Sabtu, Mei 11, 2013

Surat Untuk Hûr 'În

Assalamu 'alaikum.

Apa kabar? Sudah lama kita tidak berbincang, ya? Saya ingin bercerita.

Tadi habis lohoran di Diponegoro, ada simbah putri minta uang kecil.

"Berapa, mbah?" tanya saya.

"Manut," kata beliau.

Di kantong ada sepuluh ribu, beberapa lembar ratusan, ribuan, dan dua ribuan. Saya keluarkan yang dua ribu.

"Dua ribu."

"Nggih." Simbah beranjak dari dekat kami.

Tapi sekejap kemudian, beliau kembali mendekat.

"Tak kandani."

"Pripun?"

Beliau mengatakan sesuatu, tetapi samar. Kemudian pergi lagi.

"Daleme pundi, mbah?"

"Mriku, Miliran. Ngerti Miliran tho?"

"Nggih, semerep."

"Lha, sedereke pundi?"

Dan beliau mulai menceritakan. Ia lontang-lantung sejak gempa Jogja. Itu berarti sudah 7 tahun. Dulu semasa muda, ia bekerja di suatu tempat ... ah, saya lupa di mana. Banyak Brimob.

"Aku iki prawan ting."

"Kok mboten nikah mawon?"

"Wegah, repot. Ndak golek-golek"

"Lha, malah penak tho, mbah?"

"Ora. Luwih penak ijen, ho`o tho?"

Banyak saya temui orang yang sendiri dalam kehidupan ini. Tetapi tidak satu pun di antara mereka yang memang tidak ingin menikah. Ternyata ada, orang yang tidak menikah atas dasar pilihan. Bukan atas dasar status seperti menjadi pastur atau biarawati. Saya baru menemukannya hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar