Minggu, Maret 11, 2018

Cadar dalam Dua Kitab Mazhab Syafii



Mahasiswi bercadar melakukan aksi menentang pelarangan bercadar. (Sumber: lppmnuansa.org)
Sebagian masyarakat mungkin masih bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya duduk persoalan cadar menurut ajaran Islam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, mengingat sementara pihak menuduhnya sebagai budaya Arab an sich, tanpa ada hubungannya dengan Islam.
Cadar dan Aurat
Hukum memakai cadar berkaitan erat dengan hukum aurat. Secara bahasa, penulis kitab Fathul Qarîb menjelaskan bahwa kata aurat berarti kekurangan. Secara istilah, syariat menyebut kata ini dengan maksud sesuatu yang wajib ditutup dan juga haram dilihat.

Ilustrasi: Seorang muslimah mengenakan cadar. (Sumber: anizahkhimar.com)
Sejuah mana batasan aurat yang dipahami seseorang akan mendorongnya untuk mengikuti cara berpakaian dengan model tertentu. Maka tulisan ini mencoba mengulik keterangan di dalam kitab-kitab standar dalam mazhab Syafii seputar tema aurat.
Pertama, kitab Fathul Qarîbil Mujîbi fî Syarhi Alfâzhit Taqrîb yang merupakan penjelasan atas kitab al-Ghâyah wat Taqrîb karya Qadhi Abu Syuja’. Saat menerangkan syarat-syarat shalat, penulis kitab ini menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah menutupi aurat dengan pakaian yang suci.
Kapan Menutup Aurat?
Sebelum menjelaskan bagian tubuh mana saja yang termasuk aurat, Imam Syamsuddin al-Ghazi menulis bahwa menutup aurat juga wajib dilakukan di luar shalat, bahkan saat di tempat sepi, kecuali jika ada kebutuhan seperti mandi dan sebagainya. Sedangkan untuk diri sendiri, maka tidak wajib menutup aurat, tetapi makruh memandang ke arahnya.
Lalu apa saja yang termasuk aurat?
Beliau lalu menerangkan bahwa aurat lelaki adalah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan merdeka dibedakan antara di dalam shalat dengan di luar shalat. Aurat perempuan di dalam shalat adalah selain muka dan dua sisi telapak tangan (sisi gelap dan sisi terang) sampai persendiannya. Sedangkan aurat perempuan merdeka di luar shalat adalah seluruh badannya. Adapun auratnya saat di tempat sepi adalah seperti aurat laki-laki. Selesai keterangan Imam Syamsuddin.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa menutup wajah dengan cadar dan telapak tangan dengan sarung tangan sesuai dengan yang diajarkan kitab fikih mazhab Syafii ini. Sebab, aurat perempuan di luar shalat adalah seluruh badannya.

Salah satu sampul kitab Safinatun Najah. (Dok. Shofhi Amhar)
Kedua, kitab Safînatun Najâh karya Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami. Penulis kitab ini menyatakan bahwa aurat itu ada empat macam, yaitu aurat laki-laki secara mutlak dan budak perempuan di dalam shalat, aurat perempuan merdeka di dalam shalat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan di hadapan lelaki asing, serta aurat perempuan merdeka dan sahaya di depan para mahramnya dan juga di depan perempuan lain.
Empat Kategori Aurat
Aurat bagi lelaki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Ini berlaku secara mutlak, baik di dalam maupun di luar shalat, baik dia merdeka ataupun budak, baik di depan perempuan maupun di depan sesama lelaki. Batasan aurat ini juga berlaku untuk budak perempuan di dalam shalat.
Aurat perempuan merdeka di dalam shalat adalah seluruh badannya, kecuali wajah dan telapak tangan. Jadi, perempuan merdeka membuka wajah dan telapak tangannya ketika shalat.
Sedangkan di luar shalat, wajah dan telapak tangan perempuan merdeka, di depan lelaki asing, wajib ditutup. Sebab, kitab ini menjelaskan bahwa aurat perempuan merdeka di depan lelaki asing adalah seluruh badannya.
Jadi sangat wajar jika ada kaum muslimah yang menutupi wajahnya dengan cadar dan telapak tangannya dengan sarung tangan. Sebab, menurut kitab mazhab Syafii ini, hal itu adalah wajib. Dan ini adalah syariat Islam bagi yang menganut pendapat ini. Jadi sungguh terlalu jika ada yang menyatakan bahwa cadar adalah semata-mata budaya Arab, meskipun yang menyatakannya adalah orang-orang yang bergelar profesor di lingkungan akademisi Islam kelas berat sekalipun.
Kategori terakhir dari empat macam aurat ini adalah aurat perempuan merdeka maupun sahaya di depan para mahramnya, yaitu bagian tubuh antara pusar dan lutut. Dengan ketentuan terakhir ini, maka seorang perempuan boleh menyusui, misalnya, di depan adik kandungnya, ayah kandungnya, mertuanya, dan sebagainya yang masih termasuk mahram.

Keterangan di dalam Kitab Safinatun Najah tentang empat jenis aurat. (Dok. Shofhi Amhar)
Sumber Bacaan:
Fathul Qarîbil Mujîbi fî Syarhi Alfâzhit Taqrîb karya Syaikh Syamsuddin al-Ghazzi. Bisa diunduh di riyadhalelm.com.
Safînatun Najâh karya Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami. Bisa diunduh di feqhup.com.
lppmnusa.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar