Senin, Januari 18, 2010

Menerapkan Islam; Sebuah Komentar Atas Wawancara Dr. Aris Arif Mundayat (Bagian 1)

assalaamu 'alaikum,,,

bismillaah walhamdu lillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillaah. amma ba'du.

berikut adalah komentar saya atas isi wawancara antara Denny al-Asy'ari dengan Dr. Aris Arif Mundayat yang dimuat di suara muhammadiyah dan bisa pula dibaca di http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=814.

semoga bermanfaat.


========


Dr. Aris Arif Mundayat
Indonesia Perlu Terapkan Islam Yang Terbuka
dan Non Rezimented

Islam adalah agama wahyu yang turun dari langit untuk membawa rahmatan lil’alamin untuk sekalian alam dan makhluk Allah di muka bumi. Islam hadir sebagai solusi yang selalu memiliki relevansi sepanjang zaman dan waktu. Namun, bagi pemeluknya, konsep dan nilai Islam tersebut, belum mampu diwujudkan secara maksimal dalam konteks kebangsaan dan kemasyaratan, bahkan pada satu sisi, Islam justru muncul dengan wajah yang sangar dan tidak bersahat dalam pergumulan sosial kebangsaan belakangan ini.

Universalisme Islam yang begitu kuat, secara perlahan mulai ditarik pada paham partikularistik yang kurang mampu secara optimal menyentuh problem kemanusiaan. Dengan kondisi yang demikian, Islam seperti apakah yang bisa diaktualisasikan dalam bingkai ke-Indonesiaan dan kemanusiaan? Serta problem apa yang selama ini terjadi terhadap konsep universalisme Islam tersebut? Berikut petikan wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan Dr. Aris Arif Mundayat, Ketua Program Studi HAM dan Demokrasi UGM dan Kepala Pusat Studi Asia Tenggara UGM.

Islam merupakan agama yang bersifat universal yang berlaku bagi setiap zaman dan waktu, bagaimana anda mamaknai konsep ini dalam konteks keberagamaan dan kebangsaan?


Konsep universalisme Islam sesungguhnya terkandung dalam nilai-nilai yang substantif pada ajaran Islam, dalam muatan ajaran tersebut, secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, baik itu agama Budha, Hindu, Kristen maupun agama lainnya. Karena tidak ada ajaran Islam yang mengandung ajaran yang buruk. Oleh karenanya semua nilai kebaikan tersebut merupakan nilai-nilai yang universal yang juga terkandung dalam paham atau agama lain. Walaupun ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan Islam dari beberapa ajaran lain, namun secara universal pasti ada antara masing-masing ajaran yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam konteks itulah saya melihat pengertian universalisme Islam itu bisa dimaknai.

Komentar:

[Paragraf di atas mengandung kontradiksi. Di satu sisi menyatakan bahwa Islam mengandung nilai-nilai substantif yang secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, namun di sisi lain dinyatakan pula bahwa ada aspek-aspek dari paham atau agama lain yang tidak sesuai dengan Islam.



Kerancuan itu terjadi karena cakupan dan batasan dari beberapa konsep yang dikemukakan tidak jelas atau bahkan kabur sama sekali, karena tidak adanya penjelasan. Apa saja “nilai-nilai substantif” yang dinyatakan bisa diterima oleh ajaran agama mana pun itu? Kita ambil salah satu contoh ajaran Islam: Tauhid. Apakah tauhid, di dalam Islam dan bagi kaum muslimin merupakan salah satu nilai substantif? Jika tauhid tidak dianggap salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, maka bubar agama ini. Bahkan murtadlah orang yang menyatakannya. Lalu apakah tauhid bisa diterima oleh seluruh seluruh agama semisal Budha, Hindu, Kristen, dan Agama lainnya? Jika iya, maka tentu mereka tidak akan berbetah-betah memeluk agamanya, sebab dengan tetap memeluk agamanya berarti mereka sedang enggan memeluk salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, bahkan pada bagiannya yang paling fundamental.]


Dalam Kondisi sekarang ini, sebagian besar umat Islam ada yang mencoba menarik nilai universal Islam ini ke arah partikularistik yang bersifat Arabisme. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?

Fenomena seperti ini bisa terjadi karena kondisi dan konteks perkembangan globalisasi. Sebagaimana yang diketahui, bahwa setelah globalisasi fase pertama, yang ditandai dengan ekspansi Cina dan India dalam mempengaruhi Asia Tenggara, Dunia Arab memang pernah berjaya pada fase globalisasi selanjutnya atau pada tahap kedua. Bahwa globalisasi pada tahap kedua ini, globalisasi bersentuhan dengan dunia Arab, kemudian di sana mulai masuk dunia perdagangan Arab di situ, keberadaan dunia Arab dalam hal ini secara tidak langsung telah menggeser ekonomi perdagangan Cina dan India yang telah masuk pada globalisasi tahap pertama di Asia Tenggara. Bahkan dunia Arab melalui perdagangannya mampu mendominasi dan memarginalkan elemen-elemen India dan Cina di wilayah Asia Tenggara.

Pada konteks itulah kemudian masuk Islam di dalamnya. Pada saat Islam masuk serta mendominasi dunia ekonomi di wilayah Asia tengara dan Asia selatan, disitu dominasi dunia Arab begitu kuat dengan menggunakan bendera Islam dalam proses perdagangan. Di sana terjadi proses konversi dari Hindu dan Budha ke Islam. Kemudian pada era gelombang globalisasi era kedua ini pula mereka bersentuhan dengan kolonialisme, dalam konteks ini kita bisa melihat bagaimana Islam memberikan kontribusi terhadap kebangkitan rasa nasionalisme pada wilayah Asia Tenggara ketika berhadapan dengan dengan kolonialisme.

Khusus untuk wilayah Indonesia dan Malaysia, Islam mampu menjadi simbol yang kuat untuk mempersatukan wilayah yang ada di negara ini. Sehingga Indonesia dan Malaysia memiliki semangat yang sama dalam melawan kolonialisme pada saat itu, kalau Indonesia melawan jajahan Belanda, sedangkan Malaysia melawan jajahan Inggris. Untuk wilayah Indonesia sendiri, fenomena kuatnya pengaruh Islam atau Arab ini bisa dilihat di wilayah Riau, Sumatera Barat, dan Aceh, sedangkan pada wilayah lain seperti di Jawa memang masih cenderung bersifat sinkretis. Selanjutnya dalam hubungan ini, memang sudah ada benih anti barat, tetapi di zaman itu Arabisasi memang tidak terlalu begitu kuat, karena memang Islam pada waktu itu sedang mencoba mengambil hati orang-orang yang ada di wilayah Indonesia, Malaysia dan beberapa daerah di wilayah Asia tenggara.
Akan tetapi harus diakui, bahwa pada saat itu represi terhadap Islam memang sangat kuat, apalagi saat itu ekonomi masih dikuasai oleh Kolonial. Oleh karenannya, pada saat itu terjadi proses dekolonialisasi yang cukup hebat, namun seiring dengan itu, posisi Islam pun semakin menguat sebagai basis kekuatan masyarakat.
Kemudian ketika Islam mulai menguat, maka tahap selanjutnya Islam meletakkan dirinya sebagai simbol oposisional terhadap Barat/kolonial. Tapi Islam di zaman itu masih Islam yang mengakomodir elemen-elemen lokal. Sementara dalam proses globalisasi pada tahap gelombang ketiga, yang ditandai dengan proses menguatnya kolonialisasi yang dilakukan melalui proses media, modal dan sebagainya, Barat sangat berkepentingan di balik semua itu.

Namun, untuk memberikan perlawanan yang massif, Islam sesungguhnya pada saat itu belum memiliki basis ekonomi yang kuat, padahal dia berdasarkan pengalaman masa kolonial dan pasca kolonial, dia sudah menjadi simbol yang berseberangan dan oposisional terhadap barat. Oleh karenanya, untuk memperkuat arus oposisional Islam ini, orang kemudian mencari upaya pemurnian Islam sebagai simbol yang lebih kuat dalam berseberangan dengan Barat. Namun model pemurnian ini cenderung dengan upaya penyerapan tradisi atau paham Arabisme, seperti berpakaian, gaya hidup atau tampilan yang bersifat fisik. Disinilah paham Arabisme itu muncul sebagai penguatan terhadap oposisional Islam.



Komentar:

[Ada beberapa hal yang ingin saya catat. Pertama, disadari atau tidak, ada kesan bahwa pak Doktor menempatkan Islam sebagai sesuatu di luar dirinya, atau dengan kata lain, beliau bukan bagian dari Islam. Beberapa kalimatnya mencerminkan seperti itu. Sikap seperti ini bagi seorang muslim cukup disayangkan. Kedua, apa yang disebut sebagai paham Arabisme dalam jawaban di atas tidak cukup jelas, sehingga bisa mengundang beragam interpretasi. Padahal kejelasan ini penting, agar tidak terjadi kerancuan pemahaman bagi sidang pembaca, apalagi ternyata kemudian dikait-kaitkan dengan “pemurnian Islam”, sebuah kata yang juga menjadi image persyarikatan Muhammadiyah. Mengaitkan pemurnian Islam dengan Arabisme, yang dinyatakan sebagai penyerapan tradisi seperti berpakaian, gaya hidup, tampilan fisik, dll, tentu saja mengundang beragam tanya: Siapa aktor “pemurnian Islam” yang beliau maksud? Selanjutnya, apakah pakaian (misal: kewajiban menutup aurat, mengenakan jilbab), gaya hidup (misal: rajin sedekah, shalat sunnah, dll), serta tampilan yang bersifat fisik (misal: memakai peci, sorban, mengenakan wewangian, siwak, dll) merupakan sesuatu yang terlarang di dalam Islam? Jika mau jujur, hal-hal tersebut paling rendah berkualitas mubah alias sah-sah saja, sebagian sunah, dan bahkan sebagian lain wajib. Apakah memahamkan kepada masyarakat bahwa sesuatu yang wajib itu harus dilaksanakan, menganjurkan mereka untuk melakukan hal-hal yang disukai (mandub), mempersilakan untuk memilih di antara perkara-perkara mubah ini yang kemudian disebut sebagai paham Arabisme? Jika iya, maka tak ada yang salah sama sekali dengan paham Arabisme. Hanya saja, makna seperti ini tidak pantas disebut Arabisme. Namun jika yang dimaksud adalah mengambil semua yang berbau Arab tanpa menimbang lagi apakah diajarkan oleh Islam atau tidak, maka siapa pun yang menyatakan adanya fenomena Arabisme perlu mendatangkan bukti. Semua orang harus menentang paham Arabisme dalam maknanya yang kedua.



Hanya saja, untuk meluruskan pemahaman, perlu dikemukakan di sini bahwa Islam tidaklah dapat dipisahkan dari bahasa Arab, sebab bahasa Arab adalah bahasa Alquran, bahasa Assunnah, serta bahasa sebagian besar literatur-literatur ke-Islaman. Pengambilan kesimpulan (istinbâth) dan penggalian (ijtihâd) hukum tidak bisa dilakukan tanpa memahami bahasa Arab. Karenya, Islam tidak boleh dijauhkan dari kharisma bahasa Arab. Menjauhkan kaum muslimin dari bahasa Arab dengan sengaja adalah sebuah kejahatan.]

Namun apakah Arabisme yang muncul saat itu betul-betul merepresentasikan universalisme Islam yang hadir sebagai solusi?

Jadi ketika Arabisme ini masuk dan diterapkan, maka jangan ia dilihat sebagai Islam, sebab ketika terjadi dominasi Arabisme ini, justru saya melihat Islam kehilangan nilai-nilai rahmatan lil’alaminnya. Karena Arab bukanlah merepresentasikan secara total konsep rahmatan lil ‘alamin tersebut, namun yang rahmatanlil’alamin adalah Islam.


Bahkan dengan adanya paham Arabisme ini, membuat nilai-nilai universal Islam itu semakin berkurang, karena orang tidak bisa lagi memisahkan antara Islam dan Arab itu sendiri. Seolah-olah antara Islam dan Arab menjadi sesuatu yang menyatu, padahal meletakkan paham yang demikian, merupakan sesuatu yang bisa berbahaya, karena ada elemen-elemen lokal yang juga sesuai dengan cara berpikir dan prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam. Jadi ketika Arabisme masuk maka tidak ada bedanya dengan dominasi barat melalui media dan kapitalisme. Karena dia memarginalkan elemen-elemen lokal. Oleh karenanya ketika Arabisme masuk, maka rahmatan lil’alamin Islam akan menjadi hilang. Karena orang melihat antara Arab dan Islam sama, padahal itu sesuatu yang berbeda.



Komentar:


[Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, tentang makna universalisme Islam dan konsep rahmatan lil ‘âlamîn. Kedua, gagasan pemisahan antara Islam dan Arab. Ketiga, tentang elemen-elemen lokal.

Pertama, tentang universalisme Islam. Istilah atau konsep tertentu yang disandarkan kepada Islam harus didasarkan kepada dalil-dalil maupun karakteristik dalil-dalil yang diakui oleh Islam. Dengan kata lain, bahwa konsep dimaksud pada asalnya memang bukan berasal dari pandangan hidup selain Islam, melainkan berasal dari Islam itu sendiri. Perlakuan yang sama juga perlu dikenakan pada makna unversalisme Islam. Dalil-dalil yang sesuai dengan makna ‘universal’ menunjukkan bahwa Islam itu agama yang universal dalam arti: 1) ajarannya berlaku sampai akhir zaman, 2) ajarannya berlaku untuk seluruh umat manusia, 3) ajarannya sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa seluruh manusia akan dapat menerima Islam sebagai agama mereka. Taruhlah, misalnya, seluruh manusia di muka bumi ini menolak Islam, tak ada satu pun di antara mereka yang memeluk dan mengakuinya, hal itu sama sekali tidak menghilangkan sifat Islam yang universal dalam ketiga maknanya tadi. Sebab penolakan mereka itu bisa terjadi karena bisikan setan, menuruti hawa nafsu, serta kesombongan. Adapun sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka benar bahwa yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam, bukan Arab. Perlu juga ditekankan, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan agama dan ideologi lain di luar Islam semisal Hindu, Budha, Kristen, sekulerisme, kapitalisme, sosialis, dan lain-lain, juga bukan sesuatu yang diklaim sebagai nilai-nilai substantif oleh sebagian orang yang pada kenyataannya justru disanggah oleh dalil. Lagi, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan ‘nilai-nilai substantif’ yang sering justru mereduksi ajaran-ajaran Islam yang bersifat pasti sekalipun.

Kedua, tentang pemisahan Islam dengan Arab. Benar, bahwa Islam bukan Arab. Segala tradisi yang dicela oleh Islam, entah Arab ataukah Jawa, maka ia tercela. Sebaliknya, tradisi yang tidak dicela oleh syariat, maka ia tidak tercela; tidak peduli apakah tradisi itu berasal dari timur ataukah barat. Inilah pandangan Islam mengenai tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab, sebagaimana dijelaskan di atas. Ini sekaligus juga menjadi jawaban tentang kekhawatiran tergerusnya elemen-elemen lokal, bahwa selagi elemen-elemen lokal tidak dicela oleh Islam, maka sah-sah saja jika tetap ingin dipelihara.]



(Bersambung, in syâ Allâh)

1 komentar:

  1. itu bisa dipahami dari konsep sufiisme/tasawuf islam, kalau dari syariah memang akan kontradiktif karena bisa banyak sekali perbedaan dg ajaran agama lain

    BalasHapus