Senin, Agustus 16, 2010

Menutup Aurat

Menutup aurat adalah syarat sah dan diterimanya shalat. Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima shalat seorang muslim yang dilakukan dengan membuka aurat, baik laki-laki maupun perempuan, baik ia dilihat oleh manusia dalam shalatnya maupun shalat sendirian. Maka sudah selayaknya seorang yang shalat untuk menutup auratnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ...

Wahai Bani Adam, pakailah perhiasanmu pada setiap pergi ke masjid.
(al-A’râf:31)

Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu menyebutkan sebab turunnya ayat ini:

«كانت المرأة إذا طافت بالبيت تُخرج صدرَها وما هناك فأنزل الله تعالى خُذوا زينتَكم عند كل مسجد»

Dahulu para wanita apabila berthawaf di Baitullah mengeluarkan dadanya dan aurat yang ada padanya. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya): “Pakailah perhiasanmu setiap ke masjid.” (HR. al-Baihâqî)

Dengan demikian perhiasan yang dituntut oleh ayat ini adalah pakaian dan penutup aurat. Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ meriwayatkan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إذا صلَّى أحدُكم فَلْيَتَّزِرْ ولْيَرتدِ»

Jika salah seorang di antara kalian melakukan shalat maka hendaklah ia memakai izar (kain penutup setengah bagian tubuhnya dari bawah), dan memakai baju. (HR. Ibnu Hibbân, Ahmad, al-Baihâqî, dan ath-Thahâwî)

Dari ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anhâ dari Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam, beliau bersabda:

«لا يقبل الله صلاة حائضٍ إلا بخمار»

Allah tidak menerima shalat seorang wanita yang telah haidh kecuali dengan memakai khimar (kerudung; kain penutup kepala). (HR. Ibnu Mâjah, Ahmad, Abû Dâwud, dan Ibnu Hibbân).

Persoalan menutup aurat ketika shalat ini adalah perkara yang umum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Namun, banyak kaum muslimin yang belum menyadari bahwa kewajiban menutup aurat tidak sebatas ketika melaksanakan shalat saja, melainkan di luar shalat juga seorang yang beriman wajib menutup aurat mereka. Aurat pria dan wanita di dalam maupun di luar shalat adalah sama, yaitu dari pusar sampai lutut untuk pria; seluruh badan kecuali wajah dan dua telapak tangan untuk wanita. Jika seseorang melalaikan kewajiban ini, maka ia berdosa.

Sayang sekali, kaum muslimin banyak yang membuka aurat mereka di luar shalat. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan untuk menutupnya. Fenomena ini menimpa kaum laki-laki, lebih-lebih perempuan. Padahal, Nabi bersabda:

لا ينظرالرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة\

Tidak boleh seorang laki-laki memandang aurat laki-laki lain, tidak boleh pula seorang wanita memandang aurat wanita lain. (HR. Muslim)
Sering terlihat kaum Adam bermain bola tanpa menutup aurat. Salah satu alasannya, untuk berolahraga perlu bergerak bebas, sehingga ribet kalau harus memakai celana panjang. Alasan ribet telah mengalahkan tuntunan agama. Kaum Adam tidak takut lagi melakukan dosa dengan alasan yang sangat sepele. Padahal dengan menutup aurat, kegiatan olahraga tidak akan terlalu terganggu. Malah, dengan mengikuti tuntutan Islam, olahraga akan lebih berpahala dan lebih berkah. Sebab, dengan melaksanakan perintah Allah, seseorang akan mendapatkan pahala dan berkah.

Demikian juga kaum wanita saat ini banyak yang tidak mengenakan kerudung dan jilbab di luar shalat. Padahal mereka bertemu dengan orang-orang yang bukan mahram. Seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya di depan lelaki yang bukan mahramnya. Bahkan tidak sedikit kaum wanita yang mengumbar auratnya dengan hanya mengenakan dua lembar kain minim di tubunya dan berpakaian seronok di depan khalayak ramai. Kehormatan mereka tak lagi terjaga gara-gara mereka tidak lagi memperhatikan tuntunan agama. Sayangnya, mereka merasa nyaman dengan hal itu.

Demikianlah salah satu fenomena yang marak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin, termasuk Indonesia. Maraknya kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak lain terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kurangnya pemahaman individu mengenai ajaran Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap individu muslim untuk memperdalam ilmu agama dengan pemahaman yang sempurna meliputi seluruh aspek kehidupan. Kedua, tidak diterapkannya syariat Islam oleh negara. Padahal negara wajib menjadikan syariat Islam sebagai system aturan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Tidak diterapkannya syariat Islam oleh negara merupakan dosa besar yang mengakibatkan terbengkalainya banyak kewajiban dan maraknya berbagai bentuk kemaksiatan. Karena hal ini merupakan dosa besar, maka para penguasa yang terus-menerus melakukannya tidak termasuk orang-orang yang dijanjikan ampunan di bulan Ramadhan. Nabi bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, merupakan penghapus dosa di antara keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar. (HR. Muslim dan Ahmad).

Jelas dalam hadis ini, dosa-dosa besar tidak termasuk dosa yang diampuni dengan berkah Ramadhan. Pelaku dosa besar (termasuk penguasa yang tidak menerapkan apa yang diturunkan Allah) harus bertobat kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Semoga Ramadhan tahun ini dapat menjadi momen perubahan individu muslim dan penguasa mereka ke arah ketaatan total kepada Allah. Aamiin.

Padepokan Panatagama, 6 Ramadhan 1431 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar