Sekularisme
dan Dusta Atas Nama Allah
Di
dalam Quran Surat Yûnus [10]:69 terdapat pernyataan bahwa orang-orang yang
berdusta atas Nama Allah tidak akan beruntung. Contoh berdusta atas Nama Allah adalah
mengatakan Allah mengangkat anak, sebagaimana terdapat dalam ayat
sebelumnya, Yûnus [10]:69. Contoh lainnya adalah menyatakan bahwa Allah
memerintahkan ini dan itu, padahal Allah tidak memerintahkannya, sebagaimana
dapat dipahami dari salah satu dialog dalam hikayat sapi betina pada zaman Nabi
Mûsâ yang terdapat di dalam surat al-Baqarah [2]:67.
Di
dalam ayat tersebut disebutkan bahwa Nabi Mûsâ ‘alaihissalâm memerintahkan
kaumnya untuk menyembelih sapi betina atas suruhan Allah. Mendapat perintah
sedemikian, Bani Israil merasa tersindir, karena sebelumnya mereka menyembah
patung anak sapi (al-‘ijl). Jenis binatang yang dulu patungnya dijadikan
objek sesembahan kini diperintahkan untuk disembelih. Tak heran jika mereka
serta-merta menuduh Mûsâ ‘alaihissalâm sedang berolok-olok. Namun
tuduhan itu dibantah oleh Nabi Mûsâ dengan menyatakan bahwa dirinya berlindung
kepada Allah dari menjadi salah satu di antara orang-orang jahil, aku
berlindung kepada Allah dari menjadi termasuk dari orang-orang jahil. Perintah
Allah bukanlah sesuatu yang pantas dijadikan bahan olok-olok.
Jelaslah
bahwa mengatakan sesuatu tentang Allah memerlukan sandaran sumber yang valid. Jika
tidak, maka pelakunya dapat dianggap melakukan sebentuk kejahilan karena telah
menjadikan Allah sebagai bahan olok-olok.
Sayangnya,
kejahilan semacam ini kerap kita temui dalam pemikiran-pemikiran yang
berkembang di masyarakat, antara lain berupa ide sekularisme, Hak Asasi
Manusia, dan lain-lain. Contohnya adalah apa yang dikatakan Thomas Paine dalam
catatan kaki buku The Rights of Man, yang diterjemahkan oleh Hermoyo dan
diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 2000 dengan judul Daulat Manusia, halaman
107-108:
Ada
satu pemikiran yang, jika masuk ke pikiran yang tepat, apakah dari sisi hukum
atau agama, yang akan mencegah manusia mana pun, atau kelompok manusia mana
pun, berbuat salah dalam berhubungan dengan agama: pemikiran ini adalah, sebelum
lembaga pemerintahan buatan manusia muncul di bumi, telah ada, jika saya
diizinkan mengatakannya demikian, suatu kesepakatan antara Tuhan dan manusia
pada awal waktu; dan karena hubungan dan keadaan yang ada antara manusia dan
Penciptanya tidak dapat diubah oleh hukum manusia mana pun atau oleh kekuasaan
manusia, maka keyakinan agama, yang merupakan bagian dari kesepakatan itu,
tidak dapat dijadikan objek hukum manusia. Dan semua hukum harus menyesuaikan
diri pada kesepakatan awal ini, dan tidak melakukan sebaliknya, yakni
menyesuaikan kesepakatan awal itu dengan hukum buatan manusia. Langkah pertama
yang diambil manusia, ketika ia melihat ke sekitarnya dan melihat dirinya
makhluk yang bukan buatannya sendiri dan dunia sudah terkembang untuk
menerimanya, pastilah keyakinan agama. Dan keyakinan agama pasti selalu suci
bagi setiap manusia. Dan pemerintah salah besar bila campur tangan dalam
keyakinan agama.
Meski
pernyataan Paine tersebut ditulis pada abad 18 Masehi, tak dapat dipungkiri
bahwa ide semacam itu banyak dianut oleh manusia dewasa ini, termasuk yang
mengaku sebagai Muslim. Padahal di dalam pernyataan tersebut terdapat bahwa bahaya
akidah bagi kaum Muslimin khususnya, dan bagi setiap manusia yang menginginkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat pada umumnya.
Kita
akan coba uraikan kekeliruan yang terkandung dalam pernyataan Paine. Namun
sebelumnya kita memerlukan rambu-rambu. Merujuk surat al-Qalam [68]:36-39, seseorang
yang mengatakan sesuatu atas nama Allah harus mempunyai pegangan berupa: pertama,
kitab yang Dia turunkan yang bisa dibaca dan dipelajari, atau kedua, bukti
perjanjian yang kokoh sampai hari kiamat bahwa ia boleh memutuskan apa saja
berdasarkan pendapatnya sendiri.
Dengan
rambu-rambu tersebut, siapa pun yang ingin bersetuju dengan apa yang
diungkapkan oleh Paine harus mendatangkan salah satu dari dua hal di atas. Adapun
pernyataan Paine: telah ada, jika saya diizinkan mengatakannya demikian,
suatu kesepakatan antara Tuhan dan manusia pada awal waktu, ini adalah
pernyataan yang benar, sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Allah di dalam surat
al-A’râf [7]:172. Pernyataan selanjutnya pun benar belaka, sampai ia
mengatakan: Dan pemerintah salah besar bila campur tangan dalam keyakinan
agama. Dari seluruh pernyataan yang saya kutip, ia tergelincir dalam satu
kalimat ini.
Muasal
ketergelinciran itu adalah Paine tampak mengalami ketidakjelasan mengenai: apa
isi kesepakatan antara Tuhan dan manusia pada awal waktu itu? Ketidakjelasan
ini menjadikan kesimpulan yang dibangun oleh Paine itu keliru dan lebih tepat
disebut sebagai olok-olok.
Perjanjian
yang terjadi antara manusia dengan Sang Pencipta adalah berupa persaksian bahwa
Allah adalah Rabb mereka. Manusia mengakui bahwa Allah adalah Raja yang
berhak mengatur hidup manusia. Manusia harus bertakwa kepada Allah di mana pun
mereka berada, baik ketika sendiri, berada di tengah-tengah masyarakat, maupun
ketika menduduki jabatan pemerintahan. Bahkan tugas utamanya sebagai pemerintah
adalah menerapkan dan menjaga agama Allah agar tetap berada pada relnya. Dengan
demikian, justru merupakan kewajiban pemerintah untuk campur tangan dalam
keyakinan agama, selain pada hal-hal privat yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya untuk dicampuri; seperti memaksa pemeluk agama kafir untuk memeluk
agama Allah, melarang mereka menyelenggarakan ritual ibadah dan pernikahan
sesuai dengan tuntunan agama mereka, serta melarang makanan dan minuman yang
mereka anggap halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar