Minggu, Juni 24, 2012

Journey to Depok


16 Juni 2012

Terimakasih untuk Muldan yang telah mengantarkanku sampai terminal Giwangan. Hari ini, demi memenuhi janji kepada seseorang, aku memesan tiket Sinar Jaya kelas ekonomi. Ingat, aku naik bus kelas ekonomi karena yang namanya bus ber-AC itu dingin, dan saya tidak suka. Selain itu uangnya juga terbatas. :)

Sayangnya, ternyata kelas ekonomi yang saya naiki ini pun berpendingin. Wah,,,

Berangkat tak lama setelah terdengar azan Asar, bus tiba di terminal Kebumen sekitar pukul 18.30. kata sopir, “Silakan manfaatkan waktu untuk ke kamar kecil, dan lain-lain. Kita berhenti agak lama.” Alhamdulillah, ada kesempatan untuk menjamak Maghrib dengan Isya. Biasa sebenarnya. Yang agak sulit itu solat Subuh. Seringkali bus tidak berhenti untuk memberi kesempatan para penumpang menunaikan ibadah yang lebih baik dari langit dan bumi itu. Lha supirnya sendiri ndak solat sih. Maksud saya, sebagian supir. Karena ternyata salah satu supir bus yang kutumpangi kali ini solat Subuh bersamaku.

Usai solat, aku duduk di dekat bus, jejer kanan seorang bapak pedagang asongan. Aku tersenyum. Beliau juga melakukan hal yang sama. “Akuanya, mas.” Beliau menawarkan. “Mboten riyin, pak,” jawabku. Lalu kami berbincang.

Beliau adalah bapak dari tujuh anak. Lima di antaranya sudah menikah. Sedangkan dua yang lain tinggal menunggu hari pernikahan. Empat kerja dan tinggal di Serang, dua di Bandung. Hanya satu orang yang masih tinggal bersama beliau. Semua anaknya tidak ada yang kuliah. Semuanya hanya lulus STM. Begitu kata beliau.

Bapak itu berpeci. Saya kira beliau orang yang cukup relijius. “Berdagang seperti ini cukup untuk menghidupi keluarga, pak?,” tanyaku, sekedar menyambung pembicaraan. “Alhamdulillah, mas, cukup. Yang penting tekun,” jawab beliau.

Karena bus sudah akan berangkat lagi, aku pamitan. Sebotol susu aku beli dari beliau.
Perjalanan dilanjutkan. Sambil menikmati perjalanan, sesekali aku habisi satu per satu bakpia pathuk. Atau minum seteguk-dua teguk air. Sampai akhirnya aku terserang kantuk dan tertidur. Sekitar jam sepuluh, aku terbangun. Jalan yang asing. Aku merasa ini bukan jalur selatan yang biasanya aku lalui. Tidak heran, sebab sebelumnya pak sopir terdengar bercakap melalui ponsel tentang rute alternatif yang bisa ditempuh. Jalur selatan ada perbaikan, pasti macet.

Aku ambil kacamata di tas. Kuamati jalan. Gelap. Belum ada tulisan yang bisa kubaca. Sampai akhirnya kulihat sebuah tulisan: Banjar. Hei, daerah mana ini? Aku belum pernah dengar kota bernama Banjar di daerah Jawa Tengah. Mungkin Banjarnegara? Aku amati lagi jalan di kiriku. Beberapa kali nama itu kulihat lagi. Benar-benar Banjar. Jadi, ini bukan Banjarnegara. Lalu Banjar mana? Ndak mungkin Banjarmasin kan? Hehe,,

Setelah mengamati, berpikir, dan mengais-ngais ma’lumat as-sabiqah, aku tahu, ini sudah masuk daerah Jawa Barat. Terbukti kemudian, bus melewati Ciamis, lalu muncul papan nama seperti Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, dll; nama-nama yang memastikan bahwa kami sedang berada di tatar pasundan. Subhanallâh.

Ya sudah, tidur lagi saja.

17 Juni 2012

Dan akhirnya, sampailah di Cibitung. Kononnya, itu hanya sejam lagi menuju terminal tujuan. Waktu itu masih sekitar jam 5 pagi, dan bus akan berhenti cukup lama. Jadi, Alhamdulillah, ada kesempatan untuk solat Subuh.

Aku pergi ke musola. Karena perlu ada yang dibuang, kucari pula toilet. Tapi, wow, antri. Dan yang lebih penting: pesing sekali! Gagallah aku membuang sesuatu. Kuputuskan langsung ambil air wudu. Di musola, jamaah sebelumnya sudah bubaran. Ada beberapa orang yang masuk, termasuk seorang bapak yang usianya kukira baru tiga puluh tahun, langsung azan. Selepas itu, ia mempersilakanku menjadi imam. Aku tak menolak.

Solat berjalan lancar-lancar saja. Tetapi… saat aku hendak sujud setelah i’tidal di rakaat kedua, aku mendengar suara, “Subhanallah.” Aku kaget. Ada yang protes? Ada apa ini? Tak menunggu lama, aku sadar, ini solat Subuh. Sebagian kaum muslimin merasa kurang mantap kalau tidak melakukan doa qunut. Bahkan jika doa tersebut tertinggal, perlu kiranya melakukan sujud sahwi di akhir solat. Tapi saat itu kuputuskan untuk tetap melanjutkan sujud. Dalam hati, kukatakan, “Maaf, pak, saya tak terbiasa melakukannya. Dan maaf, saya lupa member kesempatan kepada Anda untuk melakukannya.”

Selesai solat, bersalam-salaman, zikir sebentar, kembalilah kami ke bus. Siap melanjutkan perjalanan.

Dan… akhirnya sampailah aku di terminal tujuan. Weh, lebih dari sejam ini mah. Sekarang, tinggal menunggu dua orang menjemputku. Sembari itu, sebaiknya aku beli dan baca Koran dulu. Di antara beberapa, ada yang paling menarik: Tolak Lengser, Anas Pasang Badan; SBY Harus Tegas. Wah, seru kayaknya. Saya sih berdoa, semoga kalian binasa saja. SBY, sekaligus Partai Demokratnya. Apa sih nilai demokrasi selain sebagai sampah yang tak berharga?

Lalu ponselku berbunyi. “Mas Shofhi di mana?”. “Di depan terminal,” kubilang. Sambil menjelaskan kordinat posisi asal-asalan. Toh ia bisa melihat juga. “Oh, iya,” katanya. Kuarahkan pandangan menuju lokasi para angkot berdatangan. Yak, dia ada di sana!
Kami bertemu dan ditawari makan lontong sayur. Oke, pagi-pagi perlu sarapan. Lalu perjalanan kami lanjutkan dengan naik angkot.

Supir angkot yang kami tumpangi tampak kurus dan tua. Aku coba menyapa, “Asli mana, pak?” tidak ada jawaban. Biasa, aku agak kurang jelas kalau bicara. Akhirnya kuurungkan niat. Mungkin diam lebih baik. Tetapi akhirnya kesempatan itu datang juga. Aku kembali bertanya, “Asalnya dari mana, pak?”. Ternyata beliau dari Magelang. Selanjutnya beliau yang lebih banyak bercerita. Apalagi setelah mendengar saya kuliah di Jogja.

Beliau curhat. Beberapa waktu yang lalu sempat berencana pulang ke kampung halaman. Tidak, rencana itu batal. Ada anaknya yang ingin menikah dengan anak sini, meski akhirnya tidak jadi. “Di sini, mas, banyak juga saudara. Tetapi tidak bisa diharap banyak bantuannya. Sekali dua kali minta tolong, sudah cukup. Selanjutnya, kamu ya kamu, saya ya saya. Bapak itu punya utang, kalau dihitung mungkin mencapai tiga puluh juta. Pinjam duit ke bank harian, bank mingguan, bank bulanan. Untungnya bos yang sekarang baik. Orang Batak, mas. Tapi baik, tidak seperti bos yang lain.”

Masih panjang apa yang beliau keluhkan, aku tak ingat semuanya. Yang melekat adalah, ketika beliau mengulurkan tangan kanannya memberikan selembar uang sepuluh ribu kepada seorang pemuda. Kukira itu pungli. Maka aku tanya, “Itu tadi untuk apa, pak?” Dan beliau pun dengan senang hati menjelaskan. Ternyata itu adalah setoran harian, atau yang tadi disebut dengan istilah bank harian. Beliau meminjam uang sebesar dua ratus ribu dan harus dicicil setiap hari selama 27 hari. Wow, artinya beliau harus membayar rente sebesar 35% dari uang yang dipinjamnya! Betapa jahatnya para rentenir itu.

Di Solok, kata teman yang menjemput saya, kasus seperti itu lebih banyak lagi. Di sana banyak lintah darat. Atau istilah lainnya: bank 46. Pinjam 4, kembali 6. “Apa hal seperti itu tidak melanggar hukum?,” tanyaku. “Hukum apa dulu? Hukum Islam atau hukum apa?” “Ya jelas hukum positif, dong. Kalau hukum Islam kan jelas haram.” “Kalau sama-sama setuju, ya ndak.” “Bagaimana dengan debth collector?” tanyaku lagi. “Nah, kalau itu, baru melanggar.” “Tapi kok bank-bank itu banyak yang menggunakan jasa debth collector?” “Ya, kalau tidak, bagaimana mereka menagih?” “Tapi kok dibiarkan? Apa mereka legal?” “Ilegal.” Sekarang aku ingat, mas Agung—gurunya mas Zulnaro yang suka membantu orang-orang lemah dalam menghadapi para lintah darat—pernah menyatakan bahwa ada sekitar 30 pasal (saya ragu jumlah pastinya) yang bisa menjerat tindakan-tindakan intimidasi dan perilaku tidak menyenangkan yang sering dilakukan para teroris bernama debth collector itu. Menarik. Perlu untuk ditanyakan.

Kini tibalah kami di rumah. Aku dipersilakan masuk, bertemu beberapa orang, berbincang-bincang. Apa yang kami perbincangkan? Secret lah ya… :)

Yang jelas aku disuguhi makanan yang cukup lezat. Sayangnya, tidak mungkin saya melahap semua hidangan. Perut saya bukan karet kok ya. Jadi, maaf ya … , tuan rumah …
Bersambung … (kalau sempat) :D

Miliran, 24 Juni 2012

1 komentar:

  1. hmmmz,ea sma2 sya sbgai teman ny. menarik juga ya ustzd q perjalanan nya mau pulang, bsa di jadikan peljran bagi kita temen2, nah kaya ustzd kita klw pulang tuh bagi2 cerita,.! tpi cerita ny yg menarik loe, kaya ustzd kita ini,.. tetaplah berjuang.

    BalasHapus