al-Hajj: 37).

zaenalirfan123
11/11/10
Astaghfirullahaladzim...

hana
11/11/10

hmm..aku jadi teringat guruku, kata belio "mending kamu nda tahu apa2, jadi enggak pingin apa2, karena kalau tahu apa2, pasti melakukan apa2" hehehe bingung2 dech..
jadi dilema sebenarnya masalah akidah yg gampang goyah hanya karena yg seiman tidak terlalu perduli dengan saudaranya yg kesusahan, dan yg tidak seiman terlalu perduli dengan kesusahan mereka.

hmm..konotasi mengislamkan mereka cenderung lebih kearah negatif (spt orang nasrani yg selalu mengkristenkan orang islam)dan kesannya membantu dengan pamrih (gak ikhlas banget)

akidah mereka gampang goyah, karena musibah begitu berat mereka rasakan, namun kita sebagai saudara seiman tidak terlalu perduli dengan kesusahan mereka , mereka sakit, lelah, lapar, anak mereka menangis, harta mereka habis, masa depan mereka tidak jelas, kita saudaranya yg diharapkan dapat membantu ternyata tidak kunjung datang ( soale sibuk ngebahas khilafah hehehe), tapi orang2 kafir, datang membasuh luka mereka, menghapus keringat mereka, memberi mereka makan, memberi anaknya mainan, dan menjanjikan masa depan untuk mereka, hal apa lagi yg dapat mereka lakukan kecuali menerima uluran tangan dan memberikan balasan setimpal yg mereka inginkan, walaupun akidah yg begitu penting untuk masa depan mereka di akhirat sebagai penentu kembalinya mereka ke tempat yg aman namun dari kecil mereka tidak pernah diajarkan untuk menggenggamnya walau spt bara api dalam genggaman dan tidak boleh dilepaskan.

mereka hanya tahu bahwa mereka beragama, mreka punya tuhan, karena bagi mereka tuhan itu sama..tuhannya islam, kristen, hindu, budha, dan nama2 agama lain yg pasti ada tuhannya. mereka mau islam, kristen, hindu, budha atau apalah namanya itu sama aja bagi mereka, beragama dan bertuhan. jadi apalah arti sebuah nama tuhan bagi mereka?? toh mereka juga nda ke masjid, nda ke gereja, nda ke pura dan nda ke vihara..:)

hmm..kadang aku jengkel juga, kenapa sich kita sibuk dengan akidah mereka yg gampang goyah dan murahan??yg dosa mereka sendiri ini?! kalau sandang, pangan, papan bisa tarik ulur mereka, mau sampai kapan kita sediakan dana untuk memenuhi semua keperluan mereka? tetap aja pemberian kecil kita akan terlupakan begitu saja saat datang pemberian yg besar. Belum lagi kelakuan mereka yg saat menjadi muslim (korban muslimisasi)sudah bersyahadat, namun bakar menyan untuk panggil roh dan minta selamat, mengaku muslim lempar kepala kerbau biar roro kidul nda ngamuk, mengaku muslim injak2 Al-Qur'an, mengaku muslim sholat dengan anjinghuakbar, mengaku muslim mengina Nabi dan Rasul akhir zaman, mengaku muslim menghina para ulama yg sholeh. bukankah hal spt ini malah mengundah kemurkaan Allah?

hmm..biarlah mereka jelas kafir dan tidak beragama sekalian, ketimbang mengaku muslim tapi tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kemuslimannya, bahkan cenderung merusak islam yg tidak di Ridhoi Allah, karena otomatis yg punya nama agama yaitu islam pasti marah.
hmm..akhirnya kulunakkan hati..mereka mahluk Allah juga tidak perduli yg kita tolong itu siapa?yg jelas mereka saat ini butuh bantuan kita untuk meringankan penderitaannya. bukan mahluk yg kita pandang agar dia mengikuti keimanan kita, tapi Allah yg memerintahkan kita untuk membantu mahluknya yg lain. barang siapa yg mau menolong saudaranya, maka Allah akan menolong dirinya. barang siapa yg menyayangi saudaranya, maka Allah akan menyayangi dirinya.

menurut informasi dari beberapa sohibku disana, kristenisasi bergerak membantu saat relawan muslim sudah lelah begerak untuk menolong. Berat sekali rasanya menolong dengan kenyataan spt itu, jika bukan karena Allah lah menjadi niat awalnya kita bergerak.
sekedar curhat

salam
hana

Shofhi Amhar (untuk Ahmad Rofiqi)
15/11/10

terimakasih atas masukannya. sementara ini saya tidak menjawab pertanyaan antum dulu ya...biar Allah yang akan menilai.:)

Shofhi Amhar
15/11/10

untuk ustadz abir, afwan artikel antum baru cukup serius saya baca barusan. sepekanan lebih ini saya cukup kesulitan mengakses milis. lebih mudah membuka fesbuk.:D
insya Allah saya usahakan meluangkan waktu untuk membuat tanggapan kalau sudah di jogja lagi.

ahmad rofiqi
16/11/10

akhi shofhi, ini tidak ada kaitannya dengan status salah atau benarnya hizbuttahrir sehingga menunggu Allah yang akan menjawabnya. ini hanya murni masalah keilmuan yaitu pertanyaan benarkah yang saya katakan tentang HTI tersebut? mohon diluruskan kalau salah. masalahnya, kita kan sering diskusi, cuma poin penting ini tidak pernah dilihat. padahal ini paling penting. bagi saya, hizbuttahrir adalah sebuah gerakan yang penuh berkah dan harus terus berjuang dengan konsisten. hanya, secara strategis kita perlu tau, bahwa fakta2 seperti yang saya katakan itu benar atau tidak?

wassalam,
ahmad rofiqi

Shofhi Amhar
16/11/10

sekali lagi mohon maaf yang sebesarbesarnya, ustadz ahmad, sementara saya belum mau menjawab. kapan akan saya jawab, saya juga belum tahu. kalau saya atau yang lain belum ada menjawab, di situlah barangkali kita serahkan saja urusannya pada Allah. saya takut terjangkiti 'ashabiyah, yang bisa saja menghinggapi hati saya yang memang lemah.

saya ingin mencukupkan diri dulu mendiskusikan ide dengan menghindari dulu mendiskusikan suatu kelompok secara spesifik, apalagi di topic yang menurut saya kurang tepat. sekali lagi 'afwan, ustadz, kalau kurang berkenan.

selamat hari raya idul adhha. mohon maaf lahir dan batin.:)
astaghfirullaah wa atuubu ilaih.

Shofhi Amhar
15/12/10

assalamu 'alaikum...
maaf, baru bisa gabung lagi.
saya tanggapi per bagian di bawah tulisan antum saja ya, ustadz.

Pada tanggal 06/11/10, Abir Sabil menulis:

Mas Shofhi,

Pertanyaan saya kemarin, apakah antum sepakat bahwa untuk memperbaiki keseluruhan itu kita perlu memperbaiki bagian-bagiannya? Di sini antum menjelaskan bahwa persoalannya bukan bahwa perbaikan itu harus diemban oleh individu. Saya lihat, penjelasan ini tidak ada hubungannya dengan pertanyaan saya. Mungkin saya yang memang tidak melihat hubungannya.

Silahkan antum perjelas.

Kemudian sudah saya kemukakan kemarin ini bahwa ketika suatu kelompok menjadi sebuah negara, maka sudah pasti di dalam negara tersebut terdapat himpunan masyarakat. Ketika Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam membentuk Negara di Madinah, di dalamnya ada himpunan beberapa masyarakat. Ada masyarakat Muhajirin. Ada masyarakat Anshar. Yang Anshar sendiri terdiri dari beberapa kabilah.

Dengan begitu, tidak ada kemungkinan lain, negara yang dimaksud di sini adalah bagian yang lebih besar dari masyarakat.

Amhar: Dari ini tampaknya kita berbeda mendefinisikan apa itu masyarakat. bagi saya, Muhajirin maupun Anshar tidak disebut sebagai masyarakat Muhajirin dan masyarakat Anshar, sebagaimana Muhammadiyah, NU, DDII, JT, dll tidak bisa kita sebut sebagai masyarakat Muhammadiyah, masyarakat NU, dst. sebab, interaksi di antara mereka tidak langgeng. sementara untuk disebut sebagai sebuah masyarakat, suatu jamaah harus memiliki interaksi yang terus-menerus. jadi, jamaah tidak dapat serta-merta disebut masyarakat. hal ini ditegaskan oleh syaikh Taqyuddin an-Nabhani di dalam kitab Mitsaqul Ummah.

Kalau kemudian antum mengatakan "negara islam dulu baru ada masyarakat  islam", apakah perkataan ini tidak semakna dengan perkataan "mobilnya  dulu dibuat, baru nanti ada rodanya atau mesinnya atau bagian-bagian  mobil lainnya"? Kalau menurut saya, perkataan antum itu berimplikasi  bahwa keseluruhan lebih dulu dari bagian-bagiannya. Padahal,  sebaliknya itulah yang benar.

Amhar: menurut saya analogi antum kurang tepat. saya coba berikan alternatifnya. pernyataan saya: "negara islam dulu baru ada masyarakat islam" itu analog dengan "ada bus dulu, baru ada penumpang bus."

Hendaknya kita tidak terkecoh antara sebutan "masyarakat" yang diteliti oleh Ahmad Al-Qoshosh dan sebutan "masyarakat" yang disinggung dalam thread ini. Masyarakat yang disorot oleh Ahmad Al-Qoshosh adalah himpunan individu yang terikat oleh sekumpulan pemahaman, perasaan dan sistem. Ini tentunya bisa menunjuk kepada "masyarakat" atau "negara" dalam diskusi kita. Sedangkan masyarakat yang disebut oleh Ust. Sarwat adalah bagian yang lebih besar dari keluarga, dan lebih kecil dari negara.

Amhar: tidak, ustadz. negara tidak identik dengan masyarakat dalam arti bahwa ia merupakan himpunan individu yang terikat oleh sekumpulan pemahaman, perasaan, dan sistem. negara adalah institusi pengatur, sedangkan posisi masyarakat tidaklah mengatur. dalam islam, sebagai contoh, dapat dikatakan negara adalah khalifah itu sendiri. Sedangkan dalam demokrasi, dapat kita katakan bahwa negara adalah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. tidak lebih.

Bukti yang mendukung hal di atas adalah, ketika Ahmad Al-Qoshosh menyatakan ketidaksetujuannya terhadap perkataan "perbaiki  individunya, maka masyarakatnya akan menjadi baik". Di sini, dia tidak menyinggung tentang alur individu-keluarga-masyarakat-negara seperti  yang disebut Ust. Sarwat. Mungkin saya memang belum baca, tapi bisa antum kutipkan perkataan Ahmad Al-Qoshosh bahwa harus ada negara islam dulu, baru ada masyarakat islam?

mengenai negara dulu, baru masyarakat, saya juga belum menemukannya di kitab beliau. saya baca keterangan tersebut di mitsaqul ummah karya syaikh taqyuddin an-nabhani. beliau menulis:

Ketidaksetujuan Ahmad Al-Qoshosh itu dapat dibenarkan kalau urusan memperbaiki individu itu sama dengan memperbaiki roda mobil yang bocor, misalnya. Roda itu diperbaiki saja, tapi tidak *dipasang* di tempat yang semestinya. Roda yang baik, jelas tidak akan membentuk sebuah mobil yang baik, kalau dia tidak diikat dan dipasang dengan bagian-bagian mobil yang lain sehingga menjadi sebuah keseluruhan. Sebagai benda mati, roda tidak memiliki kesadaran tentang keseluruhan. Sedangkan individu manusia, ketika dibimbing untuk menjadi baik dan salih, ia sudah sekaligus diarahkan untuk memiliki keinsafan tentang keberadaan dirinya yang menjadi bagian dari umat Islam. Itu kalau manhaj perbaikan individu yang digunakan adalah benar. Di dalam Al-Quran, kita dapat menemukan sekian banyak ayat di mana Allah berbicara kepada kaum mukminin secara kolektif. Hal ini tentunya mendukung sifat kebermasyarakatan yang secara fitri ada dalam diri setiap manusia.

Amhar: persoalannya adalah kerusakannya itu terjadi tidak hanya pada roda, tetapi di seluruh bagian mobil, bahkan dibagian paling penting dari mobil tersebut, yaitu mesinnya. tanpa mesin, mobil tidak akan jalan sama sekali. maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengganti mobil dengan mobil yang baru agar penumpang di dalamnya dapat mencapai tempat yang dituju. justru kesalahan perubahan individu adalah menganggap komponen terpenting dari mobil tersebut masih berfungsi dengan baik, sehingga menganggap cukup dengan perbaikan roda. cmiiw, ustadz.

Priyo Djatmiko
15/12/10   

Ustadz Abir dan Amhar,
Bagaimana kalau diperjelas dan diringkas saja…

Kalau:

1. Beranggapan tidak perlu berupaya membangun masyarakat islam (ummah) kalau Negara islam (daulah) sebagai wadahnya belum terbangun à akibatnya akan banyak meninggalkan amal kebajikan, atau juga berakibat mengamalkan satu amalan untuk mendirikan Negara saja tanpa melakukan amal kebajikan lain

2. Beranggapan bahwa tidak perlu membangun Negara (Islam) dengan alasan cukup membangun masyarakat islami saja à ini merupakan syubhat kaum sekuler disadari atau tidak
 Saya yakin kedua ustadz yang mulia tidak termasuk dari 2 sikap di atas, jadi dimana duduk masalahnya? Saya yakin antum-antum setuju dengan wajibnya menegakkan Negara yang berhukum kepada hukum Allah dan juga sepakat untuk melakukan semua jenis amal kebajikan dalam islam secara kaaffah meskipun Negara islam belum ada.

Pada akhirnya, di atas segala perdebatan (tanpa menafikan perlunya landasan konsep perjuangan yang benar), amalan kita yang akan menjadi hujjah kita atau hujjah bagi kita di akhirat nanti..
Shofhi Amhar
15/12/10

maaf ustadz Priyo,

pandangan saya sampai saat ini, membangun masyarakat Islam bukan tidak perlu, tetapi saat ini tidak bisa, tanpa negara Islam. poin ini yang sedang kami diskusikan.
poin kedua saya sepakat sepenuhnya.

Priyo Djatmiko
15/12/10

Kita paham bahwa ini adalah konsep yang dirumuskan oleh sy Taqiyuddin an nabhani rahimahullah dan dipegangi oleh saudara-saudara hizb at tahrir, dan memang ada segudang argumentasi di belakangnya,

Menurut pendapat kami, ini adalah konsep teoritisnya, dan perbedaan konsep ini dengan konsep lainnya juga perbedaan di medan teori, dalam lapangan aplikatif, kenyataannya apakah hizb meninggalkan amal-amal kebajikan yang lain sementara Negara islam belum terwujud? Kan tidak. Kalau dijawab, kami menegakkan amalan-amalan lain dalam kerangka untuk menegakkan Negara islam, ini juga yang juga dilakukan oleh semua jamaah!
Jadi ini adalah perbedaan di wilayah teori, pada prakteknya, sama saja.

Bolehlah dikatakan: tetap beda. Tapi beda tipis saja. Dengan demikian kita semua bersaudara dalam islam dan dalam perjuangan islam, boleh tidak kalau dikatakan begitu? Ini saja sih sebetulnya yang ingin saya sampaikan, agak usil memang, boleh kan? ;-) ;-) ;-)
Afwan buat yang lain

Shofhi Amhar
15/12/10

ustadz priyo,

menurut saya teori mempengaruhi praktik. tidak semua amal dapat dimasukkan dalam kategori usaha menegakkan khilafah. sebagai misal, saya makan membaca basmalah, masuk wc kaki kiri dulu, dan seterusnya. amal saya tersebut termasuk amal saleh. namun menurut saya amal-amal tersebut tidak termasuk kategori usaha mendirikan khilafah.
semua kaum muslimin bersaudara, ustadz. dan insya Allah kita tidak sedang memutuskan persaudaraan ketika berdiskusi di sini. saya berdoa agar dijauhkan dari ghill terhadap saudara saya seiman, sejauh-jauhnya.:)
semoga Allah memberkati hidup antum.

Asep Bagja Nugraha
16/12/10

Benar, pemahaman terhadap teori akan sangat mempengaruhi praktek. Misalnya kelompok yang memahami jika masyarakat itu adalah kumpulan individu. Ketika mereka ingin melakukan perubahan masyarakat maka yang dilakukan adalah perubahan individu saja misalnya dengan akhlak atau ibadah. Harapannya jika individu tadi banyak dan berkumpul maka masyarakat akan baik.

Berbeda dengan kelompok yang memahami bahwa masyarakat terdiri dari individu, perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama. Kelompok seperti ini tidak hanya menyentuh perbaikan individu, tetapi juga melakukan pengopinian umum agar terjadi perubahan pada perasaan  dan pemikiran masyarakat serta melakukan aktivitas untuk merealisasikan adanya institusi yang menerapkan aturan di tengah-tengah individu tadi.

Abir Sabil
17/12/10

Wa'alaikumsalam warohmatullah, Akh Shofhi.

Antum kembali luput menjawab pertanyaan ana: Apakah antum sepakat bahwa untuk memperbaiki keseluruhan itu kita perlu memperbaiki bagian-bagiannya? Saya ingin sebuah jawaban gamblang.

Dan perlu antum perhatikan dengan teliti, waffaqonillahu wa iyyaak, bahwa memperbaiki itu berbeda dengan mengganti. Perbaikan itu ditujukan kepada sesuatu yang rusak. Sedangkan penggantian itu ditujukan kepada sesuatu yang lama. Penggantian itu tidak mesti dikarenakan rusaknya sesuatu. Dan sesuatu yang baru itu juga tidak mesti tidak butuh perbaikan. Memang, perbaikan suatu "mobil" bisa dilakukan dengan cara "mengganti salah satu bagiannya" dengan yang baru. Namun kalau mobilnya yang diganti, ini namanya penggantian. Bukan perbaikan.

Sudah saya terangkan bahwa individu, keluarga, masyarakat dan negara memiliki hubungan bagian-seluruh. Analogi "ada bus dulu, baru ada penumpang bus" itu rusak karena penumpang bus bukanlah bagian dari bus. Masing-masing dari keduanya, bisa ada secara terpisah dan bekerja dengan baik tanpa berhubungan dengan yang lain. Kalau dikatakan: seseorang disebut penumpang bus "hanya dan jika hanya" sedang berada di dalam bus, maka perkataan ini sudah jelas kekeliruannya.

Analogi ini ada hubungannya dengan pertanyaan "iseng": mana lebih dulu, ayam atau telur? Kata "ayam" biasanya akan dipahami dalam pengertiannya yang universal (seluruh ayam). Begitu juga dengan kata "telur". Berpikir yang bermanfaat dalam hal ini adalah dengan melakukan partikularisasi: menentukan manakah telur dan ayam yang dimaksud. 

Penjabarannya: Misalnya: ayam A mengeluarkan telur B. Telur B menjadi ayam B. Kemudian ayam B mengeluarkan telur C. Telur C menjadi ayam C. Dengan demikian: ayam A jelas lebih dulu dari telur B. Dan telur B jelas lebih dulu dari ayam C. Dengan partikularisasi seperti ini, bisa saja yang ada itu penumpangnya dulu, baru kemudian busnya. "Penumpang bus" kita batasi dengan keterangan "yang berada di terminal A". Dan "bus" dibatasi dengan keterangan "yang menuju terminal B". Di sini, bisa saja sejumlah orang sudah menanti di terminal A, tapi bus yang menuju terminal B belum datang.

Penting tidaknya suatu bagian, ditentukan oleh fungsi bagian tersebut atas keseluruhan kerja sebuah entitas. Sebuah bus masih bisa tetap berjalan mulus walaupun pintunya penyok, atau tidak ada sama sekali. Pintu tidak berfungsi penting bagi jalannya suatu mobil. Namun ia penting untuk hal lainnya.

Sebuah mesin paling mutakhir sekalipun tidak akan mengantarkan penumpang bus ke tujuan, kalau roda bus rusak total. Atau kalau tidak ada bahan bakar. Atau tidak ada yang menyupir dan seterusnya. Termasuk juga, kalau seluruh orang di mobil itu tidak tahu jalan ke tempat tujuan. Namun perlu diingat bahwa penumpang bukanlah bagian dari bus. Yang hendak dibicarakan di sini adalah baik tidaknya bus. Tanpa penumpang. Analogi dibuat untuk mempermudah masalah. Kalau ia dibuat kompleks, maka analogi itu nanti akan membutuhkan analogi lain.

Akhirnya, masalah ini tidak ada akhirnya.

Mungkin antum hendak mengatakan bahwa bus adalah alat yang akan mengantarkan penumpang ke tujuan. Kalau demikian, maka kita akan kembali ke analogi dokter mata dan pasiennya kemarin ini. Misalnya, antum tinggal di sebuah pedesaan. Lalu ada orang menyuruh antum ke kota naik bus. Di sini hanya ada dua kemungkinan: pertama, orang itu tidak waras atau tidak serius. Kedua, di desa itu memang ada bus. Kalau antum yakin seratus persen bahwa orang itu waras dan serius, berarti yang tinggal hanya kemungkinan kedua.

Qultum:
Dari ini tampaknya kita berbeda mendefinisikan apa itu masyarakat. bagi saya, Muhajirin maupun Anshar tidak disebut sebagai masyarakat Muhajirin dan masyarakat Anshar, sebagaimana Muhammadiyah, NU, DDII, JT, dll tidak bisa kita sebut sebagai masyarakat Muhammadiyah, masyarakat NU, dst. sebab, interaksi di antara mereka tidak langgeng. sementara untuk disebut sebagai sebuah masyarakat, suatu jamaah harus memiliki interaksi yang terus-menerus. jadi, jamaah tidak dapat serta-merta disebut masyarakat. hal ini ditegaskan oleh syaikh Taqyuddin an-Nabhani di dalam kitab Mitsaqul Ummah.

Aquul:
Dalam KBBI, masyarakat adalah: sejumlah manusia dl arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Jadi factor yang menyebabkan terbentuknya suatu masyarakat dalam definisi ini adalah adanya ikatan. Adanya kesatu-paduan. Masyarakat dengan definisi ini tentunya juga mencakup jama'ah-jama'ah. Tapi seandainya dibenarkan, bahwa jama'ah tidak dapat disebut sebagai masyarakat, lalu kapan kita bisa menentukan bahwa suatu jama'ah telah "berevolusi" menjadi entitas baru bernama "masyarakat"? Interaksi yang terus menerus itu apakah dengan berada di suatu wilayah tertentu? Kalau ya, lalu seandainya sejumlah orang di suatu tempat berafiliasi ke organisasi Muhammadiyah atau NU, dan seterusnya (termasuk HT), mereka ini akan disebut masyarakat ataukah negara?

Qultum:
Negara tidak identik dengan masyarakat dalam arti bahwa ia merupakan himpunan individu yang terikat oleh sekumpulan pemahaman, perasaan, dan sistem. negara adalah institusi pengatur, sedangkan posisi masyarakat tidaklah mengatur. dalam islam, sebagai contoh, dapat dikatakan negara adalah khalifah itu sendiri. Sedangkan dalam demokrasi, dapat kita katakan bahwa negara adalah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. tidak lebih.
Aquul:

Ada "interaksi yang langgeng", dan ada "posisi sebagai pengatur". Menjadi semakin jelas bahwa hubungan dalam urutan individu-kelompok-negara-masyarakat sebagaimana yang antum deskripsikan, memiliki pengertian dasar yang berbeda dari urutan individu-keluarga-masyarakat-negara. Sehingga pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah faktor "interaksi yang langgeng" (pada masyarakat) itu memang menafikan kenyataan lebih besarnya masyarakat daripada keluarga? Kemudian, apakah faktor "berposisi sebagai pengatur" (pada negara) itu menafikan kenyataan lebih besarnya negara daripada masyarakat? Coba kita pikirkan baik-baik masalah ini.

Dalam KBBI, negara didefinisikan dengan:

1 organisasi dl suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yg sah
dan ditaati oleh rakyat; 2 kelompok sosial yg menduduki wilayah atau
daerah tertentu yg diorganisasi di bawah lembaga politik dan
pemerintah yg efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga
berhak menentukan tujuan nasionalnya

Negara yang dimaksud dalam urutan individu-keluarga-masyarakat-negara adalah negara dalam definisi kedua di atas. Kalau antum berbicara tentang negara dengan definisi pertama, berarti kritik antum salah sasaran. Kalau antum menggunakan definisi kedua, maka manakah kelompok sosial yang lebih besar menurut antum (tolong dijawab dengan gamblang): negara atau masyarakat?

Terakhir, antum mengatakan:

"kesalahan perubahan individu adalah menganggap komponen terpenting dari mobil tersebut masih berfungsi dengan baik, sehingga menganggap cukup dengan perbaikan roda."

Nampaknya, pernyataan ini adalah sebuah anggapan yang salah. Tapi silahkan antum terangkan maksud di balik kiasan tersebut. Berikan buktinya, lalu kita lihat duduk permasalahan sebenarnya.
Wallahu a'lam.

Catatan:
 Besar harapan saya, diskusi ini dipandang sebagai sebuah pembelajaran tentang bagaimana bersikap yang seharusnya terhadap perbedaan pandangan. Dengan demikian, arahan ditujukan kepada cara berdiskusi yang baik dan benar. Bukan untuk meninggalkan diskusi sama sekali. Kalau ada yang mengatakan bahwa perbedaan dalam masalah ini tidak prinsipil, maka perlu diingat bersama bahwa prinsip dalam Islam bukan sekedar kalimat syahadatain. Dan menentukan prinsipil tidaknya suatu perbedaan pendapat, dilihat berdasarkan unsur-unsur maknawi dalam perbedaan pendapat itu sendiri. Bukan yang berada di luarnya (seperti: sama-sama ingin mencapai negara Islam, atau sama-sama menentang sekularisme).

Abir Sabil
20/12/10

Akh Shofhi, mungkin antum ingin mengatakan bahwa tidak ada masyarakat islami tanpa pemerintahan islami. Masyarakat di sini berarti negara sebagai kelompok sosial yang terdiri dari pemerintah dan rakyat. Dan pemerintah itulah yang antum maksud dengan istilah "negara". Kalau begitu, kritik antum terhadap urutan individu-keluarga-masyarakat-negara sebenarnya tidak tepat sasaran. Karena ada perbedaan definisi negara yang digunakan.
Perlu diingat lagi –seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya- bahwa pada tiap-tiap satuan sosial (keluarga-masyarakat-negara) memiliki dua kelas: kelas pengatur dan kelas yang diatur. Kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Jadi tidak sepenuhnya benar bahwa masyarakat itu tidak memiliki posisi sebagai pengatur. Sebab di dalam masyarakat sendiri ada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengatur, seperti kepala-kepala suku dan pemuka adat. Kecuali kalau yang antum maksud dengan masyarakat adalah rakyat. Disandingkan dengan pemerintah, rakyat jelas tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur negara.

Kalau memang seperti itu, berarti deskripsi yang tepat untuk pandangan antum adalah "tidak ada negara islami tanpa pemerintahan yang islami". Pembahasan kemudian dilakukan dengan membicarakan pengaruh penerapan sistem pemerintahan non-islami terhadap status keislaman suatu negara. Bukan tentang urutan perbaikan yang semestinya dilakukan: apakah berupa individu-keluarga-masyarakat-negara atau individu-kelompok-negara-masyarakat.
Sedangkan masalah perbaikan individu, saya perlu mengutip perkataan Syaikh An-Nabhani berikut:

"Dakwah tidak boleh diarahkan kepada wilayah akhlak di dalam masyarakat. Karena akhlak adalah konsekwensi dari adanya perintah-perintah Allah. Dengan demikian, akhlak akan lahir dari dakwah kepada aqidah dan penerapan Islam secara umum. Juga karena dakwah kepada akhlak akan menjungkirbalikkan pemahaman yang islami tentang kehidupan, dan menjauhkan orang dari pemahaman tentang hakekat masyarakat dan unsur-unsur penopangnya. Sekaligus akan meninabobokan mereka dengan sifat-sifat mulia individual yang akan mengantarkan kepada kelalaian terhadap sarana-sarana hakiki bagi kemajuan hidup.

Oleh karena itu cukup berbahaya kalau dakwah islami dijadikan sebagai dakwah kepada akhlak. Karena itu akan memberi kesan bahwa dakwah islami hanya sekedar dakwah moril, dan akan menghapus konsep pemikiran mengenai Islam, menghalangi orang untuk bisa memahaminya dan memalingkan mereka dari satu-satunya jalan yang akan mengantarkan kepada penerapannya, yaitu berdirinya negara islami... Kesimpulannya, akhlak bukanlah termasuk unsur penopang masyarakat. Ia adalah salah satu unsur penopang individu. Oleh karena itu, masyarakat tidak menjadi baik dengan akhlak. Akan tetapi dengan pemikiran Islami, penghayatan islami dan penerapan sistem islami." (Nizhamul Islam)
(Dari disertasi berjudul: Hizbut Tahrir Wa Aaroo`uhu Al-I'tiqodiyyah'Ardhan Wa Naqdan.)

Perlu diteliti kembali apa sebenarnya ikatan pemikiran, perasaan/penghayatan dan system itu. Menurut saya, tiga ikatan ini kembali pada dua simpul: ilmu dan amal. Tidak ada yang ketiga. Dua ikatan inilah yang menghimpun dua individu (laki-laki dan perempuan) menjadi sebuah keluarga. Dua ikatan ini jugalah yang menyatu-padukan beberapa keluarga menjadi masyarakat, dan beberapa masyarakat menjadi negara. Terlepas apakah ikatan ilmu dan amal ini islami atau tidak. Satuan-satuan ini bersifat alami. Ia pasti ada di mana saja, sekalipun di situ tidak ada Islam. Sedangkan ketika Islam hadir dan sampai kepada sekelompok orang (besar atau kecil), maka manusia terbagi menjadi dua kelompok besar: mukmin dan kafir. Jadi, satuan "kelompok" –sebagaimana yang antum sebutkan- tidak tepat diposisikan sebelum negara. Walaupun memang sebuah kelompok terdiri dari beberapa individu, namun sebuah negara tidak mesti terdiri dari beberapa kelompok (misalnya negara yang menganut fasisme). Tentu yang dimaksud di sini adalah kelompok yang diakui keberadaannya. Dan bukankah negara/masyarakat itu juga merupakan sebuah kelompok? Lalu apa pembedanya?

Kalau sudah dipahami bahwa satuan tubuh-umat, sistem-organ-negara, organ-masyarakat dan jaringan-keluarga disatupadukan dengan ikatan ilmu dan amal, maka pembinaan ilmu dan amal sel-individu sebagai unsure elementer dari satuan-satuan tersebut jelas sangat diperlukan. Dalam dunia pengobatan sendiri, keampuhan suatu obat bisa dilihat dari sisi apakah ia mampu secara efektif bereaksi sampai di tingkat sel atau tidak. Jadi permasalahannya bukan tentang penting tidaknya pembinaan individu. Tapi apakah pembinaan potensi ilmu dan amal pada individu tersebut seimbang atau tidak. Keseimbangan dalam dua hal inilah yang dituntunkan di dalam metode profetik terapan Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam.

Tanpa pembinaan amal/akhlak, seseorang akan cenderung untuk menjadi serupa dengan orang-orang Yahudi Al-Maghdub 'Alaihim. Dan tanpa pembinaan ilmu, ia akan dekat dengan golongan Nasrani Adh-Dhoolluun. Saya merasa perlu menggarisbawahi ungkapan "pengopinian" yang begitu gencar diupayakan oleh HT. Pembuatan opini umum ini jelas berkaitan dengan ikatan pemikiran islami.  Tapi kalau dakwah kepada akhlak ditinggalkan, lalu bagaimana ikatan penghayatan islami akan terbentuk? Masya'ir (perasaan atau penghayatan) adalah urusan cinta atau benci, dalam keadaan suka atau duka, berkaitan dengan Al-Mahbub Li Dzatih (Allah) dan Al-Mahbub Li Ghoirih (makhluk). Sedangkan opini berhubungan dengan pernyataan-pernyataan afirmasional dan negasional tentang realita. Ia adalah urusan benar salah.

Setelah itu, bagaimana sistem sosial kenegaraan yang islami itu akan terwujud kalau kebiasaan-kebiasaan pribadi individual yang islami belum terbentuk? Dan etika itu bukan hanya masalah individual. Dalam hubungan antara rakyat dan pemerintah juga ada etika.
Boleh jadi, yang dimaksud oleh Syaikh An-Nabhani adalah gerakan-gerakan sufistik. Tapi apakah aspek-aspek negatif dalam sufisme (termasuk di dalamnya sikap pasrah bongko`an kepada mursyid) harus mengorbankan pembinaan akhlak secara total dalam dakwah islam?
Wallahul muwaffiq.

Zaki
20/12/10
Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh, Ustadz Abir dan Ustadz Shofhi.

Banyak hal menarik dari perbincangan dalam utas diskusi ini. Termasuk soal kiasan / perumpamaan yang digunakan.

Saya awam filsafat. Baru kemarin saya tamat membaca sejudul artikel singkat: Materialisme yang Dialektik. Artikel itu mempromosikan dialektika (yang membandingkan dirinya di hadapan "logika-formal" seperti halnya "fisika kuantum" di hadapan "mekanika klasik"). Salah satu hukumnya menyebut adanya peralihan kuantitas menjadi kualitas.

Sekumpulan individu (atau keluarga) tertentu, jika sudah mencapai massa kritis tertentu, secara kualitas akan mungkin menjadi masyarakat dengan kualitas tertentu.

Hukum lainnya menyebut, bahwa yang keseluruhan tidak semata jumlah dari bagian-bagiannya. Tapi juga bisa melahirkan karakteristik lain yang melampaui kapasitas bagian-bagiannya. Pandangan tadi bisa diproyeksikan kepada susunan negara-masyarakat-keluarga-individu.

Terlepas dari adanya potensi atheis yang terkandung dalam hukum dialektika, saya hendak bertanya:

Apakah menurut Ustadz Abir dan Ustadz Shofhi, dialektika semacam itu bersesuaian dengan ide perubahan individu-keluarga-masyarakat-negara?

Saya juga mohon koreksi jika ada kekeliruan dalam memahami dialektika.

Jazakumullah khair atas tanggapan ustadz.

Salam,
zaki

udin nashrudinism
21/12/10

Semoga kita semua diberi pemahaman mana yang benar itu benar oleh Allah, diberi kkekuatan untuk menjalankannya dan diberi pemahaman yang salah itu salah dan diberi kekuatan untuk meninggalkannya
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ,

Udin

Shofhi Amhar
22/12/10

ustadz abir, maaf sebelumnya. saya ingin berdamai dengan diri saya sendiri. ternyata sangat sulit bagi saya untuk memahami analogi yang antum paparkan. mungkin itu memang kelemahan saya. saya ingin menawarkan sesuatu yang barangkali bisa mempermudah saya memahami makna-makna pemikiran yang antum uraikan, sebab analogi masyarakat-negara dengan roda-mobil nyatanya malah memperumit persoalan, khususnya bagi saya.
saya ingin mengetahui lebih jauh bagaimana ustadz abir menggagas alur perubahan sosial, sehingga saya bisa membandingkan dengan jelas dengan apa yang saya adopsi sampai saat ini. syukron.

Abir Sabil
22/12/10

Sekelumit tadabbur.

Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (Al-Mu`minun: 12-14)

Dari keterangan "faja'alnaahu kholqon aakhor" dapat ditarik dua faidah: [1] perubahan yang terjadi dalam proses perkembangan janin ini bersifat substantif. Dzatnya yang berubah. Bukan sekedar sifatnya. [2] perubahan itu terjadi akibat perbuatan penciptaan Allah. Dengan demikian, perubahan kwantitas tidak mesti mengakibatkan perubahan kwalitas. Ia hanya menjadi syarat perlu, dengan dalil:

"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (Al-Qomar: 49)

Tapi bukan syarat cukup.

Kemudian Allah juga berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum: 21)

dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (Al-Anfal: 63)

Faidah dari dua ayat ini: [1] terbentuknya keluarga diakibatkan oleh perbuatan Allah menjadikan rasa kasih sayang di antara laki-laki dan perempuan. [2] terwujudnya kesatuan kaum mukminin diakibatkan perbuatan Allah mempersatukan hati-hati mereka. Dengan demikian, perubahan kwantitas bukanlah satu-satunya sebab bagi perubahan kwalitas.
Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara. dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali-Imran: 102-103)

Keterangan [maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara] menunjukkan nikmat persatuan dan persaudaraan secara umum.

Sedangkan keterangan [dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya] menunjukkan nikmat kebenaran yang Allah anugrahkan pada umat ini. Ia adalah tali Allah itu sendiri. Dengan demikian, persaudaraan semata tidak mesti merupakan nikmat. Persatuan, keutuhan, kesolidan, belumlah menjadi nikmat yang sesungguhnya kecuali kalau ia diikat oleh tali Allah yang akan menyelamatkan setiap anggota kesatuan tersebut dari api neraka.

Pada ayat berikutnya Allah berfirman:

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)

Kebajikan, perkara yang ma'ruf dan perkara yang munkar terkait dengan potensi ilmu dan amal pada diri setiap individu manusia. Bahkan ia lebih dekat kepada sisi amal dari sisi bahwa perbuatan "menyuruh" dan "mencegah" itu berhubungan dengan kecintaan dan kebencian terhadap tindakan yang disuruh atau dicegah. Bukan hanya sekedar "mengetahui yang ma'ruf atau yang munkar dengan dalil", tapi juga mencintai yang ma'ruf dan menyuruh kepadanya. Juga membenci yang munkar dan mencegah darinya. Pengetahuan dan perasaan. Pemikiran dan penghayatan. Dan tidak ada pembeda sama sekali antara akhlak individual, etika social atau moral perpolitikan.
Wallahu a'lam.

Abir Sabil
22/12/10

Akh Shofhi,
Dalam diskusi kita ini ada beberapa poin penting:

1. Urutan individu-keluarga-masyarakat-negara-umat dalam sosiologi ini sebanding dengan urutan sel-jaringan-organ-sistem organ-tubuh dalam biologi. Ia hanya menggambarkan urutan satuan terkecil sampai satuan terbesar. Bukan urutan metamorfosis atau -apalagi- evolusi.

2. Yang saya pahami dari perubahan sosial adalah perubahan keadaan masyarakat dari yang buruk menjadi baik. Di sini, saya tidak hendak membuat urutan apa-apa. Saya hanya ingin menetapkan bahwa untuk memperbaiki suatu keseluruhan, seseorang perlu memperbaiki bagian-bagiannya. Tentu yang diperbaiki adalah bagian mana saja yang rusak.

3. Menetapkan adanya ikatan pemikiran, penghayatan dan sistem dalam satuan umat/negara, berkonsekwensi pada penetapan serupa di tingkat masyarakat dan keluarga. Dan pembuatan opini umum (yang benar) tidak mesti bertentangan dengan pembinaan karakter pribadi (yang baik). Kalau individu adalah elemen pembentuk masyarakat, maka akhlak (yang dikatakan oleh Syaikh An-Nabhani sebagai unsur pembentuk individu) juga merupakan pembentuk masyarakat. Akhlak di tingkat individu, itu sama dengan sistem di tingkat negara.

4. Pandangan bahwa dakwah kepada akhlak itu tidak perlu, adalah pandangan keliru. Dan kekeliruan ini bukan pada wilayah ijtihadiyyah. Ada sekian ayat yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam selain melakukan Ta'limul Kitab Was Sunnah, beliau juga melakukan Tazkiyah. Jadi, di samping Tatsqif, Tarbiyah juga perlu dilakukan. Namun yang perlu didahulukan adalah Tashfiyah. Sebab inilah pemisah antara tuntunan Al-Kitab Was Sunnah dan yang selainnya.

Saddadallaahu khuthoonaa ajma'iin.

Shofhi Amhar
23/12/10

Bismillâhirrahmânirrahîm

Alhamdulillâh washshalâtu wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh. Semoga kebaikan selalu menyertai saya, ustadz Abir, dan para penyimak diskusi ini. Wa ba’d.
Saya telah membaca ulang kiriman ustadz Abir di topik ini. Sengaja saya cetak semua postingan ustadz Abir dan berikut ini uraian saya.

1. Kritik saya terhadap alur perubahan sosial sejak awal ditujukan dalam kerangka perjuangan menuju terbentuknya Khilafah, yaitu bagaimana alur yang seharusnya kita tempuh untuk menuju ke sana. Jadi, ketika saya mempersoalkan teori alur masyarakat Islam – negara Islam, sebenarnya saya sedang mempersoalkan apakah benar masyarakat Islam terbentuk lebih dulu, yang selanjutnya meniscayakan negara Islam. Jika mengikuti definisi dari KBBI**, negara yang saya maksudkan adalah negara dalam definisi pertama, mengingat artikel yang saya kiritik konteknya adalah perbaikan masyarakat dalam hubungannya dengan penegakan Khilafah. Maka kritik saya selama ini tidaklah salah, karena Khilafah tidak lain adalah negara Islam dengan pengertian negara sebagaimana didefinisikan oleh KBBI sebagai: Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertingggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; bukan definisi kedua: Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.

2. Perkara membentuk Khilafah ini, tidak bisa tidak, memerlukan rancangan alur. Kita tidak bisa sekedar mengatakan bahwa yang harus kita lakukan adalah memperbaiki bagian mana saja yang rusak, tanpa urutan. Menuju negara Islam tanpa menetapkan tahap demi tahapnya adalah suatu perkara yang sulit dibayangkan. Tidak hanya itu, upaya menegakkan negara Islam tanpa menetapkan urutan tahap-tahapnya berarti juga mengabaikan hukum kausalitas.

3. Menganologikan masyarakat-negara dengan roda-bus, setelah saya pikirkan lagi, memang tidak tepat. Jika dikatakan analogi harus dibuat sederhana, maka saya katakan bahwa ia tak boleh dibuat terlalu sederhana. Analogi bagian-seluruh untuk masyarakat-negara tidak relevan karena terlalu sederhana, khususnya dalam pembahasan apakah masyarakat Islam terbentuk dahulu kemudian negara Islam ataukah sebaliknya? Kenyataannya, masyarakat-negara bukanlah bagian-seluruh sehingga dapat dikatakan bahwa negara lebih besar daripada masyarakat sebagaimana masyarakat lebih besar dari keluarga. Tidak lebih besarnya masyarakat dibanding negara terlihat dalam definisi KBBI, baik definisi kedua, lebih-lebih definisi pertama.

4. “Perbaiki individunya, maka masyarakatnya akan menjadi baik” perlu didudukkan pada realitas kondisi masyarakat tertentu, sehingga dapat diketahui dengan jelas kekeliruannya. Ada dua kondisi yang mungkin: kondisi masyarakat yang Islami dan kondisi masyarakat yang tidak Islami. Dalam kondisi masyarakat yang Islami, kerusakan individu sebenarnya tidak akan merusak sifat Islami masyarakat itu sendiri, selama komponen pembentukan masyarakat Islami tetap ada di tengah-tengah masyarakat. Ingat, masyarakat Islami bukanlah masyarakat yang tanpa cacat dilihat dari pemikiran dan perilaku per individunya. Kita, sebagai misal yang paling jelas, tetap bisa menyebut masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi sebagai masyarakat Islam sekalipun ada di antara individunya melakukan dosa besar seperti mencuri atau berzina. Jika demikian, pernyataan “perbaikilah individunya, maka masyarakatnya akan menjadi baik” tidak relevan dalam kondisi masyarakat yang sudah Islami, sebab sifat masyarakat ketika itu sudah baik. Sedangkan jika yang dimaksud adalah kondisi ketika masyarakat tidak Islami, maka pernyataan “perbaikilah individunya, maka masyarakatnya akan menjadi baik” bisa saja wujud di dalam pikiran, tetapi tidak ada realitasnya. Tentu perbaikan individu di sini maksudnya adalah kita mendakwahi individu satu per satu sehingga dari [satu menjadi dua, dua menjadi tiga, tiga menjadi sepuluh, sepuluh menjadi seribu, seribu menjadi sejuta, dan seterusnya sampai mayoritas orang di suatu wilayah menjadi baik secara massif dan kebaikan tersebut langgeng, tanpa perlu sebuah negara Islam], karena konon negara Islam justru akan lahir setelah mayoritas masyarakat baik secara massif. Teori perbaikan individu harus dipahami seperti yang saya kurung siku di atas. Sebab jika tidak, maka teori negara Islam dulu baru masyarakat Islam harus diterima. Sayangnya, sejarah orang paling kafir (dalam usaha mewujudkan masyarakat khas* berdasarkan kekufuran seperti kapitalisme dan sosialisme) sampai sejarah orang paling beriman (dalam usaha mewujudkan masyarakat Islam) tidak mengajarkan kita pembenaran akan teori perubahan individu. Perjalanan dakwah Nabi tidak menunjukkan bahwa beliau memperbaiki individu sampai terbentuk kebaikan masyarakat secara massif seperti yang dinyatakan dalam kurung siku di atas, melainkan beliau melakukan upaya yang cukup untuk mendirikan sebuah negara tanpa terlalu memperhatikan berapa jumlah individu yang sudah baik di dalam sebuah masyarakat yang ketika itu belum dapat disebut masyarakat Islam.

5. Kritik terhadap alur perubahan sosial menuju negara Islam secara: invidu-keluarga-masyarakat-negara tidak lantas melalaikan dakwah terhadap individu. Ini yang sering disalahpahami. Dakwah kepada individu dalam arti kita harus mengajak individu untuk melakukan kebaikan, tentu harus dilakukan. Ini adalah perkara yang jelas, ditinjau dari dua sisi. Pertama, kewajiban menyeru kepada individu manusia untuk melakukan kebaikan adalah perkara yang tidak dibantah dari ajaran Islam. Kedua, dakwah untuk mendirikan memerlukan sekelompok orang yang tentu saja terdiri dari individu-individu. Demikian pula mengajak manusia untuk memiliki akhlak yang baik. Hanya saja, Syaikh Taqyuddin an-Nabhani—rahimahullah—mengingatkan dua hal. Pertama, akhlak adalah bagian dari syariat, sehingga ia harus diajarkan dalam bentuk yang terikat dengan hukum-hukum syara’. Ketika melakukan kejujuran, misalnya, seorang muslim tidak boleh melakukannya karena sifat baik jujur itu sendiri, sebab sifat baik dan buruk adalah penilaian eksternal manusia. Maka seorang muslim berlaku jujur karena keterikatannya dengan perintah dan larangan Allah, bukan karena sifat jujur itu sendiri ataupun adanya manfaat dalam kejujuran. Kedua, akhlak bukanlah asas bagi kebangkitan sebagaimana tergambar dalam syair:

وإنما الأمم الأخلاق ما بقيت # فإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا

Akhlak sebagai asas bagi kebangkitan tidaklah dinyatakan oleh dalil manapun. Lagi pula hal tersebut memang bukan dalam wilayah kajian terhadap dalil melainkan kajian terhadap fakta bangkit dan runtuhnya suatu umat dalam sejarah, sehingga tidak dikatakan sebagai ijtihad. Inilah pandangan Syaikh Taqyuddin mengenai akhlak. Bagi siapapun yang menghendaki pemaparan beliau mengenai akhlak, silakan merujuk kepada setidaknya dua kitab: Mafâhîm Hizbut Tahrir dan Nizhamul Islam bagian akhir. Maka jika ada disertasi yang menikam beliau dengan apa yang beliau tidak maksudkan, semoga sang penulis disertasi hanya mengalami suu’ul fahmi, bukan suu’ul qashdi.

Untuk sementara sekian dulu. Insya Allah saya tambahkan kalau ada hal-hal penting yang belum disampaikan. Wallâhul musta’aan wa ilaihit tuklaan.

*Muhammad Husain ‘Abdullah di dalam Mafâhîm Islâmiyah membagi masyarakat berdasarkan sifatnya menjadi dua jenis: al-mujtama’ al-mutamayyiz dan al-mujtama’ ghayrul mutamayyiz. Jenis pertama adalah masyarakat yang individu-individunya memiliki pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan sistem dari jenis ideologi yang satu. Sedangkan jenis kedua adalah masyarakat yang individu-individunya memiliki pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan sistem dari jenis ideology yang tidak satu.

**Berbicara perubahan sosial, berarti membincang sosiologi. Demikian pula definisi-definisi yang dipakai hendaknya merupakan hasil kajian sosiologis. Kajian sosiologi bukanlah hal yang sederhana, apalagi dalam persoalan perumusan teori universal pembentukan masyarakat dan negara. Tak heran, ‘pemikir utama’ dalam persoalan ini tidak banyak. Di Barat, ada nama Max Weber, Karl Marx, dll. Di dunia Islam sendiri, jika Ibnu Khaldun dianggap sebagai perintis tradisi kajian filsafat sejarah di dunia Islam, sebenarnya beliau pula yang mengakhirinya. Sebab kajian mengenai hal ini di dunia Islam sepeninggal dapat dikatakan mandeg sampai datangnya asy-Syaikh al-‘Aliim Taqyuddin an-Nabhani—rahimahullah.

zaki.fathurohman
2010/12/23 Shofhi Amhar menulis:

Bismillâhirrahmânirrahîm

Alhamdulillâh washshalâtu wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh. Semoga kebaikan selalu menyertai saya, ustadz Abir, dan para penyimak diskusi ini. Wa ba’d.
Allaahumma shalli wa salim wa baarik 'alayh.

Perihal apa yang ustadz Shofhi sampaikan  berikut ini:

[ Perjalanan dakwah Nabi tidak menunjukkan bahwa beliau memperbaiki individu sampai terbentuk kebaikan masyarakat secara massif seperti yang dinyatakan dalam kurung siku di atas, melainkan beliau melakukan upaya yang cukup untuk mendirikan sebuah negara tanpa terlalu memperhatikan berapa jumlah individu yang sudah baik di dalam sebuah masyarakat yang ketika itu belum dapat disebut masyarakat Islam.]

Biasanya kalau sudah merujuk ke sirah nabi, tidak sedikit yang akan berpandangan bahwa bahkan nabi pun tidak memulai dengan seruan "tegakkan khilafah". Tapi malah Rasulullah menyeru agar manusia meninggalkan sesembahan berhala mereka, dan beralih menyembah hanya kepada Allah SWT saja, Tuhan Yang Menciptakan dan Mengatur alam semesta dan seisinya. Singkatnya adalah: dakwah tauhid. Dan beliau Rasulullah SAW memulainya dari keluarga terdekat terlebih dahulu, dari lingkup individu.

Sementara di sisi lain, orang-orang yang belakangan merasa keren dengan sebutan islam liberal, justru menjadikan "sebagian" perjalanan dakwah Rasulullah itu sebagai alasan untuk membuktikan bahwa Rasulullah tidak diutus untuk mendirikan negara, melainkan hanya untuk nilai-nilai moral atau urusan spiritual saja.

Tapi kedua keadaan di atas sepertinya sudah lazim muncul dalam perbincangan antara di antara pihak-pihak yang berkaitan.

Yang menarik justru pernyataan ustadz Shofhi (seperti tercetak tebal di atas). Pernyataan tersebut serta-merta mengingatkan saya kembali atas sebuah artikel di Dakwatuna.com. Berikut ini tautannya: Mencermati Angka-Angka Dalam Dakwah Rasulullah.

Salam,
zaki

Shofhi Amhar
24/12/10

wa'alaikumussalaam, ustadz Zaki, warahmatullah wabarakatuh.
mengenai teori masyarakat versi sosialisme-marxisme, di depan saya ada buku berjudul "kritik sosialisme marxisme", ghanim abduh. di dalam wacana kesebelas, buku ini memberikan penjelasan dan kritik mengenai teori kuantitas menjadi kualitas dan hubungannya dengan teori perubahan masyarakat.
mengenai pertanyaan antum, setahu saya justru tidak demikian. teori perubahan yang berurut dari individu-keluarga-masyarakat-negara lebih dekat pada teori masyarakat dalam dunia pemikiran kapitalisme, di mana liberalisme yang menjunjung tinggi individualisme menjadi basisnya. perbandingan singkat mengenai ide tentang masyarakat menurut kapitalisme, sosialisme, dan islam bisa dibaca di kitab Nizhamul Islam, mulai halaman 49.

Shofhi Amhar
24/12/10

syukron untuk tautannya, ustadz zaki. itu artikel yang mencerahkan. saya tarik pernyataan saya yang kontradiktif dengan data-data yang dipaparkan dalam artikel tersebut, tanpa menarik kesimpulan besar yang telah saya sampaikan.

Abir Sabil 
 28/12/10

Bismillah.
Ustadz Shofhi, untuk kesekian kalinya, ana tanyakan kepada antum: apakah antum sepakat bahwa untuk memperbaiki keseluruhan, seseorang perlu memperbaiki bagian-bagiannya? Barokallahu fiikum..

Abir Sabil 
 29/12/10

Bismillah.

Saya menemukan ada celah yang perlu diisi dalam diskusi ini. Sambil menunggu jawaban gamblang dari Ust. Shofhi, saya ingin sedikit memberikan faidah tentang hubungan antara individu dan masyarakat menurut Murtadha Muthahhari dalam buku "Masyarakat dan Sejarah". Untuk menjawab pertanyaan: "Apakah keberadaan masyarakat itu mesti dan berdiri sendiri?", Muthahhari memaparkan empat pandangan:

1. Masyarakat hanyalah sebuah sintesis bentukan yang tidak sejati. Bukan sintesis nyata. Keberadaan masyarakat itu tidak mesti dan tidak berdiri sendiri.

2. Masyarakat adalah sebuah senyawa bentukan. Bukan senyawa alamiah. Suatu senyawa bentukan, seperti sebuah mesin, merupakan suatu sistem kesalingberkaitan antarbagian. Unsur-unsur dalam senyawa bentukan ini tidak kehilangan identitas. Mereka hanya memasrahkan kebebasan mereka. Dan keseluruhan merupakan jumlah keseluruhan unsurnya ditambah hubungan dan kaitan khas antarmereka.

3. Masyarakat merupakan suatu senyawa sejati, sebagaimana senyawa-senyawa alamiah. Tetapi yang disintesis di sini adalah jiwa, pikiran, kehendak serta hasrat. Sintesisnya bersifat kebudayaan, bukan kefisikan.

4. Masyarakat merupakan suatu senyawa sejati yang lebih tinggi daripada senyawa alamiah. Manusia tak memiliki kedirian apapun ketika belum ada masyarakat. Sifat manusiawi seorang manusia - yakni, merasa bahwa ia manusia, sadar akan 'keakuan' dan pikirannya, kesukaan dan ketidaksukaannya, serta emosi-emosi dan perasaan-perasaan lain yang berkaitan dengan manusia - maujud karena pengaruh jiwa kemasyarakatan.

Dan pandangan ketigalah yang menurut Muthahhari sesuai dengan Al-Quran.
Wallahu a'lam.

Shofhi Amhar
31/12/10

Wa iyyaakum, Ustadz Abir, baarakalaah.
afwan sebelumnya. jawabannya seperti yang terlihat dalam jawaban saya: ya.
Sekedar menambahkan, dalam kontek perjuangan mewujudkan negara, perbaikan (reformasi) saat ini tidak tepat, yang lebih tepat: perubahan (taghyir, inqilabi).
Wallaahu a'lam.

Shofhi Amhar
31/12/10

bismillah..
secara bahwa membahas masyarakat adalah membahas fenomena sosial, hemat saya sebaiknya tidak menggunakan analogi ilmu kealaman, Ustadz. Karena nanti akan banyak perbedaan.

(*)

Lampiran (artikel yang diisyaratkan oleh al-akh Zaki Fathurrahman)
Mencermati Angka-Angka Dalam Dakwah Rasulullah
Fiqih Dakwah, Sirah Nabawiyah

22/3/2007 | 05 Rabbi al-Awwal 1428 H

Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc

dakwatuna.com – Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (٦٥) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (٦٦)

65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti [1].
66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Saat saya bersama anak-anak dan keluarga menonton VCD The Amazing Child, sebuah VCD yang mengisahkan bocah berusia 5 tahun yang telah hafal Al-Qur’ân Al-Karîm, dan bahkan mampu menjelaskan dan memahami kandungannya, saya dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan kepada sang bocah, yang isinya, meminta kepadanya untuk menyebutkan angka-angka di dalam Al-Qur’ân, dan dengan cekatan nan fashîh, sang bocah pun membaca ayat-ayat yang berisi penyebutan angka-angka.

Kenapa saya terkejut dengan pertanyaan seperti ini? Sebab, beberapa waktu yang lalu, saya juga dikejutkan oleh “protes” atau ekspresi momok sebagian aktivis dakwah terhadap angka-angka.

Dari dua kejutan ini, saya pun mencoba mencari-cari, adakah angka-angka di dalam Al-Qur’an, dan juga dalam sirah (perjalanan) hidup nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?

Jawaban bocah dalam VCD yang saya tonton, memberi inspirasi kepada saya untuk mencoba mencermati angka-angka ini, yang di antara hasilnya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’ân Al-Karîm telah menyebutkan beraneka macam angka, mulai dari pecahan, satuan, belasan, puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan ratusan ribu.

Angka-angka pecahan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah seperdelapan (1/8), seperenam (1/6), seperempat (1/4), dan setengah (1/2).

Angka-angka satuan, belasan, puluhan, ratusan dan ribuan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah satu (1), dua (2), tiga (3), empat (4), lima (5) enam (6), tujuh (7), delapan (8) dan sembilan (9), sepuluh (10), sebelas (11), dua belas (12), sembilan belas (19), dua puluh (20), tiga puluh (30), empat puluh (40), lima puluh (50), enam puluh (60), tujuh puluh (70), delapan puluh (80), seratus (100), dua ratus (200), tiga ratus (300), sembilan ratus lima puluh (950), seribu (1000), dua ribu (2000), tiga ribu (3000), lima ribu (5000) dan angka terbesar yang disebutkan Al-Qur’ân Al-Karîm adalah seratus ribu (100.000).

Kesimpulan sementara saya setelah mendapatkan angka-angka ini: “ternyata, Al-Qur’ân Al-Karîm menyebutkan angka-angka”, karenanya, kita tidak boleh alergi atau momok dengan angka-angka.

Bagaimana dengan perjalanan hidup (sîrah) Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Bila kita mencoba merunut (membaca secara berurutan) perjalanan hidup (sîrah) beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, ternyata, semenjak awal, para penutur (yang menuturkan dan mengisahkan) serta penulis sîrah beliau, juga sudah akrab dengan angka-angka.

Dalam kitab Al-’Ibar Fî Durûs (Khabar) Man Ghabar, dalam peristiwa tahun 17 H, Al-Hâfizh Al-Dzahabî menulis:

وَفِيْهَا تُوُفِّيَ عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ اَلْمَازِنِيّ، أَحَدُ السَّابِقِيْنَ اَلأَوَّلِيْنَ. يُقَالُ أَسْلَمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ

Pada tahun tujuh belas Hijriyah (17 H) telah wafat ‘Utbah bin Ghazwân Al-Mâzinî –radhiyallâhu ‘anhu-; salah seorang yang pertama-tama masuk Islam, ada pendapat mengatakan bahwa dia adalah orang yang masuk Islam dengan nomor urut tujuh. [lihat juga Mushannaf Ibn Abî Syaibah juz 8, hal. 45, 199, 452).

Dalam riwayat lain, yang menempati nomor urut ketujuh adalah Sa'ad bin Abî Waqqâsh –radhiyallâhu 'anhu- [Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi juz 1, hal. 106, lihat pula: Ma'ânî Al-Qur'ân, karya Al-Nahhâs saat menafsirkan Q.S. Al-Mâidah: 12).

Riwayat lain mengatakan bahwa yang menempati nomor urut ketujuh adalah Utsmân bin Al-Arqâm [Al-Mustadrak, karya Al-Hâkim, hadîts no. 6181].

Siapapun yang benar darinya tidaklah penting [2], yang terpenting di sini adalah bahwa semenjak awal, masalah angka-angka dalam sîrah nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- telah menjadi perhatian para penutur dan penulis sejarah perjalanan hidup beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- ini.

Dan setelah beliau ­–Shallallâhu ‘alaihi wa sallam- hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- mulai mengizinkan peperangan kepada kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka sebagai berikut:

Tahun
Peristiwa
Pasukan Islam
Keterangan
Dua (2)
Perang Badar
313

Tiga (3)
Perang Uhud
1000 (700)
300 orang pulang
Lima (5)
Perang Ahzâb
3000

Delapan (8)
Fathu Makah
10.000

Sembilan (9)
Perang Tabuk
30.000


Ada empat hal yang menarik dari angka-angka di atas, yaitu:

Ada pertumbuhan cepat jumlah pasukan Islam dari tahun ke tahun. Dari Badar ke Uhud (tempo satu tahun) telah terjadi pertumbuhan jumlah pasukan Islam sebanyak tiga kali lipat (300%), begitu juga dari Uhud ke Ahzâb (tempo dua tahun). Yang menarik adalah pertumbuhan dari tahun ke lima (Ahzâb) ke tahun delapan (Fathu Makah), sebab, dalam tempo tiga tahun, pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 10.000 pasukan (lebih dari 300%).
Suasana “damai” atau genjatan senjata dengan pihak Makah melalui Shulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah) pada tahun 6 Hijriyah, telah dioptimalkan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyebar luaskan dakwah seluas-luasnya, di samping untuk menyelesaikan urusan strategis lainnya, misalnya: penyerbuan ke benteng Yahudi di Khaibar (tahun 7 H).

Pada tahun 9 Hijriyah dan “hanya” dalam tempo satu tahun, jumlah pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 30.000 pasukan (300%). Hal ini terjadi karena Makah yang menjadi musuh dakwah telah tidak ada dan berubah menjadi bagian dari pendukung dakwah.
Ada pertumbuhan yang relative “terjaga” dari jumlah pasukan Islam, yaitu sekitar 300%, walaupun tempo yang dilaluinya berbeda-beda.

Adanya angka-angka pertumbuhan seperti ini, menjadikan kita bertanya-tanya: adakah angka-angka seperti ini terjadi secara kebetulan (‘afwiyyan), ataukah memang ada perencanaan atau design yang telah dibuat sebelumnya?

Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara kebetulan. Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita katakan kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan sebagai berikut:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَحْصُوا لِي كَمْ يَلْفِظُ اْلإِسْلاَمَ، قَالَ : فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَخَافُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ مَا بَيْنَ السِّتِّ مِائَةٍ إِلَى السَّبْعِ مِائَةٍ! ]رواه مسلم، رقم 149[

Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Kami bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau bersabda: “Lakukanlah ihshâ’ untukku berapa orang yang telah menyatakan Islam”. Hudzaifah berkata: ‘maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullâh, adakah engkau mengkhawatirkan kami? Sementara jumlah kami antara 600 sampai tujuh ratus! .. [H.R. Muslim, no. 149]
Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اكْتُبُوا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِاْلإِسْلاَمِ مِنْ النَّاسِ، فَكَتَبْنَا لَهُ أَلْفًا وَخَمْسَ مِائَةِ رَجُلٍ … عَنْ الأَعْمَشِ : فَوَجَدْنَاهُمْ خَمْسَ مِائَةٍ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ : مَا بَيْنَ سِتِّ مِائَةٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ ]البخاري، رقم 3060[
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tuliskan untukku orang-orang yang telah menyatakan Islam”. Maka kami menuliskan untuk beliau seribu lima ratus laki-laki … Dari Al-A’masy: Maka kami mendapati mereka berjumlah 500. Abû Mu’âwiyah berkata: antara 600 – 700 [H.R. Bukhârî, no. 3060]

Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat Ini

Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawî: “Kalau saja terjadi pengkodifikasian ulang hadîts, maka saya mengusulkan agar dua riwayat ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm (kumpulan hadîts yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan), sebab, al-ihshâ’ (penghitungan, kalkulasi, sensus dan statistic) merupakan dasar berbagai macam ilmu pengetahuan”. [lihat: Al-Rasûl wa al-'Ilm].
Menurut Al-Dâwudî, angka-angka yang disebutkan dalam riwayat ini tidaklah kontradiktif, sebab, ada kemungkinan ihshâ’ dilakukan berkali-kali. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].

Menurut Ibn Al-Munîr, sensus tertulis tidaklah kontradiktif dengan keberkahan, bahkan, penulisan yang diperintahkan itu merupakan kemaslahatan agama. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].

Beberapa Tambahan Komentar

Dalam terjemahan sederhana, kata ihshâ’ berarti: menghitung. Namun, dalam konteks ilmiah, ihshâ’ juga bermakna kalkulasi, sensus dan bahkan statistic dan grafik. Makna inilah yang oleh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhaî –hafizhahullâh- disebut sebagai dasar ilmu pengetahuan modern, karenanya beliau mengusulkan agar hadîts ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm. Wallâhu a’lam.

Dua riwayat yang “berbeda”, di mana yang satunya menyebutkan uhshû dan satunya mengatakan uktubû, juga tidak kontradiktif, sebab bisa digabungkan dan saling melengkapi, sehingga bisa dipahami bahwa perintah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- kepada para sahabat adalah agar mereka melakukan ihshâ’ secara tertulis, dan tidak cukup sekedar lisan sahaja. Hal ini menegaskan betapa penting peranan ihshâ’ tertulis ini, agar data benar-benar valid dan akurat.

Perbedaan angka-angka sebagaimana disebut dalam periwayatan hadîts ini, dan sebagaimana dipahami tidak kontradiktif oleh Al-Dâwûdî, juga bisa dipahami bahwa para sahabat nabi terus dan selalu melakukan apa yang di zaman sekarang disebut dengan istilah updating data atau pemutakhiran data dari waktu ke waktu, dan ternyata, updating itu menunjukkan adanya pergerakan naik yang terus menerus; 500, 600, 700 dan 1500. Wallâhu a’lam.

Dari semua keterangan ini, kita bisa memahami dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan angka-angka bisa kita katakan telah direncanakan atau by design, dan bukan ‘afwiyyah (kebetulan).

Catatan Kaki:

[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخ ، وَهُدْبَة بْنُ خَالِد ، قَالاَ : ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةَ ، نَا حُمَيْدٌ بْنُ هِلاَل ، عَنْ خَالِدٍ بْنِ عُمَيْر ، قَالَ : خَطَبَنَا عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : « لَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلاَّ وَرَقُ الشَّجَرِ ، حَتَّى خَرَجَتْ أَشْدَاقُنَا، فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً، فَشَقَقْتُهَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ سَعْدٍ بْنِ مَالِكٍ
] الآحاد والمثاني لابن أبي عاصم[
281- Telah menceritakan kepada kami Syaibân bin Farrûkh dan Hudbah bin Khâlid, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin Al-Mughîrah, ia berkata: telah memberitakan kepada kami Humaid bin Hilâl, dari Khâlid bin ‘Umair, ia berkata: Telah menyampaikan khutbah kepada kami ‘Utbah bin Ghazwân – radhiyallâhu ‘anhu-, lalu ia memuji Allâh Ta’âlâ dan memuji-Nya, kemudian ia berkata: “Saya telah melihat diriku sebagai yang ketujuh dari tujuh orang bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, kami tidak memiliki makanan apapun selain dedaunan pohon, sehingga ujung bibir kami sampai keluar, lalu aku menemukan selembar kulit, maka saya belah menjadi dua bagian, sebagian untukku dan sebagian lagi untuk Sa’ad bin Malik (Abî Waqqâsh)“. [Al-Âhâd wa Al-Matsânî, karya Ibn Abî 'Âshim]. Wallâhu a’lam.

Keyword: angka, dakwah, dakwah rasulullah, fathu makah, perang, perang ahzab, perang badar, perang tabuk, perang uhud, sirah