Jumat, Agustus 13, 2010

Tafsir Surat al-Mâ’ûn

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mâ’ûn [107]:42-47)

Surat al-Mâ’ûn terdiri atas 7 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah sura at-Takâtsur. Nama al-Mâ’ûn diambil dari kata tersebut yang terdapat pada akhir surat. Pokok-pokok isinya adalah beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama serta ancaman bagi orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya.

Ayat pertama surat ini berisi pertanyaan Allah kepada Nabi Muhammad: Tahukah engkau orang yang mendustakan ad-Dîn? Ad-Dîn yang dimaksud dalam ayat ini adalah balasan berupa pahala dan dosa. ‘Ikrimah dan Mujâhid menyatakan ad-Dîn artinya perhitungan amal (al-Hisâb). Dapat juga bermakna hukum Allah (Hukmullâh) seperti dinyatakan oleh seorang sahabat Nabi yang dijuluki Turjumanul Qur`ân, Ibnu ‘Abbâs—radhiyallâhu ‘anhumâ.

Ayat ini menyapa Nabi Muhammad dengan redaksi tunggal ‘engkau’. Tetapi bukan berarti ayat ini hanya ditujukan kepada beliau seorang. Sebab, Nabi adalah teladan bagi kaum muslimin. Sehingga seruan kepada Nabi juga berlaku bagi orang-orang mukmin. Artinya, ayat ini berlaku secara umum untuk seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat kaidah:

خِطَابُ الرَّسُولِ خِطَابٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Seruan untuk Rasul merupakan seruan bagi kaum mukminin juga

Digunakannya kalimat tanya di dalam ayat ini adalah untuk memancing pembaca agar mau berpikir. Jadi, Allah bertanya bukan berarti tidak tahu. Allah Mahatahu. Buktinya, Allah sendiri kemudian yang menjawab pada ayat selanjutnya. Dengan kalimat tanya, diharapkan orang-orang yang membaca atau mendengarkan ayat ini tergugah kesadarannya dan terdorong untuk menyimak kandungan ayat ini.

Jika engkau tidak tahu siapa itu yang mendustakan agama, maka ketahuilah bahwa orang yang mendustakan ad-Dîn itu adalah orang yang mencela anak yatim (alladzî yadu’’ul yatîm). Inilah yang dinyatakan dalam ayat kedua. Kalimat yadu’’ul yatîm dapat juga berarti mencegah anak yatim mendapatkan haknya dengan cara yang zhalim. Yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya sebelum ia baligh. Inilah ciri pertama sikap mendustakan agama.

Sifat kedua disebutkan pada ayat ketiga, yaitu tidak mendorong dirinya sendiri maupun orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin. Istilah miskin sering disandingkan dengan istilah fakir, karena sifat keduanya mirip. Namun kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Fakir adalah seorang yang memiliki harta, namun pengeluaran lebih besar dari penghasilannya. Dengan kata lain, penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak memiliki harta maupun penghasilan. Hanya saja, apabila salah satu dari kata itu disebut sendirian, maka yang dimaksud adalah kedua makna tersebut. Sedangkan apabila disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki arti sendiri.

Ayat keempat berisi celaan terhadap orang-orang yang shalat. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Jadi, tidak semua orang yang shalat itu selamat. Mengapa orang-orang yang shalat bisa celaka? Ayat kelima menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Ayat kelima menyatakan: yang mereka itu lalai dari shalat mereka. Mereka melalaikan shalat sehingga mengakhirkan shalat dari waktunya. Jadi, orang-orang yang melalaikan shalat dengan cara mengakhirkan waktu shalat, mereka itulah yang celaka.

Alasan lain mengapa orang yang shalat bisa celaka adalah karena pelaksanaan shalat mereka maupun amal ibadah lain yang mereka lakukan didasari oleh keinginan untuk dilihat orang lain. Dan orang-orang yang mereka berbuat riya, baik dalam shalat maupun amal selain shalat. Hal ini dinyatakan dalam keenam.

Riya adalah menginginkan keridhaan manusia ketika bertaqarrub (melakukan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat, zakat, membaca al-Qur`ân, dll). Riya termasuk aktivitas hati bukan aktivitas lisan dan anggota badan lainnya. Riya hakikatnya merupakan tujuan dari perkataan atau perbuatan. Jadi, di dalam riya terjadi pengalihan tujuan taqarrub; yang sejatinya ditujukan hanya untuk Allah semata menjadi karena manusia. Karena itu perkataan dan perbuatan taqarrub bukanlah riya itu sendiri, melainkan tempat adanya riya. Sedangkan riya itu sendiri adalah tujuan dari taqarrub, bukan yang dituju—ketika yang dituju adalah ridha manusia. Apabila tujuan dari suatu taqarrub berserikat antara Allah dan manusia, maka taqarrub seperti itu adalah haram. Lebih parah lagi dari hal ini, jika taqarrub tersebut murni ditujukan untuk manusia, bukan untuk Allah.

Dibatasinya riya hanya dalam hal taqarrub karena pada selain taqarrub tidak ada riya. Misalnya, ketika melakukan transaksi jual-beli dilihat banyak orang, atau berhias diri dengan pakaian yang dibolehkan, atau yang lainnya. Adapun pembatasan riya dengan ridha manusia, adalah ditujukan untuk mengecualikan maksud-maksud yang lainnya. Seperti maksud ingin mendapatkan manfaat materiil pada saat melaksanakan ibadah haji.

Taqarub bisa berupa aktivitas ibadah (ritual), bisa berupa aktivitas lainnya. Orang yang melamakan sujudnya, orang yang bersedekah, dan orang yang berjihad karena ingin dilihat manusia adalah orang-orang yang riya. Orang yang menulis naskah karena ingin dikatakan sebagai orang yang berilmu adalah orang yang riya. Orang yang berpidato karena ingin membuat orang terkagum-kagum adalah orang yang riya. Orang yang khutbah karena ingin dikatakan sebagai khatib yang baik adalah orang yang riya. Orang yang memakai baju ditambal-tambal karena ingin dikatakan sebagai orang yang zuhud adalah orang yang riya. Orang yang memanjangkan jenggotnya dan orang yang tidak mengulurkan bajunya sampai ke mata kaki karena ingin dikatakan sebagai orang yang melaksanakan sunah adalah orang yang riya. Orang yang senantiasa makan kacang adas karena ingin disebut sebagai orang yang menjalani kehidupan asketis adalah orang yang riya. Orang yang mengundang ribuan orang karena ingin dikatakan sebagai orang yang dermawan adalah orang yang riya. Orang yang menundukan kepalanya ketika berjalan karena ingin dikatakan sebagai orang yang rendah hati adalah orang yang riya. Orang yang membacakan al-Quran dengan suara yang keras di malam hari karena ingin didengar tetangganya adalah orang yang riya. Orang yang membawa mushaf kecil dan ia sangat ingin dilihat manusia hingga mereka menyukainya adalah orang yang riya.

Kita saat ini tengah berada di suatu masa di mana manusia sudah tidak malu lagi berbuat riya. Bahkan secara umum manusia tidak mengetahui fakta dan hukum-hukum seputar riya. Bukti nyata hal ini adalah tampaknya berbagai macam penutup kepala (kopiah) yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. Az-Zubaidi dan ash-Shafi telah mengeluarkan dalam al-Kanz dan al-Hâkim, at-Tirmidzi dalam an-Nawâdir, serta Abû Nu’im dalam al-Hilyah. Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Nanti di akhir zaman akan terdapat “Didan al-Qurra”17. Siapa saja yang hidup di zaman itu, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk dan dari mereka (Didan al-Qurra). Mereka adalah orang-orang yang berbau busuk. Kemudian akan bermuculan berbagai jenis penutup kepala dan jubah (Qalânîs al-Barûd), maka manusia sudah tidak lagi merasa malu dari riya. Orang yang berpegang teguh pada agamaku saat itu bagaikan orang yang menggenggam bara api. Orang yang berpegang teguh pada agamanya pahalanya seperti pahala lima puluh orang. Para sahabat berkata, “Apakah lima puluh itu dari mereka atau dari kami?” Rasulullah saw. bersabda, “Dari kalian.”

Kata al-Qalânis pada hadits ini adalah bentuk jamak dari Qalansuwah artinya kopiah (penutup kepala). Kata al-Barud adalah bentuk jamak dari kata Bardun. Ungkapan Qalanisul barud ini adalah kinayah (kiyasan) dari tokoh agama yang membedakan dirinya dengan yang lain dengan cara memakai kopiah dan jubah; tanpa memandang orang yang dibalut oleh kopiah dan jubah tersebut. Penilaian orang berdasarkan hal-hal seperti ini, yang telah dinyatakan sebagai tanda-tanda orang yang tidak punya rasa malu adalah bagian dari riya.

Ayat terakhir surat ini menerangkan lagi sifat orang yang celaka dalam shalatnya, yaitu mereka yang tidak mau menolong dengan barang yang berguna atau tidak mau membayar zakat. Ayat terakhir menyatakan: Dan enggan atau mencegah menolong dengan al-Mâ’ûn. Al-Mâ’ûn adalah benda-benda yang berguna di dalam rumah tangga seperti jarum (al-Ibrah), kapak (al-Fa’s), periuk, kuali (al-Qidr), mangkuk ceper besar (al-Qash’ah), air (al-Mâ`), pelana (al-Hâl), timba (ad-Dalw), korek api (al-Qadâhah), api (an-Nâr), garam (al-Milh), dan yang sejenisnya. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-Mâ’ûn sebagai zakat. Dengan demikian ayat terakhir ini mencela orang-orang yang tidak mau memberi pertolongan dengan barang-barang rumah tangga yang berguna. Atau dapat pula diartikan mereka enggan membayar zakat yang diwajibkan atas mereka.

Demikianlah sifat-sifat orang yang shalat namun celaka. Sebagian orang ada yang sangat buruk dalam memahami ayat-ayat ini. Mereka meninggalkan shalat dengan alasan bahwa orang-orang yang shalat akan celaka. Padahal, tidak semua orang yang shalat celaka. Kecelakaan orang-orang yang shalat bukan karena shalat itu sendiri melainkan karena sifat-sifat lain yang bertentangan dengan tujuan yang dituntunkan oleh Islam dalam melakukan suatu aktivitas taqarrub. Dengan demikian, tidak alasan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat. Justru orang-orang yang meninggalkan shalat secara sengaja diancam oleh Allah Ta’ala dengan neraka Saqar.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?". Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian". (QS. al-Muddatstsir [74]: 42-47)







Referensi:

1. Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Depag RI.

2. Tafsîr al-Jalâlain, Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn as-Suyûthi.

3. Ahkâm al-Qur`ân li asy-Syâfi’î, Imam a-Bayhâqî.

4. I’râb al-Qur`ân, Muhyiddîn Ahmad Mushthafâ Darwîsy.

5. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ`, Rawas Qal’ah Jî.

6. Tafsîr al-Munîr, Wahbah Mushthafâ az-Zuhailî.

7. Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, Taqyuddîn an-Nabhânî.

8. An-Nukat wa al-‘Uyûn, Imam al-Mâwardî.

9. Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, ‘Athâ` bin Khalîl Abû Rusytah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar