Selasa, Desember 23, 2008

Teori Evolusi dan Rekayasa Sosial

Teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin konon merupakan teori sentral bagi arus utama sains kealaman yang berbicara tentang makhluk hidup (biologi) saat ini. Beberapa pelaku sejarah bahkan menjadikannya dasar –atau sekedar legitimasi- bagi proses perubahan sosial yang menurut ideal mereka harus dilakukan. Sebut saja nama-nama seperti Marx dan Hegel (serta seluruh cabang dari aliran Sosialisme-Ilmiah), Hitler (penggagas ideologi sosialisme-nasionalis).


Namun, terdapat cukup alasan paradigmatis bagi seorang Muslim seperti saya untuk tidak menggunakan mekanisme evolusi sebagai asas rekayasa sosial, baik teori evolusi tersebut mengandaikan keberadaan Pencipta, apalagi menafikannya.

Demikian, tulisan ini mencoba berbicara secara sekilas tentang teori evolusi, pandangan para saintis terhadapnya, konsekuensinya terhadap ide ketuhanan, peluangnya dikonversi ke dalam kancah ilmu sosial sebagai landasan rekayasa sosial, sampai pada perbincangan mengenai kebangkitan..

1.

Adi Setia, seorang peneliti di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)-IIUM menyebutkan tidak kurang dari sepuluh tokoh sains dari berbagai disiplin ilmu yang melontarkan kritik tajam terhadap teori evolusi dalam sebuah tulisan bertajuk Kritik Sains Terhadap Evolusi Darwin yang dimuat pada Majalah ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425. Ada nama Michael Behe (Profesor Madya dalam bidang biokimia di Universitas Lehigh), W.R. Thompson, L. Harrison Matthews (keduanya adalah ahli biologi), Phillip E. Johnson (pakar bidang kajian logika argumentasi, profesor hukum Universitas California, Bakeley), Karl Popper (filosof sains). Orang yang disebut terakhir ini menyifatkan teori evolusi sebagai teori yang tidak saintifik, karena bersifat tautologi dan ungkapannya terlalu umum sehingga bisa diputarbalikkan untuk menerangkan semua fenomena biologi, padahal teori itu tidak menerangkan apapun. Dan masih banyak tokoh sains lain yang teori-teorinya secara telak menggugurkan teori evolusi, termasuk pelopor psikologi dan lingusitik kognitif, Noam Chomsky.

Di Eropa sendiri, saat ini teori evolusi mendapat tantangan yang nyata dari para saintis penganut teori ‘Rancangan Cerdas’. Situs www.hidayatullah.com menyediakan kolom khusus ‘Teori Evolusi Menanti Ajal’ untuk mewadahi perkembangan informasi isu ini. Eropa sedang hangat berdebat mengenai keabsahan teori evolusi.

Kesimpulan minimalnya, bahwa teori evolusi masih dalam perdebatan ketimbang ‘telah dapat dibuktikan dan tidak lagi perlu bukti lebih lanjut’.

2.

Arus utama teori evolusi mengklaim bahwa semua jenis kehidupan yang ada sekarang telah berkembang secara bertahap dari beberapa organisme yang sederhana, malah mungkin juga dari satu organisma sederhana saja, melalui proses pemilihan alami atau penurunan dengan pemodifikasian. Proses perkembangan mendatar dari bibit yang alami itu dianggap muncul dari bahan-bahan galian dan kimia yang tidak hidup. Malah bibit hidup yang alami itu dianggap muncul dai bahan-bahan galian dan kimia yang tidak hidup. (Islamia, thn 1 No.1/Muharram 1425, hal.70)

Dengan kata lain, pemikiran evolusionis mainstream mengandaikan ketiadaan Pencipta; sebuah kesimpulan yang sama sekali ngawur dengan bebagai bukti yang meyakinkan. (Bukti-bukti tentang kelemahan ateisme berbalut evolusionis akan dikemukakan pada kesempatan lain apabila diperlukan).

Untuk lebih meingkas jalan menuju pembahasan pokok ‘rekayasa sosial’, poin selanjutnya akan meninggalkan sama sekali pengandaian evolusionis mainstream tentang qadimnya alam itu.

3.

Informasi yang didapatkan (salah satunya) dari Syaikh Nadim al-Jisr, dalam buku Para Pencari Tuhan, bahwa Charles Darwin sendiri bukan seorang ateis. Bahkan Hitler, di beberapa tempat dalam bukunya Mein Kampf, sering menyebut-nyebut tentang Tuhan (tentu dalam kadar yang tidak melampaui kosep Tuhan dalam Barat; meski orang-orang telah mafhum Hitler sebenarnya musuh bagi agama). Ketika menyifati Yahudi–bangsa manusia yang amat dibencinya–, misalnya, Hitler menyebut “Keseluruhan eksistensi mereka adalah sebuah perwujudan proses melawan estetika imaji Tuhan”. Sebuah kolom di harian Kedaulatan Rakyat beberapa tahun yang lalu mengabarkan bagaimana seorang Hitler mempercayai klenik dengan memiliki tongkat yang dipercaya pernah digunakan untuk membunuh Yesus serta –seperti halnya George W. Bush pada masa ini- pernah dengan sengaja melabeli crusade sebagai penyemangat bala tentara untuk perang.

Nah, taruhlah teori evolusi adalah valid serta tidak memiliki konsekuensi penafian wujud Pencipta. Namun, abhsahkah yang dilakukan Adolf Hitler (dan dengan kadar yang lebih ringan, Marx dan Engels) dengan menyulapnya menjadi dasar rekayasa sosial? Inilah pertanyaan paling penting dalam bahasan ini.

4.
Manusia, meskipun bagian dari alam, namun mereka memiliki keistimewaan berupa akal. Manusia memiliki hukum-hukum khusus yang berbeda dengan alam secara umum, maupun hewan-hewan. Manusia dapat memilih melakukan banyak hal dan meninggalkannya dengan bebas.

Aktivitas manusia, selain didorong oleh naluri-naluri dan kebutuhan pokok tertentu, juga dipengaruhi oleh pemikirannya. Berbeda sama sekali dengan hewan yang hanya bergerak sesuai dengan dorongan naluri dan kebutuhan jasmani. Hal ini menjadikan interaksi antar-manusia juga berkaitan dengan interaksi-pemikiran antar-mereka. Keunikan manusia dalam interaksinya ini tidak sesederhana interaksi hewan-hewan yang bergerak dengan dorongan naluri dan kebutuhan jasmani.

Karenanya, fatal jika menerapkan teori evolusi –yang mengkaji benda-benda mati yang pasif dan hewan-hewan yang beraktivitas monoton- untuk mengatur tata kehidupan manusia.

Fatal misalnya, jika karena pada kenyataannya makhluk hidup adalah bertingkat-tingkat, maka yang kuat wajib melenyapkan yang lemah. Sebab hal itu berarti mengingkari keistimewaan manusia yang punya akal. Ketika pelenyapan sebuah elemen dalam masyarakat tidak didasari pada pandangan dunia melalui proses berpikir mendasar yang benar, itu sama artinya berlipat-lipat mengingkari mematikan kemuliaan manusia.

Sedikit meloncat, dalam Islam, sebuah pertarungan (baik secara ide maupun –dalam kondisi yang memaksa untuk itu, sebagai jalan terakhir: fisik) tidak didasarkan pada kategori primordial berdasarkan ras yang di sana manusia sama sekali tidak bisa memilih, melainkan didasarkan pada kategori haqq dan bâthil; sebuah kategori yang memberikan kesempatan kepada manusia untuk mempergunakan potensi kemuliaannya.

6.

Kebangkitan manusia diawali dari pemikiran. Pemikiran itu didapat dari proses ‘aqlî dalam usahanya menjawab pertanyaan-pertanyaan asasi yang sejatinya selalu muncul dalam benak setiap orang baik disadarinya atau tidak. Pertanyaan itu menyangkut eksistensi dirinya dan wujud yang ada sebelum dan sesudahnya. Secara sederhana dirumuskan dalam tiga pertanyaan: dari mana, untuk apa, dan mau ke mana seluruh eksistensi yang ada di dunia ini?

Untuk mengalami kebangkitan, suatu bangsa tidak memerlukan penerjemahan fenomena alam untuk dijadikan tata sosial. Yang mereka perlukan hanyalah kepemimpinan berpikir. Dan dari sedikit pandangan hidup yang mampu menjawab tiga soal asasi dan sekaligus menjadi kepemimpinan berpikir suatu bangsa, manusia hendaknya memilih satu-satunya yang haqq: Islam.

Referensi:

Adolf Hitler. Mein Kampf. Jakarta: Narasi, 2007

Adi Setia. Kritik Sains Terhadap Teori Evolusi Darwin. Majalah ISLAMIA Thn I, No. 1 Muharram 1425/Maret 2004

Ghanim Abduh. Kritik Atas Sosialisme-Marxisme. Bangil: Al-Izzah, 2003.

Syaikh Nadim al-Jisr. Para Pencari Tuhan; Dialog Alquran, Filsafat, dan Sains dalam Bingkai Keimanan. Bandung, Pustaka Hidayah: 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar