Senin, Juli 08, 2013

Bagaimana Menyatukan Awal dan Akhir Ramadhan



Bagaimana Menyatukan Awal dan Akhir Ramadhan

Menyatukan ‘hari kalender’ awal dan akhir Ramadhan seluruh dunia adalah mustahil, karena bumi ini bulat dan berputar, sedangkan untuk menentukan hari harus ditentukan satu garis tertentu di bumi sebagai ‘awal hari’ yang berdekatan dengan daerah yang harus kebagian jatah ‘akhir hari’. Yang mungkin adalah menyatukan awal dan akhir Ramadhan di seluruh bumi dalam ’24 jam yang sama’. Sedangkan yang menakjubkan adalah, dalam satu daerah waktu, awal dan akhir Ramadhan dilakukan secara berbeda. Dan jelas, itu bukan ’24 jam yang sama’. Contoh kejadian yang sering seperti ini adalah di Indonesia.

Mengapa bisa terjadi seperti itu di Indonesia? Tidak lain karena beberapa organisasi Islam memiliki kriteria yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Saya ambil sampel empat organisasi: Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdhatul Ulama (NU), dan Hizbut Tahrir (HT). Dua organisasi pertama adalah penganut hisab. Sedangkan dua organisasi kedua adalah penganut rukyat. Meski sama-sama menggunakan hisab, Muhammadiyah memiliki perbedaan kriteria dengan Persis. Demikian juga penganut rukyat, yaitu NU dan Hizbut Tahrir, berbeda dalam hal rukyat mana yang harus dipakai. Jika NU terbatas pada rukyat lokal, maka Hizbut Tahrir bersandar pada rukyat global di seluruh dunia. Dengan komposisi semacam itu, Muhammadiyah seringkali sepakat dengan Hizbut Tahrir dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan, sedangkan NU sering sepakat dengan Persis.

Untuk tahun ini, prediksinya begini:

Muhammadiyah, karena menganut hisab hakiki wujudul hilal, bahwa asal hilal sudah di atas 0 derajat sudah masuk bulan baru, sudah menetapkan (jadi bukan prediksi lagi) mulai Ramadhan hari Selasa. Sedangkan Persis, yang merupakan mazhab imkanur rukyat dengan kriteria hilal minimal 2 derajat, menetapkan puasa hari Rabu, karena awal hari Selasa bulan belum sampai sekian. NU (yang juga dianut oleh pemerintah) dipastikan memulai puasa hari Rabu juga, karena rukyat yang dilakukan Senin sore menjelang Selasa besok dipastikan tidak akan berhasil melihat hilal. Kalaupun ada yang menyatakan melihat hilal, dipastikan ditolak karena hasil hisab tidak memungkinkan untuk itu. Hizbut Tahrir, sebagai penganut rukyat global, saya prediksi akan memulai puasa bersama dengan Muhammadiyah, karena paling tidak di Cape Town kemungkinan-hilal-bisa-dilihat sangat besar.

Jadi bagaimana? Apakah dalam konteks Indonesia, persoalan ini bisa disatukan? Jawabannya: Bisa, yaitu dengan membuat keputusan politik. Pemerintah harus memutuskan metode mana yang hendak dipakai, kemudian meminta kepada semua organisasi untuk menaati keputusan tersebut.

Jika begitu, bukankah hal itu akan menguntungkan satu pihak dan mengabaikan pendapat pihak lain? Jawabannya: Ya, tentu saja. Justru, salah satu urgensi adanya keputusan politik adalah karena secara fiqhî pendapat-pendapat yang ada tidak bisa disatukan, sedangkan persatuan dalam persoalan ini adalah penting. Maka harus ada pihak yang harus rela pendapatnya tidak dipilih. Dalam persoalan ini ada kaidah: Amrul Imâm yarfa’ul khilâf (keputusan Imam bisa menghilangkan perselisihan).

Hanya saja, keputusan semacam itu akan terlihat aneh jika dilakukan oleh negara yang mengaku ‘bukan negara agama’ atau ‘bukan negara Islam’. Ngapain negara ikut campur urusan agama? Memangnya negara ini negara agama? Begitu antara lain keheran yang dinyatakan sebagian orang. Saya sendiri juga akan merasa heran: Untuk hal-hal yang qath’î saja negara tidak mau cawe-cawe, lah ini masalah ijtihadi kok malah mau dicampuri. Oleh karena itu, saya setuju jika negara ini diislamkan saja (dijadikan Khilafah) lebih dulu, supaya keheran semacam itu tidak muncul.

Lebih dari itu, dengan menjadi Khilafah, secara praktis perbedaan mengawali Ramadhan in syâ`allah tidak muncul, meskipun kita andaikan secara konseptual tidak perlu disatukan. Penjelasannya begini:

Meski berbeda secara konsep seperti dikemukakan di atas, tetapi kebanyakan organisasi tersebut tidak mau keluar dari apa yang disebut wilâyatul hukmi (daerah hukum). Muhammadiyah, meski memungkinkan ada dua versi dalam mengawali Ramadhan antara bagian barat dan bagian timur, misalnya, tetap akan menyatukan awal Ramadhan karena pertimbangan: masih dalam daerah hukum yang sama. NU dan Persis pun saya rasa setuju dengan hal ini, bahwa dalam satu daerah hukum, sudah semestinya Ramadhan dimulai pada hari yang sama (kecuali terkendala teknis alami seperti pada paragraf pertama). Jadi, misalnya Indonesia, Malaysia, dan Afrika berada pada satu wilâyatul hukmi, lalu kemudian terlihat hilal di sana (yang berarti sesuai kriteria NU dan HT) karena tinggi hilal sudah empat derat (sangat mungkin dilihat, dan berarti sesuai kriteria Persis), maka secara praktis Ramadhan akan dimulai pada hari yang sama oleh Muhammadiyah, NU, Persis, maupaun HT.

Pertanyaannya: Maukah kita menyatukan neger-negeri kaum muslimin? Semalam menjelang Muktamar Khilafah di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu, saya bertanya kepada seorang ibu yang kebetulan duduk di sebelah saya sambil menikmati bajigur:

“Ibu, tahu ada acara besok di Mandala Krida?”

Ndak. Memangnya ada apa, mas?”

“Ini, bu, kita mau menyelenggarakan Muktamar Khilafah. Isinya, kita ingin mengajak kaum muslimin untuk menyatukan negeri-negeri Islam dalam satu negara.”

Beliau manggut-manggut, sambil bergumam, “Aamiin. Semoga terwujud.”

Sebenarnyalah, secara alami, kaum muslimin itu merindukan persatuan. Ya, semoga segera terwujud.

Miliran, 29 Sya’bân 1434 H/7 Juli 2013

1 komentar:

  1. Ada sedikit kekeliruan. Berhari raya pada hari yang sama itu bukan mustahil, namun pada kondisi tertentu hal itu bisa tidak terjadi. Lebih rinci, di sini https://www.facebook.com/notes/fahmi-amhar/simulasi-rukyat-global-apakah-mungkin-sholat-ied-di-hari-yang-sama/10150267612976921.

    BalasHapus