Rabu, April 27, 2011

Catatan Kecil Diskusi Psikologi (Bagian 1)

Apakah pejuang psikologi Islam adalah pejuang akidah? Pertanyaan tersebut adalah salah satu pertanyaan yang terngiang di benak saya ketika mengikuti sebuah diskusi tentang psikologi. Sayangnya waktu yang tersedia terbatas, sehingga belum ada cukup kesempatan untuk mendiskusikan lebih lanjut pertanyaan di atas. Untuk itulah saya merasa perlu untuk mengurai beberapa hal dalam tulisan ini. Saya membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian dengan maksud agar tidak terlalu panjang sehingga lebih mudah dinikmati, dipahami, dan didiskusikan.

Identitas Manusia

Setiap manusia, pada faktanya, memiliki berbagai identitas yang melekat padanya: warna kulit, suku, ras, agama, ideologi, dan sebagainya. Jika kita perhatikan, ada perbedaan antara tiga identitas yang disebutkan pertama dengan dua identitas yang disebutkan terakhir. Perbedaan itu terletak pada kemungkinan memilih berbagai identitas tersebut. Seseorang tidak bisa memilih warna kulit, suku, dan ras yang melekat padanya. Sementara agama dan ideologi dapat dipilih berdasarkan kesadaran. Identitas yang melekat pada manusia sejak lahir, tanpa bisa diubah, tentu bukanlah identitas yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kemuliaan seseorang. Kemuliaan seseorang terletak pada apa yang dipilihnya secara sadar. Kesadaran yang benar akan didapatkan melalui proses berpikir yang dilakukan secara benar.

Benar dan Salah

Saya merasa perlu untuk mengulangi: kesadaran yang benar akan didapatkan melalui proses berpikir yang dilakukan secara benar. Barangkali kita sering—di era posmodernisme—mendengar bahwa benar dan salah adalah sesuatu yang relatif dan bahwa mencari dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang tidak terlalu penting. Disadari atau tidak, anggapan bahwa kebenaran itu bersifat relatif merupakan suatu sikap anti-realitas. Sebagai jawaban terhadap sikap anti-realitas tersebut, cukuplah dikatakan bahwa dunia ini dipenuhi dengan fakta dan realitas yang tidak bisa disangkal. Sejak masa kanak-kanak, manusia telah menyadari keberadaan berbagai realitas di sekitarnya, sekalipun ia tidak mampu menjelaskan atau mendefinisikan hakikat realitas tersebut. Dengan penginderaan yang berulang-ulang, keberadaan realitas tersebut menjadi pasti dan jelas. Dugaan bahwa gambaran itu hanya ilusi belaka pun segera menghilang. Bulan atau gunung yang diindera oleh manusia tetap tampak sebagaimana bulan atau gunung yang mereka indera setiap waktu. Apabila gambaran itu memang hanya ilusi belaka yang muncul dari imajinasinya, maka manusia—yang memegang kendali penuh atas imajinasinya—tentu dapat menentukan bentuk dan karakteristik ilusi ‘bulan dan bintang’ tersebut sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, menurut pandangan dirinya maupun pandangan orang lain, ternyata gambaran bulan dan gunung itu tetap sama. Ini berarti bahwa keberadaan realitas tersebut tidak tergantung pada imajinasi manusia, dan bukan sesuatu hal yang bersifat relatif sebagaimana imajinasi seseorang.

Memang ada peluang terjadi perbedaan dalam memandang suatu hal. Tetapi bukan berarti benar dan salah itu tidak ada. Dalam banyak hal—jika tidak semua—pendapat yang benar dan pendapat yang salah tetap bisa ditentukan, selama metode berpikir yang ditempuh adalah metode yang benar.

Metode Berpikir

Sebagaimana dijelaskan di atas, penilaian benar dan salah tentang sesuatu tergantung benar dan salah metode berpikir yang digunakan. Untuk mendapatkan pengetahuan yang valid, manusia perlu berpikir dengan metode berpikir yang valid. Namun terlebih dulu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan berpikir dan apa saja komponennya.

Jika kita memperhatikan dengan cemerlang mengenai fakta tentang aktivitas berpikir yang dilakukan oleh manusia, dapat disimpulkan bahwasanya berpikir adalah pemindahan fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Karena itu, tidak bisa tidak, harus terpenuhi empat komponen berikut ini agar manusia bisa melakukan aktivitas berpikir: fakta, indera, otak, dan informasi terdahulu. Dengan keempat komponen ini, disertai dengan usaha mengaitkan antara fakta dengan informasi sebelumnya, manusia dapat sampai kepada sebuah pengetahuan. Tanpa keempat komponen ini, manusia mustahil melakukan akitivitas berpikir.

Sebagai contoh, seseorang yang tidak pernah belajar tulisan Jepang, kemudian disodori huruf-huruf kanji, dapat dipastikan tidak dapat membacanya. Hal itu karena, meskipun inderanya menangkap fakta berupa huuf-huruf kanji, namun ia belum pernah mendapatkan informasi terdahulu mengenai cara membacanya. Ia tidak dapat melakukan aktivitas berpikir untuk membaca huruf-huruf kanji tersebut. Dari sini, aktivitas berpikir sebenarnya merupakan hal yang sederhana.

Akan tetapi, meskipun sederhana, aktivitas berpikir merupakan suatu hal yang sangat istimewa. Dengan berpikir, seseorang dapat mengetahui hakikat sebuah kebenaran. Seseorang yang melihat bekas tapak kaki gajah di suatu tempat, dapat dengan pasti mengetahui bahwa pernah ada gajah yang lewat di tempat tersebut. Pengetahuannya akan keberadaan gajah yang pernah lewat di tempat tersebut adalah karena orang tadi melakukan aktivitas berpikir. Pengetahuan yang ia dapatkan, meski dengan aktivitas berpikir yang sederhana seperti itu, adalah pengetahuan yang valid. Inilah metode berpikir yang paling asasi. Inilah yang disebut dengan metode rasional.

Selain itu, ada juga metode berpikir yang biasa disebut sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah adalah metode tertentu dalam pengkajian yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dari sesuatu melalui jalan percobaan atas sesuatu itu. Metode ini tidak dapat digunakan kecuali dalam pengkajian objek-objek material yang dapat diindera. Metode ilmiah tidak mungkin digunakan dalam pengkajian pemikiran-pemikiran. Jadi, metode ini khusus untuk ilmu-ilmu eksperimental. Metode ilmiah dilakukan dengan cara memperlakukan materi (objek) dalam kondisi-kondisi dan faktor-faktor baru yang bukan kondisi dan faktornya yang asli (alami), dan melakukan pengamatan (observasi) terhadap materi tersebut serta berbagai kondisi dan faktornya yang ada, baik yang alami maupun yang telah mengalami perlakuan. Dari proses terhadap materi ini lalu ditarik kesimpulan berupa fakta material yang dapat diindera, seperti halnya yang ada di laboratorium-laboratorium.
Metode ilmiah adalah metode berpikir yang benar, tetapi bukan asas dalam berpikir. Sebab, metode ilmiah tidak dapat diterapkan dalam semua objek.

Beriman Secara Sadar

Berpikir, sebagaimana diterangkan di atas, merupakan aktivitas yang sederhana. Namun, meskipun sederhana, dengan berpikir, seseorang bisa mengenal mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu, tidak mengherankan, bahkan menjadi sebuah keniscayaan bahwa keimanan harus diperoleh secara sadar, yaitu dengan aktivitas berpikir.

Seseorang harus benar-benar menggunakan potensi rasionalnya untuk menjawab persoalan paling mendasar, yaitu tentang hakikat keberadaannya di dunia ini: dari mana ia berasal, apa keberadaannya di dunia ini, serta akan ke mana setelah kehidupannya berakhir? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara benar dan melalui proses berpikir, lalu mengikuti konsekuensi-konsekuensinya, seseorang akan mencapai keimanan secara sadar. Seseorang yang beriman secara sadar dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar akan menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam mengelola pemikiran dan tingkah lakunya.

4 komentar:

  1. Assalamu'alaykum.. Bismillah.. uji coba, kenapa dari kemaren tak dapat kami posting?

    BalasHapus
  2. Bismillah..
    “Apakah pejuang psikologi Islam adalah pejuang akidah?”
    Membaca pertanyaan di atas, bagi kami yang tidak memiliki latar belakang psikologi agak sedikit bingung. Mengapa, karena kami belum mengetahui siapa saja orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai seorang pejuang psikologi Islam. Apakah seorang wanita yang membantu wanita lain korban pacaran dengan laki-laki kafir dan hamil agar tetap berpagang teguh terhadap akidahnya dan meninggalkan laki-laki kafir tersebut dapat dikategorikan sebagai seorang pejuang psikologi Islam? Atau hanya orang-orang yang telah memiliki gelar psikolog saja yang dapat disebut sebagai pejuang psikologi Islam? Mohon mas Ivan berkenan menjelaskan kepada kami.. Syukron.. :)

    BalasHapus
  3. Psyiko dalam bahasa Yunani adalah nama dewa yaitu Dewa Kejiwaan. Kami pribadi, mengenal Psikologi lebih sebagai bagian dari pengetahuan yang menjelaskan tentang manusia dengan segala potensinya. Namun, sebagian kaum muslimin ada yang beranggapan bahwa Psikologi adalah bagian dari ilmu yang bersifat universal dan mereka cenderung “mensakralkannya”. Sehingga, mereka tampak lebih percaya diri ketika mengambil pendapat-pendapat psikolog, sosiolog dan lainnya saat menyelesaikan berbagai persoalan manusia dibandingkan dengan merujuk kepada al-Quran dan sunnah.
    Sesungguhnya, Psikologi, Sosiologi dan ilmu social lain adalah sebuah pengetahuan (tsqofah) yang muncul dari sudut pandang (hadlarah) pencetusnya, sehingga tidak dapat kita kategorikan sebagai ilmu yang lahir dari sebuah eksperimen. Pengatahuan (tsqofah) tadi hanya diperoleh dari hasil pengamatan-pangamatan dan bukan melalui eksperimen atau percobaan dengan berbagai variabal perlakuan. Sehingga, kesimpulan yang diperoleh dari pengamatan tadi masih berupa dugaan yang memiliki kemungkinan salah atau benar. Dan produk yang dihasilkan dikategorikan sebagai tsaqofah, bukan ilmu.
    Menurut pemahaman kami, metode ilmiah ini selain tidak tepat digunakan dalam pengkajian pemikiran-pemikiran juga tidak digunakan untuk mengkaji manusia, meskipun manusia termasuk dalam materi yang teridera, karena manusia memiliki kemampuan berpikir yang dapat berkembang dengan semakin bertambah banyaknya informasi yang dimilikinya. Hewan, tumbuhan dan benda-benda lainnya adalah contoh objek yang dapat digunakan dalam metode ilmiah ini.
    Dari sini, sebagai seorang muslim, kita harus jeli dan tidak mudah mengambil pendapat-pendapat psikolog barat apalagi mensakralkannya dengan anggapan bahawa psikologi adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur yang baku saat menyelesaikan berbagai persoalan yang menimpa manusia. Syukron.

    BalasHapus