Selasa, Juli 07, 2015

Objek Seruan Fardhu Kifâyah

Objek Seruan Fardhu Kifâyah

Tulisan ini adalah ulasan ringkas dari buku yang berfaidah dalam tema fardhu kifayah karya Dr. Shâbir as-Sayyid Muhammad ‘Alî Misyâlî (Dosen Universitas al-Fayyûm) berjudul al-Wâjib al-Kifâî (Fardhû al-Kifâyah); Dirâsah Ushûliyyah Muayyadah bi an-Namâdzij al-Fiqhiyyah, khususnya pembahasan ketiga, yaitu seputar objek seruan dari fardhu kifayah. Teks arab dari kitab ini dapat diunduh dari situs www.alukah.com bagi siapapun yang menghendaki telaah lebih lanjut.

Dr. Shâbir di dalam sub judul al-mukhâthab fî al-wâjib al-kifâî menyatakan bahwa para ulama Ushul Fikih berbeda pendapat mengenai objek seruan fardhu kifayah ke dalam empat pendapat. Dua pendapat di antaranya tidak mengetengahkan dalil, sementara satu pendapat lainnya memiliki dalil namun dianggap lemah. Satu pendapat tersisa adalah pendapat yang kuat karena dukungan dalil-dalil dan penyimpulan yang akurat, sekaligus merupakan pendapat mayoritas ulama.

Pendapat pertama menyatakan bahwa fardhu kifayah ditujukan kewajibannya kepada satu orang tertentu yang tidak kita ketahui siapa orangnya.

Pendapat kedua menyatakan bahwa fardhu kifayah ditujukan kepada sebagian orang tertentu.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa fardhu kifayah ditujukan kepada sebagian orang yang tidak tertentu. Ini adalah pendapat sebagian ulama Ushul Fikih seperti as-Subkî dan al-Baydhâwî. As-Subkî menyatakan bahwa ini juga merupakan konsekuensi dari pandangan ar-Râzî di dalam kitab al-Mahshûl.

Sementara pendapat keempat menyatakan bahwa fardhu kifayah merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Ushul Fikih seperti Imam asy-Syâfi’î, Imam Ahmad, Imam asy-Syâthibî, Ibnul Hâjib, Ibnu Qudâmah, dan lain-lain – rahimahumullâh.

Imam asy-Syâf’î menyatakan: Wajib bagi orang-orang, memandikan mayat, menyolatinya, dan menguburkannya. Mereka seluruhnya tidak ditoleransi untuk meninggalkannya. Namun apabila sebagian di antara mereka yang memiliki kemampuan telah melaksanakannya, maka itu dapat mewakili, jika Allah menghendaki.

[Teks tersebut dapat ditemukan di dalam kitab al-Umm dengan teksnya yang lebih lengkap sebagai berikut:



حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لا يسع عامتهم تركه وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية له أجزأ إن شاء الله تعالى، وهو كالجهاد عليهم حق أن لا يدعوه، وإذا ابتدر منهم من يكفى الناحية التي يكون بها الجهاد أجزأ عنهم، والفضل لاهل الولاية بذلك على أهل التخلف عنه


]

Imam Ahmad menyatakan: Berperang itu wajib bagi setiap orang, seluruhnya. Lalu jika sebagian dari mereka telah berperang, maka hal itu cukup mewakili mereka semua.

Dalil dari pendapat pendapat ini antara lain:

1. Firman Allah Ta’âlâ Surat al-Baqarah [2]:216: Diwajibkan atas kalian berperang. Arah pendalilannya adalah bahwa berperang (jihad) termasuk fardhu kifayah. Dalam ayat ini, seruan terhadap perang yang hukumnya fardhu kifayah ini adalah untuk semua orang. Imam asy-Syâfi’î berkomentar: Jelas di dalam berbagai ayat – seperti ayat ini – bahwa kewajibannya untuk semua orang.

2. Sabda Nabi: Thalabul ‘ilmi farîdhah ‘alâ kulli muslim ‘menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim’. Arah pendalilannya adalah bahwa menuntut ilmu adalah termasuk fardhu kifayah[1]. Meskipun demikian, seruan di dalam hadis ini tertuju kepada seluruh umat.

3. Alasan lainnya adalah bahwa “semua orang berdosa dengan meninggalkan fardhu kifayah apabila menduga bahwa yang lainnya juga tidak melaksanakannya. Seandainya tidak wajib bagi setiap mereka, niscaya mereka semua tidak akan berdosa dengan meninggalkannya.”

Memang ada dalil-dalil tentang fardhu kifayah yang menyeru kepada sebagian orang yang tidak tertentu (al-ba’dhu al-mubah) seperti seruan di dalam Surat Âli ‘Imrân [3]:104 dan Surat at-Taubah [9]:122, sebagaimana yang diajukan oleh pendapat ketiga. Namun itu bukanlah dalil atas kewajiban keluarnya sebagian orang saja, melainkan sebagai bentuk dorongan dan motivasi agar sebagian orang yang ini untuk mendapatkan faidah dari berdakwah, menuntut ilmu, serta keluar untuk merealisasikan jihad. Seandainya dua ayat ini menunjukkan kewajiban keluarnya sebagian orang saja, niscaya bertentangan dengan ayat-ayat yang seruannya tertuju kepada semua orang. Karenanya, ayat-ayat ini harus dibawa kepada pemahaman bahwa pembebanan fardhu kifayah itu bisa gugur dari semua orang dengan aktivitas sebagian orang; sebagai bentuk pemaduan (al-jam’u) atas dalil-dalil yang zahirnya bertentangan.

Gugurnya kewajiban atas semua orang karena ada aktivitas sebagian orang ini tidak berarti bahwa seruan fardhu kifayah adalah untuk sebagian orang yang tidak ditentukan. Sebab, maksud dari fardhu kifayah adalah mewujudkan perbuatan dalam kenyataan. Ketika fardhu kifayah tersebut telah terwujud di dalam kenyataan, maka saat itu tidak ada lagi alasan kewajiban tersebut. Ini seperti gugurnya kewajiban dua orang penjamin ketika jaminannya telah dipenuhi oleh salah satunya, karena telah terealisasinya maksud, yaitu terpenuhinya kewajiban orang yang berutang.

Menurut Dr. Shâbir, pendapat mayoritas ulama ini, selain memiliki dalil yang kuat, juga menjamin teralisasinya kemaslahan syar’i. Ketika kewajiban diarahkan kepada semua orang, hal itu akan mendorong individu-individu umat untuk menyambut kewajiban ini, baik itu orang yang berkompetensi untuk menjalankannya maupun tidak. Orang-orang yang memandang dirinya memiliki kompetensi, serta-merta wajib menjalankannya. Sementara orang-orang yang memandang dirinya tidak memiliki kompetensi, wajib mendorong orang-orang yang memiliki kompetensi untuk menjalankannya. Dengan demikian, semua orang saling menyokong untuk bangkit memikul kewajiban ini.

Imam asy-Syâthibî menyatakan: Melaksanakan kewajiban tersebut berarti mewujudkan kemaslahatan umum. Maka mereka secara keseluruhan dituntut untuk menunaikannya. Sebagian di antara mereka mampu melakukannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mewujudkannya. Sementara yang lain, meskipun tidak mampu untuk mewujudkannya, namun mampu mewujudkan orang-orang yang mampu melakukannya. Maka siapa saja yang mampu mewujudkan kekuasaan, maka dia dituntut untuk menegakkannya. Dan siapa saja yang tidak mampu mewujudkannya, maka ia dituntut dengan perintah lain, yaitu mewujudkan orang yang mampu itu dan memaksanya untuk menegakkannya. Dengan demikian, orang yang mampu dituntut untuk menegakkan kewajibam sementara yang tidak mampu dituntut untuk mendorong yang mampu itu, karena tidak dapat sampai kepada terwujudnya orang yang mampu kecuali dengan usaha untuk mewujudkannya, atas dasar kaidah ‘sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu wajib.’ Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama Ushul Fikih baik dahulu maupun sekarang.

Sedayu, Sabtu, 17 Ramadhân 1436 H/04 Juli 2015 M 14:18 WIB





[1] Demikianlah yang dinyatakan oleh Dr. Shâbir. Barangkali yang beliau maksud, ada aktivitas menuntut ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, sehingga tidak menafikan adanya aktivitas menuntut ilmu yang sifatnya fardhu ‘ain. Wallâhu A’lamu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar