Senin, Juli 27, 2015

Khilâful Awlâ

Khilâful Awlâ

Apa itu khilâful awlâ? Sahaya mengenal istilah ini sejak membaca kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 1, di dalam pembahasan ‘Ishmah al-Anbiyâ` (Kemaksuman Para Nabi). Diterangkan di sana, pada halaman 136: yazûju ‘alaihim fi’lu khilâfil awlâ wahuwa fi’lu ba’dhil mubâhât dûna al-ba’dhi (bisa saja mereka [para nabi, pent.] melakukan khilâful awlâ, yaitu melakukan sebagian perbuatan yang mubah sambil meninggalkan perbuatan mubah lainnya).

Pada halaman 137 dijelaskan lagi: ...lâ takûnu af’âluhu shallallâhu ‘alaihi wasallam harâman walâ makrûhan, walâkin yajûzu an takûna khilâfal awlâ, lianna khilâfal awlâ yakûnu mubâhan minal mubâhât (perbuatan-perbuatan beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak ada yang haram maupun makruh, tetapi bisa saja beliau melakukan khilâful awlâ karena khilâful awlâ tergolong perkara-perkara yang mubah).

Syaikh Taqyuddîn an-Nabhânî rahimahullâhu, penulis kitab ini, memberikan keterangan lebih lanjut terkait hal ini pada pembahasan lain, yang diberi judul Lâ Yajûzu fî Haqq ar-Rasûl an Yakûna Mujtahidan. Di sana beliau menerangkan (hlm. 147-148):


Makna Khilâful Awlâ adalah bahwa di sana ada perkara yang mubah (boleh), tetapi sebagian pengamalannya lebih utama dibandingkan yang lain. Dan juga di sana ada perkara yang mandub (sunah), tetapi sebagian pengalamannya lebih utama dibandingkan sebagian yang lain. Misalnya, boleh saja seseorang tinggal di kota atau di tinggal di desa, tetapi tinggal di kota lebih utama dibandingkan tinggal di desa bagi orang yang  dapat mengelola urusan-urusan pemerintahan dan mengoreksi para penguasa. Maka, ketika ia tinggal di desa, ia telah melakukan khilâful awlâ. Contoh yang lain: memberikan sedekah secara rahasia dan terang-terangan adalah perkara yang mandub, tetapi memberikannya secara rahasia lebih utama dibandingkan memberikannya secara terang-terangan. Maka apabila ia seseorang memberikannya secara terang-terangan, ia telah melakukan khilâful awlâ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar