Minggu, September 01, 2013

RANTAI MOTORKU YANG PUTUS dan MISS WORLD

RANTAI MOTORKU YANG PUTUS dan MISS WORLD

Kemarin malam motor saya larikan ke arah selatan Jogja. Malam itu adalah jatah saya mengisi kajian malam Sabtu. Seperti isi khutbah siang tadi yang mengkritik agenda maksiat bernama Miss World dan para pembelanya (baik suka maupun tidak dengan acara tersebut), kali ini juga sudah diniatkan untuk membuka kajian dengan membacakan beberapa ayat yang ada kaitannya dengan nahi mungkar. Sayangnya, rantai motor saya putus di tengah jalan, sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Terpaksa saya meminta bantuan mas Beni dan mas Danang. Semoga Allah membalas kebaikan keduanya.

Karena tidak ada jadi mengisi kajian, saya tuliskan di sini saja apa yang ingin disampaikan malam itu. Kira-kira begini ceritanya:

Bagi sebagian orang, aksi berbagai elemen umat Islam menolak Miss World mungkin terlambat atau malah sia-sia. Pertama, karena ditolak ataupun tidak, mereka tidak mau tahu. Tidak berpengaruh. Telinga mereka sudah tuli. Kedua, panitia sudah berjuang selama tiga tahun untuk bisa menyelenggarakannya. Ketika panitia sudah mendapat hak penyelenggaran kontes asusila itu, masa iya mau membatalkan begitu saja karena adanya penolakan. Menolak sekarang itu terlambat. Seharusnya sejak dulu menolaknya. Ketiga, Miss World tidak melanggar hukum positif yang manapun. Jadi, jangan memaksakan kehendak. Negara ini bukan negara Islam, tapi negara demokrasi. Sah-sah saja orang menggunakan haknya untuk berekspresi.

Maka, saya ingin mengutip buku berjudul Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (Perintah Kepada Kebaikan larangan dari Kemungkaran) buah karya Ibnu Taimiyah yang diterjemahkan oleh Akhmad Hasan, diterbitkan Departemen Urusan Keislaman, Wakaf, Da’wah, dan Pengarahan Kerajaan Arab Saudi, cetakan kedua, tahun 1421. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh Dr. Muhammad Jamil Ghazy, yang mengulas beberapa ayat Alquran. Antara lain beliau menulis sebagai berikut:

Ayat Ketujuh:

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (163) وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (164) فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (165) فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (166)
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikian Kami mencoba mereka karena berlaku fasik.

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkat: ‘Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat keras?’ Mereka menjawab: ‘Agar kami punya alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka bertakwa.’

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka: ‘Jadilah kera yang hina!’.” (QS al-A’râf [7]:163-166)

Golongan yang Tiga

Ayat di atas menunjukkan, penduduk negeri itu terbagi tiga golonganL satu golongan berbuat mungkar, dan berbua durhaka dengan berburu di laut hari Sabtu; satu golongan melarang perbuatan yang dilakukan oleh golongan pertama dan menjauhi mereka; dan golongan ketiga berdiam diri, tidak melakukan perbuatan itu dan tidak melarangnya, tapi ia berkata kepada golongan (kedua) yang menentang: “Mengapa kalian mencegah mereka, padahal kalian sudah tahu mereka dicap sebagai orang-orang celaka, bahwa tersebab kesombongan mereka terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya – akan mendapat siksa dari Allah, karena cegahan kalian terhadap mereka itu tidak ada gunanya.”

Golongan kedua (yang menentang) menjawab: “Kami melakukan itu sebagai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kami karena perjanjian amar ma’ruf nahi mungkar yang telah dibuat-Nya dengan kami.” Kemudian Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan keselamatan bagi orang-orang yang melarang, dan kecelakaan bagi orang-orang zhalim.

Ibnu Katsir berkata: “Dan Allah tidak berbicara tentang orang-orang yang diam; karena balasan itu tergantung jenis amal perbuatan. Maka mereka tidak patut mendapat pujian, dan mereka tidak bebuat dosa besar sehingga perlu dicaci.”

Nasib Golongan yang Diam

Ar-Razi berkata: “Dan ketahuilah, sesungguhnya lafaz ayat ini menunjukkan, golongan yang melanggar aturan itu celaka, dan golongan yang mencegah dari yang mungkar selamat. Adapun orang-orang yang mengatakan: لم تعظون (mengapa kalian menasihati ...), para ulama tafsir berbeda pendapat, termasuk golongan manakah mereka itu?”

Ada riwayat dari Ibnu Abbas, tentang mereka, tidak dapat diberi keterangan yang jelas (tawaqquf), (karena kita harus bergantung pada keterangan asy-Syari’).

Dari Ibnu Abbas juga diterima riwayat:

“Celakalah dua golongan, dan selamatlah golongan yang melarang. Ibnu Abbas apabila membaca ayat itu, beliau menangis, dan berkata: ‘Sesungguhnya mereka yang tidak mencegah dari mungkar ini, celaka. Dan kami melihat beberapa hal yang kami mengingkarinya, kemudian kami dian dan tidak berkomentar apa-apa.’”

Al-Hasan berkata: Golongan yang diam, selamat. Maka dua golongan selamat, dan satu golongan lainnya celaka.

Para ulama yang berpendapat bahwa mereka selamat berhujjah bahwa perkataa mereka (لم تعظون قوما الله مهلكم أو معذبهم عذابا) ‘mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasa mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat keras’ menunjukkan mereka sangat menentang, dan tidak ikut memberi nasihat karena yakin, nasihatnya tidak akan digubris dan berbekas. Jika ada pertanyaan: Tidak memberi nasihat adalah maksiat, dan mencegah memberi nasihat juga maksiat. Maka mereka yang berbuat demikian tentu termasuk dalam firman Allah yang bermaksud: “... dan Kami timpakan kepada mereka orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan merkea selalu berbuat fasik.” Kami menjawab: Itu tidak mesti. Karena mencegah dari yang mungkar hanya kewajiban kifayah, yaitu jika sebagian telah ada yang melakukan, maka lepaslah kewajiban itu dari yang lain.[1]

Alasan Kepada Tuhanmu

Firman Allah:
قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
(mereka menjawab: “Agar Kami mempunyai alasan kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa.”) menunjukkan kewajiban mencegah dari yang mungkar tidak gugur meski diketahui cegahan itu tidak akan berhasil. Karena adanya penerimaan dan kepatuhan bukan termasuk syarat. Maka kalau hanya menjalankan suatu rukun dari rukun-rukun agama agama, dan cemburu kalau hukum-hukum Allah dan larangan-larangan-Nya dilanggar, tentu cukup sebagai hasilnya!

(Tulisan ini semoga masih Bersambung...)

Miliran, 25 Syawwâl 1434 H/1 September 2013 M 06:53




[1] Komentar: Kewajiban kifayah tidak gugur selama tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari kewajiban tersebut belum tercapai. Wallâhu A’lamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar