Kamis, Juni 06, 2013

Jihad



Jihad

Al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalânî meletakkan tidak kurang dari 43 hadis tentang jihad di dalam Kitab Bulûghul Marâm, Kitâbul Jihâd. Di urutan kedua, beliau meletakkan hadis berikut:

وعَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ» رواه أحمد والنسائيُّ, وصححه الحاكم

Dari Anas, ia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: {Berjihadlah kalian memerangi orang-orang musyrik dengan harta-harta kalian, jiwa-jiwa kalian, dan lisan-lisan kalian}. (H.R. Ahmad dan an-Nasâ`î. Disahihkan oleh al-Hâkim)

Pengertian Jihad
01. Jihad secara bahasa adalah mashdar dari kata جهد. Ungkapan جهدت جهادا maknanya adalah بلغت مشقة (kesulitan menghampiriku).
02. Sedangkan jihad secara syar’i, menurut ash-Shun’ânî dan as-Saqqâf[1] adalah:

بذل الجهد في قتال الكفار أو البغاة
Mengerahkan segenap kesungguhan untuk memerangi orang-orang kafir dan para pemberontak (bughâh)

03. Sementara itu di dalam Hâsyiyah Ibn ‘Âbidîn sebagaimana dikutip oleh Muhammad Khair Haikal dan juga diikuti oleh an-Nabhânî [2], jihad secara syar’i bermakna:

بذل الوسع في القتال في سبيل الله, مباشرة أو معاونة بمال أو رأي أو تكثير سواد أو غير ذلك
Mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan memberi bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lain sebagainya.

04. Kedua pendapat tersebut berbeda dari segi cakupan: Apakah memerangi para pemberontak termasuk jihad atau bukan? Meskipun kedua pendapat tersebut adalah pendapat Islami, dan perselisihan pendapat tersebut termasuk ikhtilaf yang sâ`igh (layak), namun pendapat kedua, yang tidak memasukkan memerangi bughât sebagai jihad, adalah pendapat yang lebih baik, in syâ`allâh.
05. Adapun pengertian jihad yang sangat umum, yang menyatakan arti jihad ialah bekerja sungguh-sungguh, berjuang, berperang, dan sebagainya di jalan Allah yang diperintahkan dan di jalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya[3], maka pengertian yang semacam ini adalah takrif yang berlebihan, yang keluar dari konteks makna syar’inya.

Hukum Jihad

06. Dalam hadis di atas, ada perintah untuk berjihad. Bagi yang berpegang pada kaidah al-Ashlu fî al-amr lil wujûb (hukum asal suatu perintah adalah menunjukkan kewajiban), maka hadis di atas merupakan dalil wajibnya berjihad. Akan tetapi, kaidah yang lebih tepat mengenai perintah adala al-Ashlu fî al-amr lith thalab (hukum asal suatu perintah adalah untuk menunjukkan tuntutan). Karenanya hadis di atas tidak serta-merta bermakna wajib berjihad, melainkan sebatas menunjukkan adanya tuntutan. Sebuah tuntutan bisa jadi wajib, bisa pula sunah; tergantung qarînah yang mengikutinya.

07. Berdasarkan dalil-dalil lain yang menunjukkan adanya qarînah yang jâzim (pasti), dapat disimpulkan bahwa hukum jihad adalah fardu.  Berikut sebagian dalil tersebut:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
Diwajibkan atas kalian berperang. (al-Baqarah [2]:216)

Rasulullah bersabda:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ (رواه مسلم(

Siapa saja yang mati padahal belum berperang dan tidak bercita-cita demikian di dalam hatinya (berarti) ia mati di atas satu cabang dari kemunafikan. (HR. Muslim)

Jihad dengan Harta dan Jiwa

08. Dalam hadis di atas terdapat tiga sarana berjihad, yaitu dengan harta, jiwa, dan lisan. Jihad dengan jiwa adalah keluar langsung memerangi orang-orang kafir. Sedangkan jihad dengan harta adalah dengan mengerahkan kemampuan untuk menginfakkan sesuatu yang dengannya jihad bisa terlaksana, seperti persenjataan, kendaraan, dan lain-lain.[4] Hal ini banyak disebutkan di dalam ayat-ayat Alquran, antara lain di dalam Surat at-Taubah [9]:41:

وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dan berjihadlah kalian dengan harta-harta kalian dan jiwa-jiwa kalian di jalan Allah.

Jihad dengan Lisan

09. Jihad dengan lisan adalah dengan menegakkan hujah yang meruntuhkan keyakinan orang-orang kafir, mendakwahi mereka agar menyembah Allah, dengan suara-suara yang menggentarkan mereka ketika bertemu, dengan celaan kepada mereka, dan hal-hal lain yang di dalamnya ada hal yang bisa mengalahkan musuh,[5] sebagaimana firman Allah di dalam Surat at-Taubah [9]:120:

وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
Tidaklah menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.

10. Jihad dengan lisan ada kaitannya dengan jihad dengan pemikiran. Yang dimaksud adalah pemikiran yang berkaitan langsung dengan peperangan. Jika pemikiran tersebut berkaitan langsung dengan peperangan di jalan Allah, maka dia adalah jihad. Tetapi jika tidak berkaitan langsung dengan itu, maka dia bukan jihad secara syar’I, meskipun di dalamnya terdapat berbagai kesulitan, dan meskipun dia menghasilkan berbagai faidah untuk meninggikan kalimat Allah. Karena, jihad secara syar’i khusus untuk peperangan, dan masuk ke dalamnya segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan peperangan. Yang serupa dengan pemikiran adalah tulisan dan ceramah. Jika berkaitan secara langsung dengan peperangan, seperti ceramah di hadapan pasukan untuk mengobarkan semangat perang mereka, atau artikel berisi anjuran untuk memerangi musuh, maka itu adalah jihad. Jika tidak demikian, maka tidak termasuk jihad.[6]

Memerangi Penguasa yang Murtad Apakah Termasuk Jihad?

11. Tidak semua peperangan adalah jihad. Demikian pula, tidak semua peperangan yang disyariatkan adalah jihad. Sebagai misal, memerangi bughât menurut pendapat yang lebih tepat bukanlah jihad.

12. Adapun memerangi penguasa yang rusak, hal itu dijelaskan oleh Dr. Muhammad Khair Haikâl sebagai berikut:

Jika penguasa telah kafir secara nyata, lalu ia dibantu dan ditopang oleh berbagai kekuatan, maka memeranginya dalam rangka menggulingkannya dan membunuhnya adalah jihad fî sabîlillâh, karena bersesuaian dengan pengertian jihad, yaitu memerangi orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah ‘Azza wa Jalla. Penguasa yang murtad termasuk bagian dari ahlul harb (pihak yang berhak diperangi).

Kaum muslimin yang berperang di barisannya (penguasa murtad) adalah para pemberontak yang dimintai tolong oleh ahlul harb. Sehingga setiap Muslim yang terbunuh dalam peperangan melawan mereka adalah terbunuh di dalam peperangan melawan orang kafir, sehingga dihukumi syahid dunia-akhirat.

Adapun apabila penguasa tersebut tidak sampai murtad dari Islam, hanya terjatuh kepada kesalahan-kesalahan, yang dengan kesalahannya itu ia boleh dilengserkan, namun si penguasa tetap mempertahankan kekuasaannya, kemudian terjadi perang dengan penguasa tersebut bersama para pendukungnya, maka peperangan di sini hukumnya sama dengan memerangi bughâh, sebagaimana ‘Alî ibn Abî Thâlib radhiyallâhu ‘anhu memerangi Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân setelah dicopot dari jabatannya sebagai gubernur Syâm, dan Mu’âwiyah menolak untuk turun dari jabatannya. Karena itulah, peperangan ini bukanlah jihad fî sabîlillâh secara makna istilah bagi jihad, sebagaimana telah kami tarjihkan ketika membahas tentang memerangi bughât.[7]



[1] Muhammad ibn Ismâ’îl al-Amîr ash-Shun’ânî (Subulussalâm, j. 7, h. 195); Syaikh Ibnu ‘Îdrûs al-‘Îdrûs ‘Alawî ibn Abî Bakr as-Saqqâf (Ta’lîq Bulûgh al-Marâm, h. 237)
[2] Muhammad Khair Haikâl (al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, j. 1, h. 40), Taqyuddîn an-Nabhânî (asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah j. 2, h. 146)
[3] Lihat A. Hassan (Tarjamah Bulughul Maram, h. 579).
[4] Lihat Subulussalâm h. 197.
[5] Subulussalâm, h. 197.
[6] Taqyuddin an-Nabhani (Kepribadian Islam, j. II, h. 247)
[7] Muhammad Khair Haikâl (al-Jihâd wal Qitâl, j. 1, h. 140)

2 komentar: