Senin, Oktober 08, 2012

Sekularisme dan Dusta Atas Nama Allah


Sekularisme dan Dusta Atas Nama Allah

Di dalam Quran Surat Yûnus [10]:69 terdapat pernyataan bahwa orang-orang yang berdusta atas Nama Allah tidak akan beruntung. Contoh berdusta atas Nama Allah adalah mengatakan Allah mengangkat anak, sebagaimana terdapat dalam ayat sebelumnya, Yûnus [10]:69. Contoh lainnya adalah menyatakan bahwa Allah memerintahkan ini dan itu, padahal Allah tidak memerintahkannya, sebagaimana dapat dipahami dari salah satu dialog dalam hikayat sapi betina pada zaman Nabi Mûsâ yang terdapat di dalam surat al-Baqarah [2]:67.
Di dalam ayat tersebut disebutkan bahwa Nabi Mûsâ ‘alaihissalâm memerintahkan kaumnya untuk menyembelih sapi betina atas suruhan Allah. Mendapat perintah sedemikian, Bani Israil merasa tersindir, karena sebelumnya mereka menyembah patung anak sapi (al-‘ijl). Jenis binatang yang dulu patungnya dijadikan objek sesembahan kini diperintahkan untuk disembelih. Tak heran jika mereka serta-merta menuduh Mûsâ ‘alaihissalâm sedang berolok-olok. Namun tuduhan itu dibantah oleh Nabi Mûsâ dengan menyatakan bahwa dirinya berlindung kepada Allah dari menjadi salah satu di antara orang-orang jahil, aku berlindung kepada Allah dari menjadi termasuk dari orang-orang jahil. Perintah Allah bukanlah sesuatu yang pantas dijadikan bahan olok-olok.
Jelaslah bahwa mengatakan sesuatu tentang Allah memerlukan sandaran sumber yang valid. Jika tidak, maka pelakunya dapat dianggap melakukan sebentuk kejahilan karena telah menjadikan Allah sebagai bahan olok-olok.
Sayangnya, kejahilan semacam ini kerap kita temui dalam pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat, antara lain berupa ide sekularisme, Hak Asasi Manusia, dan lain-lain. Contohnya adalah apa yang dikatakan Thomas Paine dalam catatan kaki buku The Rights of Man, yang diterjemahkan oleh Hermoyo dan diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 2000 dengan judul Daulat Manusia, halaman 107-108:

Ada satu pemikiran yang, jika masuk ke pikiran yang tepat, apakah dari sisi hukum atau agama, yang akan mencegah manusia mana pun, atau kelompok manusia mana pun, berbuat salah dalam berhubungan dengan agama: pemikiran ini adalah, sebelum lembaga pemerintahan buatan manusia muncul di bumi, telah ada, jika saya diizinkan mengatakannya demikian, suatu kesepakatan antara Tuhan dan manusia pada awal waktu; dan karena hubungan dan keadaan yang ada antara manusia dan Penciptanya tidak dapat diubah oleh hukum manusia mana pun atau oleh kekuasaan manusia, maka keyakinan agama, yang merupakan bagian dari kesepakatan itu, tidak dapat dijadikan objek hukum manusia. Dan semua hukum harus menyesuaikan diri pada kesepakatan awal ini, dan tidak melakukan sebaliknya, yakni menyesuaikan kesepakatan awal itu dengan hukum buatan manusia. Langkah pertama yang diambil manusia, ketika ia melihat ke sekitarnya dan melihat dirinya makhluk yang bukan buatannya sendiri dan dunia sudah terkembang untuk menerimanya, pastilah keyakinan agama. Dan keyakinan agama pasti selalu suci bagi setiap manusia. Dan pemerintah salah besar bila campur tangan dalam keyakinan agama.

Meski pernyataan Paine tersebut ditulis pada abad 18 Masehi, tak dapat dipungkiri bahwa ide semacam itu banyak dianut oleh manusia dewasa ini, termasuk yang mengaku sebagai Muslim. Padahal di dalam pernyataan tersebut terdapat bahwa bahaya akidah bagi kaum Muslimin khususnya, dan bagi setiap manusia yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat pada umumnya.
Kita akan coba uraikan kekeliruan yang terkandung dalam pernyataan Paine. Namun sebelumnya kita memerlukan rambu-rambu. Merujuk surat al-Qalam [68]:36-39, seseorang yang mengatakan sesuatu atas nama Allah harus mempunyai pegangan berupa: pertama, kitab yang Dia turunkan yang bisa dibaca dan dipelajari, atau kedua, bukti perjanjian yang kokoh sampai hari kiamat bahwa ia boleh memutuskan apa saja berdasarkan pendapatnya sendiri.
Dengan rambu-rambu tersebut, siapa pun yang ingin bersetuju dengan apa yang diungkapkan oleh Paine harus mendatangkan salah satu dari dua hal di atas. Adapun pernyataan Paine: telah ada, jika saya diizinkan mengatakannya demikian, suatu kesepakatan antara Tuhan dan manusia pada awal waktu, ini adalah pernyataan yang benar, sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Allah di dalam surat al-A’râf [7]:172. Pernyataan selanjutnya pun benar belaka, sampai ia mengatakan: Dan pemerintah salah besar bila campur tangan dalam keyakinan agama. Dari seluruh pernyataan yang saya kutip, ia tergelincir dalam satu kalimat ini.
Muasal ketergelinciran itu adalah Paine tampak mengalami ketidakjelasan mengenai: apa isi kesepakatan antara Tuhan dan manusia pada awal waktu itu? Ketidakjelasan ini menjadikan kesimpulan yang dibangun oleh Paine itu keliru dan lebih tepat disebut sebagai olok-olok.
Perjanjian yang terjadi antara manusia dengan Sang Pencipta adalah berupa persaksian bahwa Allah adalah Rabb mereka. Manusia mengakui bahwa Allah adalah Raja yang berhak mengatur hidup manusia. Manusia harus bertakwa kepada Allah di mana pun mereka berada, baik ketika sendiri, berada di tengah-tengah masyarakat, maupun ketika menduduki jabatan pemerintahan. Bahkan tugas utamanya sebagai pemerintah adalah menerapkan dan menjaga agama Allah agar tetap berada pada relnya. Dengan demikian, justru merupakan kewajiban pemerintah untuk campur tangan dalam keyakinan agama, selain pada hal-hal privat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dicampuri; seperti memaksa pemeluk agama kafir untuk memeluk agama Allah, melarang mereka menyelenggarakan ritual ibadah dan pernikahan sesuai dengan tuntunan agama mereka, serta melarang makanan dan minuman yang mereka anggap halal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar