Senin, Januari 19, 2015

Mempersiapkan Anak Mencapai Balig (1)

Mempersiapkan Anak Mencapai Balig (1)

Balig adalah salah satu dari sekian banyak kata bahasa Arab yang telah diserap oleh bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian balig adalah sampai umur; cukup umur; dewasa; akil balig. Akil sendiri diartikan sebagai berakal; cerdik; pandai. Sementara akil balig memiliki pengertian tahu membedakan baik dan buruk (laki-laki berumur 15 tahun ke atas); cukup umur; cukup akalnya; dewasa.

Pengertian seperti di atas kurang memberi gambaran pengertian yang dikehendaki oleh syariat. Kata bâligh, secara bahasa sebenarnya berarti orang yang sampai. Sedangkan sampai itu sendiri disebut balagha (dalam bentuk kata kerja) atau bulûgh (dalam bentuk kata benda). Kalimat balagha ash-shabiyy ‘anak itu kecil telah balig’, maknanya adalah adraka wabalagha mablagha ar-rijâl[1] ‘mencapai masa dewasa’.

Sedangkan dalam istilah fikih, bulûgh artinya intihâ`u haddi ash-shighar fî al-insân, liyakûna ahlan li at-takâlîfi asy-syar’iyyah ‘selesainya batas usia anak kecil pada manusia, untuk menjadi orang yang memiliki tanggungjawab untuk menjalankan beban-beban syariat.’[2] Atau dengan kata lain: ihtalama wa adraka waqta at-taklîf ‘mencapai masa taklîf (pembeban hukum)’.[3]

Artinya, seseorang yang telah menginjak usia balig, dia sudah memiliki tanggungjawab untuk terikat dengan hukum-hukum syariat dalam setiap aktivitasnya; dia berdosa jika melakukan maksiat dengan meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman, serta mendapat pahala jika melakukan kebaikan dengan mengerjakan kewajiban dan amalan sunah maupun meninggalkan keharaman dan aktivitas yang dibenci (makrûh).

Atas dasar itu, orang tua yang memiliki putra-putri perlu memperhatikan setidaknya dua hal, yaitu (1) tanda-tanda balig, dan (2) berbagai kewajiban dan keharaman. Pengetahuan terhadap poin pertama bertujuan agar para orang tua tahu kapan putra-putrinya telah memasuki masa balig. Sedangkan pengetahuan tentang poin kedua diperlukan agar para orang tua dapat mendidik putra-putrinya dengan kewajiban dan keharaman, sehingga mereka bisa menjalani kehidupan pasca-balignya dengan ketaatan penuh kepada Sang Pencipta. Para orang tua akan dimintai pertanggungjawaban atas pendidikan anak-anaknya.


Karangkajen, 28 Rabî’ul Awwal 1436 H/19 Januari 2015 M

Bersambung, In syâ Allâh.



[1] Ahmad Mukhtâr ‘Abdul Hamîd ‘Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1429 H/2008 M), hlm. 552
[2] Wuzârah al-Awqâf wa asy-Syuûn al-Islâmiyyah Kuwait, al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz` 8, hlm. 186
[3] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar