Senin, Agustus 09, 2010

Mengenal Ilmu Hadis

Pendahuluan

Umat manusia memiliki patokan-patokan tertentu dalam berpikir dan berbuat, baik disadarinya atau tidak, baik khas maupun kacau. Ada umat yang menjadikan maslahat sebagai patokan berpikir dan bertindak. Ada pula umat yang menjadikan hawa nafsu sebagai patokan. Ada lagi yang patokannya adalah sejarah. Umat yang lain menjadikan fakta sebagai patokan. Umat yang lain lagi mematok pemikiran dan tingkah lakunya berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat masyarakat setempat atau umat terdahulu. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Berbeda dengan semua umat yang mengambil patokan-patokan seperti di atas, kaum muslimin meyakini bahwa hanya hukum Allah yang sebenar-benarnya satu-satunya yang harus dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan di akhirat . Kaum muslimin dituntut oleh Allah untuk mengikuti wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad—semoga shalawat dan salam terlimpah atasnya. Titah Allah dan Rasul-Nya lah yang menjadi patokan bagi kaum muslimin dalam berpikir dan berbuat. Allah Ta’âlâ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisâ`: 59)

Berdasarkan ayat di atas, kaum muslimin diperintahkan untuk taat secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti al-Qur`ân, sedangkan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti al-Sunnah. Dari sini didapatkan kesimpulan bahwa patokan kaum muslimin adalah al-Qur`ân dan al-Sunnah . Patokan-patokan inilah yang sering disebut sebagai al-Dalîl (dalil) atau sumber hukum.
Dalam kesempatan ini, akan dibahas sekelumit mengenai sumber hukum Islam kedua, yaitu al-Sunnah, atau yang biasa juga disebut al-Hadîts (selanjutnya: Hadis).

Pengertian

Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrîr . Susunan yang ada dalam Hadis adalah berasal dari Nabi, bukan dari Allah Ta’âlâ, meskipun maknanya dari Allah Ta’âlâ, sama dengan al-Qur`ân .

Macam-Macam Hadis

Berbeda dengan al-Qur`ân yang keseluruhannya diriwayatkan secara mutawatir, Hadis ada yang mutawatir, ada pula yang ahad. Maka berdasarkan banyak dan sedikitnya periwayat, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap thabaqât yang tidak mungkin bagi mereka bersepakat dusta. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir. Hadis ahad terbagi lagi menjadi masyhûr, ‘azîz, dan gharîb. Hadis masyhûr adalah hadis yang periwayat di setiap thabaqâtnya terdiri dari tiga sampai empat orang. Demikian pula hadis ‘azîz, dengan periwayatnya berjumlah dua orang, serta hadis gharîb dengan periwayat hanya satu orang di minimal satu thabaqah.

Hadis ahad sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian: maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak). Hadis maqbûl ada dua jenis: shahîh (selanjutnya: sahih) dan hasan (selanjutnya: hasan). Hadis sahih harus memenuhi syarat-syarat: 1) sanadnya bersambung, 2) rawinya tsiqah , 3) terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadzdz (kejanggalan). Sedangakan hadis hasan sedikit di bawah sahih, yaitu ada satu atau lebih rawi yang kekuatan hafalannya di bawah standar rawi pada hadis sahih.

Hadis yang terkategori mardûd (tertolak) banyak sekali macamnya, yang semuanya dapat dimasukkan ke dalam jenis-jenis hadis dha’îf. Dengan kata lain, hadis mardûd adalah hadis dha’îf (lemah) , yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat hadis sahih dan sifat-sifat hadis hasan.

Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam tabel berikut:
Jenis Hadis Jumlah Râwî Keterangan
Mutawâtir 5 atau lebih merata dalam setiap thabaqât
Ahad: 1-4 -
a. Maqbûl (Sahih dan Hasan)
1) Masyhûr 3-4 tidak boleh kurang dalam satu thabaqat pun
2) ‘Azîz 2 tidak boleh kurang dalam satu thabâqât pun
3) Gharîb 1 minimal dalam satu thabaqah
b. Mardûd 1-4 ada satu atau lebih syarat hadis maqbûl tidak terpenuhi

Faidah

Hadis mutawatir berfaidah qath’î (pasti, meyakinkan), sehingga dapat dijadikan hujjah (argumentasi) dalam masalah akidah. Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi s.a.w. yakni Al-Quran dan berita dari Nabi s.a.w. yang mutawatir dan memenuhi syarat-syaratnya. Sedangkan hadis ahad yang terkategori maqbûl, meskipun tidak berfaidah qath’î, tetapi zhannî, namun tetap dapat dijadikan sebagai dalil dalam perkara hukum.

Adapun hadis dha’îf, sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah , baik dalam perkara akidah, hukum, maupun fadhâ`il al-‘amal. Bahkan, tidak dibolehkan mengambil dalil dengan hadits dla’if sama sekali dengan cara apapun.

Bagian-Bagian Hadis

Hadis terdiri dari sanad dan matan. Sanad adalah mata rantai periwayat, sedangkan matan adalah substansi hadis yang merupakan perkataan, perbuatan, ataupun taqrîr Nabi. Sebagai contoh, diambilkan salah satu hadis dari kitab Shahîh Ibn Hibbân nomor 4656:
أخبرنا أبو يعلى ، قال : حدثنا محمد بن يزيد بن رفاعة ، قال : حدثنا أبو بكر بن عياش ، عن عاصم بن أبي النجود ، عن أبي صالح ، عن معاوية قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية »
Abû Ya’lâ mengabari kami, ia berkata: Muhammad bin Yazîd bin Rifâ’ah menuturkan kepada kami, ia berkata: Abû Bakr bin ‘Iyâsy menuturkan kepada kami, dari ‘Âshim bin Abî al-Najûd, dari Abî Shâlih, dari Mu’âwiyah, ia berkata: Rasûlullâh—semoga shalawat Allah atasnya—bersabda: <>

Di dalam hadis di atas, rangkaian nama-nama periwayat dari Abû Ya’lâ sampai Mu’âwiyah disebut sebagai sanad. Sedangkan matan di dalam hadis tersebut, yang dalam hal ini merupakan sabda Nabi, diberi tanda dua kurung sudut.

Wallâhu A’lam bish-Shawâb.

Padepokan Panatagama, 18 Muharram 1431 H/3 Januari 2009 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar