Selasa, Desember 23, 2008

Ibrâhim Menjadi Nabi Jika Tak Mati? (Bantahan Terhadap Salah Satu Argumentasi Ahmadiyah Tentang Adanya Nabi Setelah Muhammad)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ شَبِيبٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا وَلَوْ عَاشَ لَعَتَقَتْ أَخْوَالُهُ الْقِبْطُ وَمَا اسْتُرِقَّ قِبْطِيّ
(رواه ابن ماجه في سننه; الكتاب ما جاء في الجنازة; الباب ما داء في الصلاة في ابن رسول الله وذكر وفاته)

‘Abd al-Quddûs bin Muhammad memberi tahu kami, Dâwud bin Syabîb al-Bahîlî memberi tahu kami, Ibrâhîm bin ‘Utsmân memberi tahu kami, al-Hakam bin ‘Utaybah memberi tahu kami, dari Miqsam, dari Ibnu ‘Abbâs, ia berkata: ketika Ibrâhîm putra Rasulûllâh shallâllahu ‘alayhi wa sallam meninggal, beliau mensalatkannya dan bersabda: “Sesungguhnya ada yang menyusuinya di surga. Seandainya ia hidup, pastilah ia menjadi seorang Nabi yang shiddîq. Seadainya ia hidup, ia tentu akan memerdekakan paman-pamannya di Qibthî dan orang-orang Qibthî tidak akan diperbudak lagi.”
(HR. Ibnu Mâjah)

Derajat Hadis


Hadis ini lemah. Di dalam sanadnya terdapat Ibrâhîm bin ‘Utsmân yang banyak di-jarh oleh para ulama. Al-Bukhârî mendiamkannya. Abû Dâwûd men-jarh-nya sebagai dha’îf al-hadîts, Yahyâ bin Ma’în menyatakan ia bukan seorang yang tsiqah, bahkan al-Tirmîdzî menganggapnya munkar al-hadîts. Ahmad bin Hanbal melemahkannya juga. Meskipun demikian, banyak hadis dari jalur lain yang senada dengan ini dengan rawi-rawi tidak bermasalah. Sebagian akan disebutkan kemudian.

Kandungan Hadis

Sebagaimana diketahui, tak seorang pun anak laki-laki Nabi yang hidup sampai dewasa. Di antara sekian banyak putra Nabi, yang sempat menyaksikan beliau meninggal hanya Fâthimah, yang kemudian diperistri oleh ‘Alî radhiyallâhhhu ‘anhumâ.

Hadis di atas bercerita tentang Ibrâhîm, salah seorang putra Nabi yang juga meninggal saat masih bayi, tepatnya ketika berumur delapan belas bulan sebagaimana keterangan Umm al-Mu`minîn ‘Â`isyah radhiyallâhu ‘anhâ. Dalam hadis ini dan juga hadis lain yang sahih, dinyatakan bahwa Nabi mensalati Ibrâhîm. Hal ini berbeda dengan keterangan Umm al-Mu`minîn ‘Â`isyah yang menyatakan Nabi tidak mensalatinya. Ibrâhîm sendiri adalah putra Nabi dari budak perempuan beliau yang bernama Mariyah al-Qibthiyah.

Selain sanadnya lemah, hadis ini menjadi kontroversial karena matannya seolah-olah tidak mendukung status Nabi Muhammad shallâllâhu ‘alayhi wa sallam sebagai penutup para Nabi. Sebab, berkenaan dengan putranya tersebut, Nabi bersabda: “Seandainya ia hidup, pastilah ia menjadi seorang Nabi yang shiddîq.” Kontroversi inilah yang akan dibahas lebih jauh dalam kesempatan ini.

Komentar al-Nawawî dan Ibnu ‘Abd al-Barr

Al-Nawâwî dan Ibnu ‘Abd al-Barr, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî, memberikan komentar negatif terhdap hadis ini. Al-Nawawî dalam Tahdzîb al-Asmâ` menyatakan: “Adapun apa yang diriwayatkan oleh sebagian kalangan mutaqaddimîn: 'seandainya Ibrâhîm hidup, ia akan menjadi Nabi'; maka hal ini batil.” Lebih jauh, al-Nawawî menyatakan bahwa itu merupakan perkataan yang terlalu berani mengenai perkara yang gaib, serta kelancangan dan kecerobohan dalam melakukan kesalahan besar. Ulama sebelumnya, Ibnu ‘Abd al-Barr, mengungkapkan pernyataan yang hampir sama.

Komentar Ibnu Hajar

Ibnu Hajar menyatakan tidak tahu apa yang membuat al-Nawawî mengeluarkan pernyataan semacam itu. Yang jelas, ada rawi lain yang lebih baik selain Ibrâhîm yang meriwayatkan hadis yang seperti ini. Hadis yang memiliki kesamaan redaksi misalnya dikeluarkan oleh Imâm Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ السُّدِّيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ لَوْ عَاشَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا

‘Abd al-Rahmân bin Mahdî memberi tahu kami, Sufyân memberi tahu kami, dari al-Siddî, ia berkata: saya mendengar Anas bin Mâlik berkata: seandainya Ibrâhîm putra Nabi shallâllâhu ‘alayhi wa sallam hidup, ia akan menjadi Nabi yang shiddîq.

Perlu dijelaskan bahwa satu-satunya hadis yang menyandarkan perkataan tentang Ibrâhîm itu kepada Nabi adalah riwayat Ibnu Mâjah. Padahal riwayat ini lemah. Sedangkan hadis yang lain terhenti pada sahabat, sehingga statusnya mawqûf, tidak marfû’. Namun demikian, perkataan semacam ini tidak mungkin dikatakan oleh sahabat berdasarkan akal, sehingga pasti merupakan informasi dari Nabi. Hal demikian ini dalam ilmu hadis disebut marfû’ ma’nawî.

Ada Nabi Setelah Muhammad?


Ada sebagian kalangan yang murtad dari Islam menjadikan hadis riwayat Ibnu Mâjah ini sebagai dalih untuk mendukung keyakinan mereka tentang kemungkinan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad.Salah seorang di antara mereka menyatakan:

Di waktu Ibrahim, anak Rasulullah wafat, maka Rasulullah berkata: “Jika hidup dia (Ibrahim), tentu dia menjadi Nabi yang sangat benar”.

Ini hadist menunjukkan, bahwa ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w. kalau sekiranya tidak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w. tentu Nabi Muhammad tidak akan berkata begitu, hanya mesti berkata: “Sekalipun Ibrahim hidup, tentu dia tidak akan menjadi Nabi, sebab tidak ada lagi Nabi sesudah aku”.

Pernyataan di atas dikeluarkan oleh Abu Bakar Ayub, salah satu wakil Qadiyani, dalam sebuah debat dengan Pembela Islam yang diwakili oleh A. Hassan pada tanggal 28 September 1933.

Pernyataan semacam ini jelas tertolak. Kata law dalam hadis itu merupakan bentuk jumlah syarthiyyah. Suatu berita yang disampaikan dalam bentuk jumlah syarthiyyah pada kenyataannya tidak harus terjadi. A. Hassan menyatakan:

“Telah berkata bukan seorang saja dari ahli ilmu, bahwa perkataan yang pakai kalimah ‘kalau’ itu tidak mesti kejadian.”

Dengan demikian, meskipun dinyatakan ‘seandainya Ibrâhîm hidup, ia akan menjadi Nabi’, belum tentu ia menjadi Nabi jika ia hidup. Bahkan hal itu malah tidak mungkin, sebab Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Demikianlah pemahaman yang benar.

Apalagi jika hadis tersebut dipahami bersama hadis lain yang senada. Pemahaman yang benar akan menunjukkan bahwa yang dimaksud sama sekali bukan seperti yang diinginkan kelompok yang mengakui ada Nabi lain setelah Nabi Muhammad. Justru sebaliknya, hadis ini malah mempertegas status Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir.

Redaksi hadis berkenaan dengan hal ini tidak hanya satu, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dan Imâm Ahmad di atas saja. Misalnya riwayat Imâm al-Bukhârî:

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قُلْتُ لِابْنِ أَبِي أَوْفَى رَأَيْتَ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَاتَ صَغِيرًا وَلَوْ قُضِيَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيٌّ عَاشَ ابْنُهُ وَلَكِنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ

Ibnu Numayr memberi tahu kami, Muhammad bin Bisyr memberi tahu kami, Ismâ’îl memberi tahu kami: saya bertanya kepada Ibnu Abî Awfâ: apakah Anda sempat melihat Ibrâhîm putra Nabi shallâllâhu ‘alayhi wa sallam? Ibnu Abî Awfâ berkata: Ia meninggal waktu kecil. Seandainya ditakdirkan akan ada Nabi setelah Muhammad shallâllâhu ‘alayhi wa sallam, niscaya putra beliau hidup. Tetapi tidak ada Nabi setelahnya.
(HR. al-Bukhârî)

Hadis di atas jelas lebih tepat dipahami sebagai penguat status Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir. Hadis ini harus dipahami bahwa Nabi Muhammad ditetapkan sebagai Nabi terakhir, sehingga untuk ‘menjamin’ ketetapan ini, Ibrâhîm ditakdirkan meninggal ketika ia masih bayi. Jika demikian, lalu dengan alasan apa ada orang selain Ibrâhîm, seperti Mirza Ghulam Ahmad, dll –seandainya pun memiliki kesamaan ‘potensi’ jadi Nabi seperti Ibrâhîm- tetap hidup sampai dewasa? Berdasarkan hadis ini, seharusnya ia meninggal sebelum balig!

Lagi pula, menurut al-‘Allâmah al-Alûsî, hadis tentang ‘kenabian’ itu khusus ditujukan kepada Ibrâhîm. Itu sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya. Hal yang mirip dengan hadis ini juga pernah disampaikan sebagai pemuliaan untuk ‘Umar dan ‘Alî radhiyallâhu ‘anhumâ. Jadi, tidak ada alasan untuk menjadikannya sebagai dalih adanya Nabi setelah Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam.

Billâhi fî Sabîl al-Haqq. Fa mâdzâ ba’da al-Haqqi llâ al-Dhalâl?

Bantul, Jumâdî al-Tsâniyah 1428 H

Al-Faqîr li maghfirati Rabbihi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar