Minggu, Oktober 20, 2013

SAINS VS AGAMA; Dunia Sekuler selalu mempertentangankannya

SAINS VS AGAMA; Dunia Sekuler selalu mempertentangankannya.


Ada yang menarik perhatian saya hari ini. Seperti pada kuliah tadi, di dalam dua artikel yang saya baca barusan juga ditemukan persoalan ketidakjelasan definisi. Di situs ini, ada dua artikel dari dua orang Doktor (Dr. Wendi Zarman dan Dr. Ioanes Rakhmat). Doktor pertama (pegiat proyek Islamisasi Sains) tampaknya memang belum begitu gamblang dalam mengungkapkan konsepnya. Beliau juga tidak mengemukakan definisi sains yang dimaksudkannya. Adapun Doktor kedua (aktivis Kristen Liberal, mantan pendeta), tampak gegabah melakukan kritik tanpa memahami apa yang dikritiknya. Semua itu berawal dari ketidakselarasan istilah Sains yang digunakan keduanya.

KamusBesar Bahasa Indonesia versi daring menyediakan tiga makna untuk sains, sebagai berikut:

1 ilmu pengetahuan pd umumnya; 2 pengetahuan sistematis tt alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dsb; ilmu pengetahuan alam; 3 pengetahuan sistematis yg diperoleh dr sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yg mengarah pd penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yg sedang diselidiki, dipelajari, dsb.

Jika yang dimaksudkan Dr. Wendi adalah arti pertama, maka kritikan Dr. Iones sebetulnya tidak tepat benar dan terlihat terlalu percaya diri dalam menyampaikan kritik sebelum jelas konsep pihak yang dikritiknya. Padahal, arti pertama inilah yang tampaknya sedang dipaparkan Dr. Wendi. Jika demikian, proyek Islamisasi Sains adalah wajar adanya, karena ajaran Islam juga mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.

Sayangnya, Dr. Wendi tidak menyebut contoh-contoh yang memadai. Beliau hanya menyebutkan contoh (a) “pesawat Islam, komputer Islam, dan teknologi berlabel Islam”, (b) “sains yang dimulai dengan bismillah”, serta (c) “mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penemuan sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap hal tersebut”, -yang sebenarnya merupakan sebagian suara miring dari para pengkritik Islamisasi Sains- dan mengomentarinya dengan menyatakan: “meskipun sebagian dari yang disebut di atas termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan dengan olok-olok maka semua hal tersebut terdengar menggelikan”, tanpa menunjukkan mana yang termasuk ke dalam cakupan proyek Islamisasi Sains ini. Padahal, pernyataan beliau: [sebagian ... termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri] menunjukkan bahwa sebagian lain dari contoh tersebut tidak termasuk.

Kalau boleh nglancangi, saya ingin memposisikan tiga poin (a), (b), dan (c), dalam kacamata Islamisasi Sains (dengan pengertian sains adalah ilmu pengetahuan pada umumnya). Contoh-contoh yang dikemukakan tersebut dalam Islamisasi Sains berposisi sebagai berikut:

Poin (a) saya sangsi bahwa contoh seperti ini yang sedang diusung para pegiat Islamisasi Sains. Saya berharap, ini tidak termasuk bidang garap yang dikehendaki oleh para pengusung Islamisasi Sains dalam mazhab apapun. Saya menduga itu hanya olok-olokan murni dari para pengkritik gagasan ini, sebagai kritik membuta. Kritik membuta tidak terlalu penting ditanggapi.

Poin (b) “sains yang dimulai dengan bismillah”, mungkin maksudnya, sains yang proses penelitian dan penemuannya diawali dengan mengucapkan bismillah (secara harfiah) atau bisa juga penelitian itu dimaksudkan untuk menyibak keagungan Allah, memberi kemaslahatan pada manusia dengan berbagai penemuan teknologi untuk lebih berbakti kepada Allah, dan sebagainya (sebagaimana spirit yang bisa diambil dari wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad, yang bermakna: Bacalah dengan Nama Rabbmu yang menciptakan!). Dengan maksud seperti ini, maka apa yang dipersilakan oleh Dr. Ioanes “umat Islam memakai astronomi untuk keperluan menentukan waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, dst” yang disebutnya sebagai “moral Islam dalam pemanfaatan sains” tentu saja termasuk Islamisasi Sains, karena memang Islam mengajarkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana menentukan waktu ibadah, menghitung warisan, dan lain-lain. Dalam dunia pemikiran, ini masuk ke dalam diskursus aksiologi.

Poin (c) ini pembahasannya agak panjang. Sepertinya empat seri terjemahan kang Irfan Habibie Martanegara (dari http://www.hamzatzortzis.com/essays-articles/exploring-the-quran/does-the-quran-contain-scientific-miracles-a-new-approach/) berikut ini cukup relevan:



Ini jika yang dimaksudkan oleh Dr. Wendi sebagai sains adalah ilmu pengetahuan pada umumnya. Dan tampaknya inilah yang memang beliau maksudkan, dengan bukti pernyataan:

Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam” dst.

Jadi, Islamisasi Sains yang dimaksud bukan sekedar makna kedua dan ketiga dari definisi sains menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, melainkan juga berbicara dalam tataran filosofis. Cocok dengan arti sains yang pertama, yaitu ilmu pengetahuan pada umumnya.

Mafhûm ‘anil Asyyâ dan Mafhûm ‘anil Hayâh

Kini kita beralih pada makna sains yang kedua, yaitu pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dsb atau singkatnya disebut ilmu pengetahuan alam. Tampaknya, dengan bermodal arti sains seperti inilah, Dr. Ioanes menanggapi artikel Dr. Wendi. Perhatikan pernyataannya berikut ini:

Yang ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur Islam, ilmu kedokteran Islam, dll, apakah akan bisa ada dlm dunia ini? Misalnya, menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat, sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat.

Jika seperti itu yang diinginkan, maka keinginan Dr. Ioanes tidak akan pernah terwujud. Seorang muslim paling brilian sekalipun tidak akan pernah bisa menemukan sudut siku-siku yang bukan 90 derajat, sudut lingkaran 357 derajat, dan sebagainya. Dan memangnya para pegiat Islamisasi Sains ada yang berpikir hendak melakukannya? Kalau ada, saya pribadi termasuk yang menyayangkannya, dan termasuk yang akan menolaknya. Ilmu alam seperti ini berkaitan dengan mafhûm ‘anil asyyâ`, bukan mafhûm ‘anil hayâh, sehingga standar validitasnya adalah ketepatannya dengan fakta itu sendiri dan tidak harus melibatkan penggalian dalil-dalil qawliyah yang diakui oleh Islam, melainkan cukup dengan dalil-dalil ilmiah yang ditemukan di alam.

Ustadz Mahmud Abdul Karim Hasan dalam Metode Perubahan Sosial Politik (judul asli: at-Taghayyur Hatmiyyah ad-Dawlah al-Islâmiyyah, http://www.4shared.com/get/zCXgMFu2/___.html) menyatakan sebagai berikut:

“Pemahaman itu ada dua macam: Pertama, pemahaman akan sesuatu (mafâhîm ‘anil asyyâ`), yaitu qanâ’ât (penerimaan dengan puas) atas hukum-hukum yang bersumber dari sesuatu itu sendiri. Seperti kita yang mengatakan: Api itu bisa membakar, racun itu membunuh, dan minuman keras itu memabukkan, atau daging dapat dimakan dan tanah tidak dapat dimakan. Atau banyak tekanan akan melahirkan ledakan atau bahwa masyarakat merupakan sekumpulan orang yang terikat oleh interaksi mereka terus-menerus. Atau kebangkitan tidak akan terwujud kecuali dengan pemikiran yang cemerlang. Pemikiran-pemikiran jenis ini sifat-sifat dan hukumnya bersumber dari (realita) objeknya. Hal itu bisa benar dan bisa juga salah, tergantung sesuai atau tidak dengan realita sesuatu itu. Dalam berbagai keadaan, pemikiran itu akan menjadi mafâhîm (pemahaman-pemahaman) bagi orang yang membenarkannya. Perbuatan-perbuatan manusia itu terikat dengan pemahamannya akan sesuatu. Orang yang yakin bahwa makanannya beracun, ia tidak akan menyentuhnya sekalipun ia lapar. Orang yang haus akan mencari air, bukannya yang lain. Orang yang ingin mabuk akan mencaru khamr, bukannya yang lain.

Kedua, pemahaman akan kehidupan (mafâhîm ‘anil hayâh), yaitu qanâ’ât atau hukum-hukum yang bersumber dari luar sesuatu yang dibahas. Seperti kita mengatakan bahwa shalat itu wajib, penipuan itu haram, khamr itu haram, pembunuhan itu haram, dan sebagainya. Hukum-hukum itu bukan bersumber dari sesuatu atau perbuatan itu sendiri (bukan bersumber dari shalat, penipuan, khamr, pembunuhan, dsb.) sesuatu atau perbuatan itu sendiri hanyalah merupakan objek pembahasan atau fakta yang dihukumi. Sedangkan sumber hukumnya (mashâdir al-hukm) adalah sesuatu yang lain.

Pernyataan kita bahwa minuman keras (khamr) itu memabukkan adalah sifat atau karakteristik khamr itu sendiri. Itu merupakan hukum atas sesuatu itu sendiri sesuai dengan realitasnya. Sedangkan pernyataan kita bahwa khamr itu haram, merupakan hukum atas sesuatu di mana hukumnya berasal dari Allah, pihak yang berwenang menjadikan sesuatu itu haram ataukah halal.

Perbuatan manusia terikat pula dengan pemahamannya akan kehidupan. Jika pemahamannya atas sesuatu mengatakan bahwa daging babi bisa dimakan dan bisa menghilangkan rasa lapar, maka itu berarti pemahaman atas sesuatu sesuai realitasnya (mafhûm ‘anil asyyâ`). Sedang pemahamannya akan kehidupan (mafhûm ‘anil hayâh) mengatakan bahwa daging babi haram untuk dimakan, yakni wajib dijauhi. Orang yang memahami hukum tersebut dan ia membenarkannya, maka itu akan menjadi pemahaman bagi dirinya yang tentu akan mempengaruhi perbuatannya, yaitu akan mencegahnya menghilangkan rasa lapar dengan daging babi.

Jika seseorang memiliki pemahaman bahwa patung atau berhala berpengaruh terhadap keamanannya , rizki, dan nasib baiknya; atau bahwa orang yang telah meninggal memiliki pengaruh terhadap dirinya, maka ia akan diliputi perasaan takut, khusyu’ terhadap berhala dan ia akan berdoa memohon perlindungan kepada orang yang telah meninggal. Sebaliknya orang yang tidak membenarkannya maka ia tidak akan segan-segan untuk menghinakan berhala dan menyalahkan orang-oran yang memohon keselamatan kepada orang-orang yang telah meninggal.

Demikianlah, sesungguhnya perbuatan manusia tergantung pemahaman-pemahamannya akan sesuatu (mafâhîm ‘anil asyyâ`) dan pemahaman-pemahamannya akan kehidpa (mafâhîm ‘anil hayâh). Apa yang kadang-kadang terjadi pada sebagian orang, yaitu lemahnya keterikatan terhadap pemahaman, adalah akibat lalai terhadap pemahaman-pemahamannya atau akibat lenyapnya pemahaman yang ia miliki karena banyak sebab yang menimpa mereka.”

Sok Tahu tentang Agamawan

Selain terlalu pede menafsirkan konsep Islamisasi Sains, Dr. Ioanes Rakhmat juga terlihat sok tahu tentang agamawan. Ketika menyebut agamawan, dan yang dikomentarinya adalah seseorang yang beragama Islam, tentu yang dikehendaki oleh Dr. Ioanes mencakup juga para tokoh di antara kaum muslimin. Meski konsep agamawan sejatinya tidak dikenal dalam Islam, tetapi bukan tempatnya membahas persoalan itu di sini.

Masuk ke materi kritik. Saya kutip pernyataan Dr. Ioanes:


Tetapi ada perbedaan sikap antara para agamawan dan para saintis ketika mereka masing-masing menatap pada kebesaran jagat raya dan misteri-misterinya. Para agamawan berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan; sebaliknya, para saintis justru terdorong kuat untuk menyibak dan menembus semua misteri alam, tentu saja secara bertahap dan dengan tak kenal lelah.


Dr. Ioanes keliru -atau tidak sepenuhnya benar- ketika menyatakan: Para agamawan berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan. Bahkan dalam kontek Islam sebagai yang dikomentari, pernyataan itu sepenuhnya salah.


Saya tidak tahu dalam agama lain, tetapi dalam Islam, sama sekali tidak ada kewajiban bagi agamawan untuk berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam apalagi menganggapnya sebagai tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan.


Kekeliruan lain dari IR adalah ketika menyatakan: Agama memakai epistemologi revelatif fideis: sesuatu diterima benar jika bersumber dari wahyu (Latin: revelationem) yang diterima hanya dengan iman (Latin: fidem), tanpa bukti.


Kentara sekali IR trauma dengan sejarah Kristen (mantan agama yang dianutnya). Jika komentar tersebut ditujukan khusus untuk Kristen, itu adalah urusannya dengan para agamawan Kristen. Tetapi untuk kasus Islam, jelas IR salah besar. Kekeliruannya kali ini adalah karena -sebagaimana kekeliruan kaum sekuler maupun agamawan non-Islam, karena mengartikan iman (=kredo?) dari kacamata tradisi Barat, sehingga menganggap tidak memerlukan bukti. Iman adalah sesuatu yang harus dipercaya dan diyakini tanpa intervensi akal apapun.


Hal itu jelas berbeda dengan Islam. Iman di dalam Islam, oleh Syaikh Taqyuddin an-Nabhani, didefinisikan sebagai: Pembenaran yang bersifat pasti yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan bukti (Tashdîqul jâzim al-muthâbiq lil wâqi' 'an dalîl). Bahkan taklid (sebagai simbol penganutan konsep tanpa proses pembuktian) dalam persoalan akidah dianggap rawan diserang keraguan. Padahal tidaklah disebut iman apabila tersusupi ragu.

Sekarang, apa lagi yang tersisa dari komentar Dr. Ioanes terhadap ide Islamisasi Sains? Jika masih ada yang tersisa, sudilah kiranya untuk menyebutkan.


Miliran, 14 Dzulhijjah 1434 H/19 Oktober 2013 M 02:31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar