Senin, Juli 27, 2015

Ia Berpikir Maka Ia Kafir?

Ia Berpikir Maka Ia Kafir?

Seseorang perlu berpikir untuk sampai kepada keimanan. Ayat-ayat Alquran banyak mendorong manusia untuk berpikir guna mendapatkannya. Tetapi malam itu ada sebuah pertanyaan tentang sebuah fenomena yang rupanya sedang dibicarakan cukup luas di dunia maya.

Seorang aktor yang murtad. Ia mengaku telah memikirkannya selama enam tahun sebelum memutuskan murtad. Pertanyaannya: Jika keimanan harus diperoleh dengan proses berpikir, lalu mengapa sang aktor itu malah murtad setelah berpikir? Lalu berpikir yang seperti apa yang dapat menghasilkan keimanan? Dan bagaimana pula dengan kisah masuk Islamnya Abu Bakar yang seolah tanpa proses berpikir lebih dulu, melainkan langsung percaya saja dan masuk Islam? Mengenai pertanyaan terakhir, in syâ Allâh akan dibahas di dalam artikel lain, dengan judul Masuk Islamnya Abû Bakr. Artikel ini sedikit-banyak akan menjawab dua pertanyaan pertama.

Berpikir adalah mengaitkan fakta dengan informasi yang didapatkan sebelumnya. Prosesnya melibatkan indera dan otak. Akurasi fakta yang sampai ke dalam otak maupun informasi yang ada di dalam otak akan menentukan akurasi hasil pemikiran seseorang. Satu lagi yang tak kalah penting dalam menentukan kualitas pemikiran seseorang adalah mutu pengaitan antara fakta terindera dengan informasi awal tersebut.

Dalam menghukumi fakta kebenaran suatu agama, seseorang yang benaknya meyakini informasi bahwa semua agama sama, atau meyakini bahwa manusia boleh memilih agama apa saja yang diinginkannya, atau meyakini bahwa memeluk-agama-atau-tidak adalah hak asasi manusia (HAM), akan berbeda dengan seseorang yang informasi awal yang dimiliki dan diyakininya adalah bahwa kebenaran suatu agama itu berbeda-beda (ada yang salah, ada yang benar), manusia hanya boleh memilih agama yang telah dipilihkan oleh Sang Pencipta, serta hak dan kewajiban asasi manusia adalah bertindak sesuai dengan bimbingan-Nya. Dan lain-lain.

Seseorang yang mengenyam kekeliruan informasi awal yang kompleks akan lebih susah untuk berpikir benar dibandingkan orang-orang yang memiliki hanya sedikit saja kekeliruan informasi. Tetapi dalam kasus seseorang mau mencari kebenaran, berbagai kekeliruan informasi awal yang dimiliki oleh benaknya, sebanyak apapun, dapat dengan mudah dibersihkan –bi idznillâh— dengan membenahi dasar dari segala pemikirannya, yaitu pemahaman yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan.

Kasus aktor yang murtad dapat kita bahas dalam kerangka ini. Pertama-pertama kita bisa menyelidikinya dengan mengajukan pertanyaan: Perenungan seperti apa yang membuat sang aktor murtad? Dengan pasti kita akan menemukan berbagai kekeliruan informasi yang dia enyam, apabila kita bisa mendapatkan keterangan-keterangan darinya mengenai hal itu.

Namun dalam kondisi tidak terdeskripsikannya makhluk yang ia sebut sebagai ‘perenungan selama enam tahun’ itu, kita dapat membahas hasil pemikirannya, dan menelaah: Apakah itu cermin berpikir yang benar? Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita telusuri dengan menetapkan pemahaman yang benar dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, terutama soal asal keberadaan kita. Dari mana kita berasal? Ini adalah pertanyaan kunci yang perlu kita jawab.

Pencermatan terhadap sebagian saja dari alam semesta, manusia, dan kehidupan, akan mengantarkan pada kesimpulan yang jelas dan pasti mengenai hal ini. Kita ambil satu contoh, yaitu tentang kejadian manusia.

Saat mengerjakan tulisan ini, Musa, putra pertama kami, menangis. Saat ini usianya tepat 32 hari. Itu berarti 33 hari yang lalu ia masih berada di dalam kandungan. Usia kandungannya tepat 38 pekan. Artinya, 266 hari sebelumnya ia masih berada di dalam tubuh saya. Sejak kapan ia ada di sana? Saya tidak tahu. Dari sangat banyak teman sejalannya, saya juga tidak bisa menentukan dia yang harus jadi manusia utuh. Sungguh saya tidak bisa memilih siapa di antara mereka harus dilahirkan ke muka bumi. Meski bahan baku Musa yang berasal dari saya itu akhirnya bersemayam di tubuh istri saya, dia pun tidak dapat menentukan bahwa ia pasti akan jadi manusia utuh, berkelamin lelaki, dan memiliki hidung seperti bapaknya. Kami hanya sejak awal memanggilnya Musa, sebagai doa karena keinginan ibunya agar anak pertamanya adalah lelaki. Dan meski benar dia terlahir sebagai lelaki, tetapi tampak hidungnya tak semancung ayahnya. Bukti bahwa kami bukanlah pihak yang mewujudkannya sedemikian rupa.

Lalu bagaimana ia bisa terwujud? Apakah ada yang mewujudkannya, atau tidak ada? Hanya ada dua kemungkinan itu, tidak ada yang lain. Lalu kemungkinan mana yang benar? Apakah benar Musa – juga setiap anak manusia yang lain – tak ada yang menciptakan sebagaimana yang diyakini oleh kaum ateis?

Kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun adalah: Manusia tumbuh dari benih yang ditanam oleh seorang lelaki (bapaknya) ke dalam rahim seorang perempuan (ibunya). Benih itu adalah sesuatu yang lebih lemah dibandingkan bapak dan ibunya. Ibu dan bapaknya secara umum memiliki kualitas yang lebih dibandingkan benih itu. Sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin mengadakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada, juga tidak mungkin menjalankan proses apapun. Karenanya, bayi yang tumbuh dan berkembang di dalam rahim ibunya pasti ditumbuhkan dan dikembangkan oleh SESUATU YANG ADA, tidak mungkin muncul dari ketiadaan.

Lalu apa atau siapakah SESUATU YANG ADA, yang menumbuh-kembangkan benih menjadi janin di dalam rahim? Jelas ia bukan bapaknya, ibunya, atau dirinya sendiri. Maka pasti SESUATU YANG ADA itu adalah sesuatu yang di luar ketiganya, dan memiliki kualitas yang lebih dibandingkan ketiganya. Jadi siapakah Dia?

Kita bisa meneruskan penalaran seperti di atas untuk sampai kepada kesimpulan yang benar mengenai keimanan. Itulah salah satu contoh bagaimana menalar keberadaan Sang Pencipta. namun pembahasan tentang siapa Dia dalam konteks ini tidak harus dibahas panjang-lebar, karena pada dasarnya agama yang dianut sang aktor setelah murtad juga mengakui adanya Sang Pencipta. Dalam kitab suci mereka (versi Arab atau Indonesia), Sang Pencipta juga disebut Allah, sebagaimana di dalam Islam.

Sebagai suatu ajaran yang sama-sama mengakui adanya Sang Pencipta, tentu kebenaran yang berasal dari-Nya menduduki peran yang penting. Maka perenungan yang harus dilakukan  selanjutnya untuk mendapatkan hakikat kebenaran beralih kepada sejauh mana ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing agama bersumber dari-Nya. Kita bisa menilik kitab suci masing-masing untuk menjawab persoalan ini.

Pertanyaan pentingnya: Benarkah kitab suci agama yang saat ini dianut oleh sang aktor adalah berasal dari Sang Pencipta? Pertanyaan yang sama dapat diajukan untuk kitab suci agama yang ditinggalkannya. Sangat penting untuk membahasnya. Mari kita mulai memberikan sekedar contoh apa yang patut dipikirkan mengenai hal ini.

Pertimbangkan fakta-fakta di bawah ini dengan baik, dan cobalah renungkan.

1. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor menyatakan: kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya. Pernyataan itu dapat ditemukan dengan segera setelah Pembukaan dalam kitab suci. Adakah pernyataan ‘keaslian’ semacam itu ada pada kitab suci agama yang sekarang dianut sang aktor?

2. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor sejak diturunkan sampai saat ini dilafazkan dengan bahasa Arab. Itu menandakan konsistensi sekaligus jaminan keaslian, validitas dan otentisitas kitab ini dari dulu sampai sekarang. Apakah konsistensi seperti ini ditemukan juga di dalam kitab suci agama yang dianut sang aktor saat ini?

3. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor memiliki rantai periwayatan yang jelas. Para penghafal Alquran memiliki sanad yang bersambung kepada Rasulullah, manusia penutur pertamanya. Adakah hal yang sama ada pada kitab suci yang dianutnya sekarang?

4. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor menantang para pengingkarnya untuk membuat satu surat saja yang memiliki kualitas yang setara dengan satu surat di dalamnya. Apakah kitab suci agama sang aktor saat ini memiliki hal yang sama?

Jika sang aktor mengaku telah memikirkan kemurtadannya selama enam tahun, setidaknya empat fakta di atas mestinya ia perhatikan baik-baik, di luar berbagai fakta lain yang dapat dibandingkan mengenai validitas dan otentisistas sumber masing-masing agama. Itulah yang dituntut untuk dilakukan dalam konteks memilih dua agama yang sama-sama mengakui keberadaan Sang Pencipta. Jika penelusuran dan pembandingan terhadap sumber ajaran justru tidak dilakukan, diduga kuat bahwa yang dilakukan oleh sang aktor adalah berkhayal, bukan berpikir. Atau, yang dia lakukan hanyalah membandingkan dan merenungkan: agama mana yang lebih cocok dengan selera nafsunya?

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)

Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Surat al-Jâtsiyah [45]:23)

Mulai ditulis di Sedayu, Bantul, DIY, pada 04 Ramadhân 1436 H


Selesai ditulis di Bukit Rivaria, Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada hari Jumat, 01 Syawwâl 1436 H/17 Juli 2015 pukul 16.37 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar