Hukum Asal Air adalah Suci
2/2
– وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ
لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ». أَخْرَجَهُ الثَّلاَثَةُ, وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ.
Kosa
Kata
عَنْ
|
رَضِيَ
|
أَبِيْ (أَبُوْ)
|
صَحَّحَ
|
وَ
|
Dari
|
(Dia telah) meridoi
|
Bapaknya …
|
Mensahihkan
|
Dan
|
طَهُوْر
|
المَاء
|
رَسُوْل
|
قال
|
هُِ/ـهُِ
|
Sangat suci
|
Air
|
Utusan
|
(Dia telah) berkata
|
-nya
|
الثَّلاَثَةُ
|
أَخْرَجَ
|
شَيْء
|
يُنَجِّس
|
لا
|
(yang) tiga
|
Merilis/mengeluarkan
|
Sesuatu
|
Menajiskan
|
Tidak
|
Penjelasan Sanad
01. Abû
Sa’îd adalah Sa’d ibn Mâlik ibn Sinân al-Khudrî al-Anshârî al-Khazrajî. Mengikuti 12
peperangan bersama Nabi. Perang perdana yang diikutinya adalah perang Khandaq
pada tahun 5 H. Sebelumnya ia masih kecil. Ia banyak memiliki hafalan ilmu dari
Nabi, serta termasuk ulama dan pemuka kalangan Anshâr. Wafat pada tahun 73 H
dan dimakamkan di pemakaman Baqî’. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 29)
02. Beliau
adalah seorang Sahabat Nabi. Sa’îd ibn al-Musayyab menyatakan bahwa
Sahabat Nabi adalah orang yang bersahabat dengan beliau selama satu atau dua
tahun atau pernah berperang bersama beliau sebanyak satu atau dua kali
peperangan. (asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz` al-Awwal, hlm. 324)
03. Hadis
ini di-takhrîj (dirilis) oleh ats-Tsalâtsah (Tiga).
Maksudnya adalah Abû Dâwud, at-Tirmidzî, dan an-Nasâ`î. [Istilah yang dipakai
oleh Ibnu Hajar dalam kitab kitab Bulûghul Marâm adalah sebagai
berikut: as-Sab’ah (Tujuh) adalah Ahmad, al-Bukhârî, Muslim, Abû
Dâwûd, Ibnu Mâjah, at-Tirmidzî, dan an-Nasâ`î). As-Sittah (Enam) adalah
mereka (yang tersebut) kecuali Ahmad. Al-Khamsah adalah mereka
(yang tersebut) kecuali al-Bukhârî dan Muslim—terkadang dikatakan al-Arba’ah
wa Ahmad (Empat dan Ahmad). Al-Arba’ah (Empat) adalah mereka
(yang tersebut) selain tiga Imam yang pertama. Ats-Tsalâtsah adalah
mereka (yang tersebut) selain tiga yang pertama dan satu yang terakhir. Muttafaq
‘alaihi (Disepakati) adalah al-Bukhârî dan Muslim; kadang-kadang rawi lain
tidak disebut jika sudah disebut keduanya. Adapun rawi selain itu akan
ditegaskan nama rawinya.] (Lihat Bulûgh al-Marâm, hlm. 9-10; Tarjamah
Bulughul Maram, hlm. 28). Hadis ini juga di-takhrîj oleh Imam Ahmad.
04. Salah
satu jalur sanad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ
كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَقَالَ
أَبُو أُسَامَةَ مَرَّةً عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعِ
بْنِ خَدِيجٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَوَضَّأُ
مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَالنَّتْنُ وَلُحُومُ
الْكِلَابِ قَالَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
05. Abû
Usâmah adalah Hammâd ibn Usâmah. Al-Walîd ibn Katsîr adalah al-Makhzûmî
(dari suku Makhzûm). Sedangkan Muhammad ibn Ka’b adalah al-Qurazhî (dari
suku Quraizhah). ‘Ubaidullâh ibn ‘Abdirrahmân ibn Râfi’ dinyatakan majhûl
(tidak dikenal) oleh Ibnu Mandah. Di dalam kitab Taqrîb at-Tahdzîb, al-Hâfizh
Ibnu Hajar menyatakan: Mastûr, sedangkan rijâl yang lain tsiqât,
tergolong rijâl-nya syaikhain. Ibnu Hibbân menyebutkan
biografinya (‘Ubaidullâh) di dalam kitab ats-Tsiqât, sebagai berikut:
[ 3904 ] عبيد
الله بن عبد الله بن رافع بن خديج يروى عن أبيه روى عنه سليط بن أبي أيوب مات سنة إحدى
عشرة ومائة وهو بن خمس وثمانين سنة وكنيته أبو الفضل
06. Al-Mizzî
menukil dari Imam Ahmad, bahwa beliau mensahihkannya. Ibnu Hajar menambahkan
bahwa hadis ini disahihkan pula oleh Yahyâ ibn Sa’îd dan Abû Muhammad
ibn Hazm. At-Tirmidzî mengatakan: Abû Usâmah membawakan hadis ini
dengan (sanad) paling baik. Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadis tentang
sumur Budhâ’ah dari Abû Sa’îd yang lebih baik dari Abû Usâmah. Padahal hadis
ini diriwayatkan tidak hanya dari satu jalur dari Abû Sa’îd. Menurut at-Tirmidzî,
hadis ini sahih; derajatnya tidak jatuh karena pencacatan seorang periwayatnya.
(Minhatul ‘Allâm, hlm. 30)
Penjelasan Matan
07. Huruf
ال dalam
kalimat الماء طهور berfaidah
lil istighrâq ‘alâ al-azhhar (mencakup sebagian besar). (Minhatul
‘Allâm, hlm. 31). Dengan demikian, maknanya adalah setiap air adalah
sangat suci. Istilah thahûr dalam dalam istilah ahli fikih dimaknai
sebagai thâhir muthahhir (suci lagi menyucikan—bisa digunakan untuk
bersuci).
08. Kata
شيء dalam
frasa لا ينجسه شيء adalah
isim nakirah (kata benda indefinitive). Isim nakirah dalam
bentuk kalimat negatif (nafî) bermakna umum, sehingga bermakna segala
sesuatu. Frasa لا ينجسه شيء dengan demikian bermakna: Tidak
dinajiskan oleh segala sesuatu. Zhâhir-nya, hadis ini bermakna bahwa air
itu tidak menjadi najis dengan bercampurnya sesuatu apapun ke dalamnya, baik
sesuatu itu sedikit ataupun banyak, juga meskipun sifat-sifatnya berubah. (Minhatul
‘Allâm, hlm. 31)
09. Akan
tetapi, keumuman makna tersebut di-takhshîsh. Imam an-Nawawî mengatakan:
Ketahuilah bahwa hadis sumur Budhâ’ah itu umum yang menerima takhshîsh. Di-takhshîsh
darinya, air yang berubah karena najis, maka ia najis berdasarkan Ijmâ’.
Di-takhshîsh pula darinya, air (yang banyaknya) di bawah dua qullah
jika bercampur dengan najis. Maka yang dimaksud (dengan Air dalam hadis ini)
adalah air yang banyak yang sifatnya tidak berubah karena najis tidaklah dinajiskan
oleh sesuatu pun. Demikianlah sifat sumur Budhâ’ah. Wallâhu A’lam. (Minhatul
‘Allâm, hlm. 31). Kiai Hassan Bandung menyatakan: Hadits ke 2 (yaitu
hadis ini, pen.) muthlaq atau tidak terbatas, ya’ni, air pembersih yang di
dalam satu bijana, umpamnya, tidak bisa najis walaupun dicampur dengan
sebanyak-banyaknya kencing atau tahi, umpamanya. Yang demikian ini tidak bisa
jadi, bahkan perlu ada pembatasnya. (Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 30)
10. Hadis
ini termasuk jawâmi’ul kalim[], karena menunjukkan bahwa seluruh
air, seperti air laut, air sungai, air sumur, air hujan, adalah suci dan tidak
dapat dinajisi oleh sesuatu pun. Ini adalah hukum asal air, yaitu suci, sampai
diketahui najisnya. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 31). [Dalam sebuah
hadis yang antara lain dinyatakan oleh Imam al-Bukhârî, Nabi bersabda bahwa
beliau diutus dengan jawâmi’ul kalim. Maksudnya bahwa terdapat makna
yang kaya di dalam sabda beliau yang sedikit. (Fathul Bârî, (6/165)—al-Maktabah
asy-Syâmilah)]
11. Ayat-ayat
yang relevan dengan tema air antara lain surat al-Furqân: 38 dan al-Mu`minûn:
18.
Daftar Pustaka
‘Abdullâh ibn Shâlih al-Fauzân. Minhatul
‘Allâm fî Syarh Bulûgh al-Marâm. Juz 1. Dâr Ibn al-Jauzî, Damâm,
1427.
A. Hassan. Tarjamah Bulughul Maram. Penerbit
Diponegoro Bandung, 2011.
Abû Hâtim Muhammad
Ibnu Hibbân Ibn Ahmad at-Tamîmî al-Bustî. Ats-Tsiqât.
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî. Fathul
Bârî [al-Maktabah asy-Syâmilah]. http://www.al-islam.com
__________________. Bulûghul
Marâm min Adillah al-Ahkâm. Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Jakarta.
Taqyuddîn an-Nabhânî. Asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah al-Juz` al-Awwal. Dârul Ummah, Beirut – Lubnân, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar