Selasa, Februari 18, 2014

SOLUSI JALAN TENGAH (AL-HALL AL-WASATH)


SOLUSI JALAN TENGAH (AL-HALL AL-WASATH)

Syaikh Taqyuddin an-Nabhani memberikan berbagai kritik terhadap sekularisme. Salah satu kritik beliau adalah cara sekularisme menyelesaikan persoalan yang dihadapi antar-manusia, yaitu melalui kompromi atau jalan tengah (al-hall al-wasath). Menurut beliau, solusi semacam itu menepikan akal. Sebab dengan cara seperti itu, akal tidak didorong untuk menemukan kebenaran berdasarkan bukti-bukti rasional, melainkan hanya berusaha menemukan "bagian tengah" dari sebuah persengketaan.

Cara kompromi ini bisa dilihat, antara lain, ketika para sekularis menolak suatu ajaran menjadi dasar negara. Alasan mereka, jika satu ajaran menjadi dasar negara, maka ajaran lain akan menginginkan hal yang sama, sehingga akan menimbulkan keributan. Karenanya, untuk menghindari persengketaan antar-ajaran, tidak ada satu pun ajaran yang boleh menjadi dasar negara. Dasar negara haruslah berupa: ajaran yang mengkomodasi semua agama sekaligus tidak menghakui satupun darinya.

Solusi itu mirip dengan ilustrasi berikut ini:

Seorang guru memberikan tugas kepada 3 muridnya untuk memberi satu warna yang tepat pada sebuah gambar pelangi. Gambar itu telah diwarnai dengan 6 warna, yaitu merah, jingga, kuning, biru, nila, dan ungu. 3 murid tadi tinggal memberi gambar yang tepat pada satu garis pelangi yang belum berwarna.

Sambil menunggu mereka selesai mewarnai, sang guru meninggalkan ruangan sebentar. Ternyata 3 anak itu memilih tiga warna yang berbeda. Dodo memilih warna COKLAT. Didi memilih warna HITAM. Sedangkan Dede memilih warna BIRU. Selesai mewarnai, selagi guru belum datang, mereka saling memperlihatkan gambar masing-masing. Melihat perbedaan warna yang mereka pilih, mereka pun berdiskusi tentang satu warna yang hilang dari pelangi itu. Didi ngotot pilihan warnanya yang benar. Dede berkeras, warnanyalah yang tepat. Sementar Dodo pun bersikeras, warna pilihannya yang merupakan warna pelangi yang hilang dari gambar itu. Mereka terus berdebat sehingga suara mereka terdengar keluar; membuat sang guru yang baru keluar dari toilet bergegas masuk ruang kelas.

"Ada apa anak-anak?", katanya.

"Bu, warna yang tepat, BIRU kan?" kata Dodo.

"Coklat saja bu, lebih keren." ujar Dodo.

"Wah, mestinya hitam lho..." sahut Didi.

Dan keributan pun kembali berlanjut, kali ini di depan sang guru.

Melihat keributan itu, sang guru berkata, "Stop! Keributan ini tidak perlu terjadi, jika kalian saling bertoleransi dan mengambil jalan tengah. Sekarang, coba kalian gabungkan warna kalian."

Para murid pun menuruti apa kata sang guru. Dan jadilah kombinasi warna HITAM, BIRU, DAN COKLAT. Mereka melihatnya sekilas. Setelah dipandang-pandanginya warna itu, mereka sedikit puas. Bagus juga. Meski mereka pun tidak tahu, apa warna yang ada di hadapan mereka sekarang itu. Kombinasi HITAM-BIRU-COKLAT, kita sebut saja warna ENTAH. Dan kini, resmilah warna pelangi yang baru, tidak lagi MEJIKUHIBINIU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, dan Ungu) tetapi MEJIKUENHINIU (Merah, Jingga, Kuning, Entah, Hijau, Nila, Ungu). Meski di langit, pelangi akan tetap memiliki tujuh warna, tanpa warna ENTAH.


Demikianlah, jalan tengah tidak mengajari manusia menggunakan potensi akalnya untuk mencari pilihan yang benar, tetapi justru menistakannya dengan hanya mencari kemudahan berupa jalan tengah, sekalipun jalan tengah yang terpilih itu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar