“Masya Allah” Kapan Diucapkan?
Sering kita
mendengar orang mengucapkan masya Allah (Arab: ما شاء
الله). Mungkin kita sendiri juga suka mengucapkannya. Namun apakah
ucapan tersebut telah disertai kesadaran tentang makna dan faidahnya? Tidak
kalah pentingnya juga, kapan sebaiknya kita mengucapkannya?
Bagi saya
pribadi, pertanyaan ini sudah terbersit sejak lama, lalu diperkuat saat ada yang
mengucapkan Subhânallâh yang konon tertukar momennya dengan Masya
Allah. Ada anggapan dari sebagian pihak bahwa Subhânallâh diucapkan
saat melihat sesuatu yang tidak disukai. Sedangkan apabila melihat sesuatu yang
disukai, maka yang diucapkan adalah Masya Allah. Benarkah anggapan
demikian? Saat di sebuah grup WA yang saya kelola ada pertanyaan tentang kapan
kita mengucapkan dua kalimat tersebut, saya tertarik untuk melakukan riset
kecil tentang hal ini.
Karena membahas
dua kalimat sekaligus mungkin akan terlalu panjang, maka untuk masing-masing
kalimat akan dibuat tulisan terpisah. Kebetulan –tidak ada yang kebetulan dalam
ilmu Allah– tidak lama sebelum ada pertanyaan di GWA yang saya sebutkan di atas,
saya membaca bahasan tentang ucapan Masya Allah di buku berjudul Kisah Orang-Orang Zhalim karya
Hamid Ahmad ath-Thahir. Karenanya bahasan ini saya dahulukan. Sebagian
penjelasan dari buku tersebut akan saya sarikan, insya Allah.
Makna Masya
Allah
Ejaan masya
Allah adalah ejaan yang telah terserap dalam Bahasa Indonesia. Dalam bahasa
aslinya, yaitu Bahasa Arab, kalimat ini terpisah dengan dua spasi, karena
memang terdiri dari tiga kata, yaitu mâ, syâ`a, dan Allãh.
Mâ artinya [sesuatu], [apa],
atau [apa saja].
Syâ`a bermakna [telah menghendaki]
Kata Allãh
dalam kalimat ini berkedudukan sebagai Subjek.
Maka
maknanya adalah sesuatu yang telah Allah kehendaki.
Saat kita
melihat sesuatu lalu mengucapkan Masya Allah, sesungguhnya kita
menyatakan: [ini adalah sesuatu yang Allah kehendaki], meskipun
kita tidak menzahirkan kata ini.
Anjuran
Mengucapkan Masya Allah
Dahulu ada
orang yang kaya raya memiliki dua buah kebun yang artistik dan sangat menawan,
sebagaimana diceritakan di dalam Surat Al Kahfi mulai ayat 32. Sayangnya, dia meyakini
bahwa semuanya itu tidak akan sirna. Tidak akan pernah ada kiamat. Kehidupannya
yang penuh kemewahan semacam itu akan berkekalan semata-mata. Bahkan jika dia
meninggal, Allah akan memberinya yang lebih baik dari itu.
Sikap
semacam itu disayangkan oleh teman pemilik kebun yang diajak berkunjung. Bentuk
keprihatinan sang tamu terhadap kawannya tersebut adalah dengan menyatakan
bahwa ketika memasuki kebun tersebut, seharusnya dia mengucapkan Mâ
syâ`aLlâhu lâ quwwata illâh billâh (ini adalah sesuatu yang Allah
kehendaki. Sama sekali tidak ada kekuatan untuk memilikinya kecuali berasal
dari Allah). Lihat teks aslinya di Surat al Kahfi ayat 39. Kalimat ini
mengandung kesadaran bahwa semua kekayaan tersebut semata-mata berasal dari
Allah.
Kapan Masya
Allah Diucapkan?
Ada beberapa
momen yang kita dapatkan dari hadis dan pernyataan ulama tentang kapan kalimat masya
Allah diucapkan. Berikut beberapa di antaranya.
1. Saat
memasuki rumah
Asyhab meriwayatkan
pernyataan dari Imam Malik bahwasanya beliau menganjurkan agar setiap orang
yang masuk ke dalam rumahnya untuk mengucapkan kata-kata tersebut. “Bagi setiap
orang yang memasuki kediamannya, sebaiknya ia mengucapkan kalimat tadi.”
Maksudnya kalimat di dalam Surat Al Kahfi ayat 39, yaitu: mâ syâ`Allâhu lâ
quwwata illâ billâh.
Oleh
seorang ulama bernama Wahb bin Munabbih, kalimat ini bahkan ditulis di pintu
rumahnya.
2. Ketika
memiliki sebuah hajat
Di dalam
kitab Zawâiduz Zuhdi karya Abdullah bin Ahmad terdapat riwayat tentang terkabulnya
doa Nabiyullah Musa ‘alaihissalâm yang telah lama tidak dipenuhi oleh
Allah. Setelah Nabi Musa mengkonfirmasi hal tersebut kepada Allah, Allah
menjawab bahwa disegerakannya hajat-hajat yang beliau minta adalah karena
beliau mengucapkan masya Allah.
3. Ketika
melihat sesuatu yang mengagumkan
Sahabat Nabi
yang meninggal paling akhir, Anas bin Malik –semoga Allah meridhoi beliau– meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang melihat sesuatu yang
mengagumkannya lalu ia mengucapkan [mâ syâ`aLlâhu lâ quwwata illâ billâh],
niscaya ia tidak akan terserang penyakit ‘Ain*”
* ‘Ain berarti
mata. Maksud dari penyakit ‘Ain adalah musibah yang diperantarai oleh kekaguman
atau kedengkian seseorang terhadap sesuatu. Ada orang-orang yang berpotensi
memberikan penyakit ‘Ain kepada orang lain. Misalnya si A melihat si B. si A
terkagum terhadap pakaian yang dikenakannya. Maka si B bisa jadi mendapat
celaka karena kekaguman si A tersebut. Bisa juga jika si A melihat si B, lalu
ia dengki dan membenci si B, maka si B bisa terkena penyakit ‘Ain dari si A.
Dengan demikian, penyakit ‘Ain bisa terjadi karena kekaguman yang menimbulkan
rasa suka atau kedengkian yang menimbulkan rasa dengki. Kecelakaan yang menimpa
si B bisa jadi tidak disadari oleh si A dan juga bukan karena kehendaknya. Namun
karena si A memiliki potensi ‘Ain, maka si B terkena celaka –dengan izin Allah.
Maka untuk mencegah terjadinya penyakit ‘Ain, salah satunya dianjurkan kepada seseorang
yang terkagum tentang sesuatu agar mengucapkan masya Allah seperti
terlihat di dalam riwayat di atas. Di dalam hadis yang lain disebutkan pula
ucapan lain, yaitu bârakallâhu fîk atau yang semisal denganya.
Wallâhu
A’lam.
Kunjungi FP Bahasa Arab Santai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar